(Based on True Story)
Lima belas tahun pernikahan yang tampak sempurna berubah menjadi neraka bagi Inara.
Suaminya, Hendra, pria yang dulu bersumpah takkan pernah menyakiti, justru berselingkuh dengan wanita yang berprofesi sebagai pelacur demi cinta murahan mereka.
Dunia Inara runtuh, tapi air matanya kering terlalu cepat. Ia sadar, pernikahan bukan sekadar tentang siapa yang paling cinta, tapi siapa yang paling kuat menanggung luka.
Bertahan atau pergi?
Dua-duanya sama-sama menyakitkan.
Namun di balik semua penderitaan itu, Inara perlahan menemukan satu hal yang bahkan pengkhianatan tak bisa hancurkan: harga dirinya.
Kisah ini bukan tentang siapa yang salah. Tapi siapa yang masih mampu bertahan setelah dihancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ame_Rain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesempatan Terakhir
"Dik..."
Aku menepis tangannya sekali lagi. Wajahnya semakin pias, matanya berkaca-kaca. Pria bertubuh tinggi dan kekar itu terlihat begitu hancur atas keputusan yang aku buat.
Aneh, kan?
Padahal dia sendiri yang menantang kesabaranku. Pergi sebulan demi menemani sang wanita pujaan, seolah yakin aku tak akan meninggalkan dirinya meski apapun yang dia lakukan diluaran sana. Dan sekarang? Setelah aku menyampaikan keputusan yang aku buat, dia menangis.
"Jangan pisah, Dik." Katanya.
Kata itu terulang berkali-kali seperti sebuah mantra, tapi aku tak peduli. Hati istri mana yang tak sakit melihat suaminya bertingkah seperti ini?
Aku sudah cukup bersabar dengan memberikannya kesempatan kedua. Aku bahkan menunggunya pulang. Tapi apa? Dia tak pernah pulang. Menghubungiku lewat telepon ataupun pesan pun tidak. Jika bukan karena Mbak Inggit yang menghubunginya, kurasa sampai hari ini pun dia tidak akan kembali.
"Berhenti menangis seolah kamu adalah korban disini, Mas. Kamu jelas tahu apa yang kamu lakukan, dan kamu tetap melakukan itu. Sekarang aku mundur, semoga kamu bahagia dengan wanita pilihanmu itu."
Aku mendorongnya kesamping, lalu berjalan keluar dari kamar sembari membawa tas berisi dokumen-dokumen pendaftaran perceraian. Ibuku yang berdiri di depan pintu kamarnya tampak terkejut dan bingung.
Yah, wajar saja. Karena aku tak pernah memberitahukan apapun yang terjadi akhir-akhir ini padanya. Selalu berbohong dan membuat banyak alasan saat dia bertanya dimana suamiku. Dan sekarang... saat dia mendengar keributan hari ini, wajar saja jika dia bereaksi begitu.
"Inara... kalian bertengkar?" Tanyanya.
Aku menatapnya. Sungguh, aku tak ingin membuat wanita yang sudah melahirkanku itu khawatir. Meski terkadang, ada saat dimana aku ingin sekali bersandar di bahunya sambil menangis dan menceritakan semua masalah yang aku hadapi.
Tapi, aku tak melakukan itu.
Karena seseorang seumuran dirinya ini mudah sekali terserang penyakit jika pikiran dan hati sedang tidak enak. Dan aku tidak mau itu terjadi. Jika dia tahu bahwa aku dan Mas Hendra akan bercerai...
Hah...
Biarlah nanti kucari cara untuk menjelaskan kepadanya. Karena mustahil jika harus kusembunyikan hal ini darinya selamanya.
"Inara enggak apa-apa, Bu." Kataku.
Aku menyentuh tangan keriputnya, terasa nyeri dada ini. Ibu sudah tua, tapi dia malah harus melihat putrinya dibeginikan.
"Maafkan Inara, Ya Bu. Inara ternyata kalah lagi." Kataku.
Dulu, aku kalah karena mertua. Dan kali ini, aku kalah karena wanita kedua. Miris sekali, ya.
Tapi meski kalah lagi dalam cinta, semoga saja kali ini aku menang dalam menjaga kewarasan.
Ibu mengelus puncak kepalaku, sama seperti saat aku masih kecil. Ah, mataku rasanya jadi panas. Tapi kutahan sebisa mungkin agar tetesannya tak luruh di pipi.
"Yang sabar ya, Nak." katanya.
Aku mengangguk.
Kulepas pegangan tanganku darinya. Aku pamitan padanya, berniat segera menyelesaikan semua urusan yang belum terselesaikan.
Dan tepat saat itu, Aldo tiba-tiba muncul dihadapanku.
Sekarang sebenarnya belum saatnya Aldo pulang, tapi sepertinya Hana mengantarnya karena dia terus menangis di sekolah. Karena bisa kulihat mata putraku itu memerah dan sembab akibat tangisnya.
Dia berdiri di hadapanku, melemparkan tatapan tajam dan benci kepadaku.
"Bunda mau cerai dari Ayah?"
"Bunda mau buat aku kehilangan Ayah?"
"Bunda mau buat aku jadi hinaan orang-orang seperti Kakak?"
"Bunda kenapa sih enggak bisa mikirin anak-anak?"
"Kenapa sih Bunda cuma mikirin kebahagiaan Bunda sendiri, hah?!"
Aldo mengamuk. Dia berteriak dan membanting barang-barang di depanku, sama seperti Ayahnya saat sedang marah.
Hatiku terasa remuk saat itu.
Nak... andai kamu mengerti.
Bundamu ini sudah dicurangi.
Bundamu ini sudah sangat terluka karena apa yang ayahmu lakukan.
Bundamu ini sudah mencoba bertahan, tapi Ayahmu lebih memilih wanita itu.
Dan tanpa mencoba mengerti, kamu justru menyalahkan Bunda hanya karena kamu merasa Bunda memikirkan diri sendiri.
Air mata bahkan tak lagi bisa menetes dari mataku. Aku hanya berdiri seperti patung, dengan kedua tangan mengepal kuat tanpa mencoba menjelaskan apapun padanya. Percuma, dia tak akan mengerti.
Itulah mengapa perceraian setelah punya anak lebih sulit, apalagi jika punya anak seperti anak-anakku ini.
"Aldo..."
Mas Hendra muncul. Dia keluar dari kamar setelah mendengar keributan yang dilakukan oleh putraku. Dia kemudian memeluknya, dan mereka menangis bersama.
Haha, kini aku benar-benar terlihat seperti penjahatnya.
"Aku enggak mau Ayah dan Bunda bercerai, Bunda paham enggak sih?!" Kata Aldo.
Aku yang sudah muak dengan semua itu langsung melengos ke dalam kamar. Ku lempar tasku ke atas meja rias, sedangkan aku menjatuhkan diri secara kasar ke atas ranjang.
Allah... aku kesal sekali.
***
Sepertinya aku ketiduran saat sedang merenungi nasib. Karena saat aku terbangun, hari ternyata sudah sore. Sentuhan tangan Mas Hendra di jilbab yang masih kupakai itu yang membangunkanku.
Aku langsung membuang wajah dan memunggunginya, tak sudi dia sentuh. Bukankah tangan itu juga yang dia pakai untuk menyentuh dan membelai wanita simpanannya?
"Dik... Mas benar-benar minta maaf." Katanya.
"Mas juga enggak ngerti. Padahal waktu itu Mas menemui dia cuma buat menyelesaikan semua urusan di antara kami. Tapi... entahlah. Mas benar-benar ngerasa linglung, Dik." katanya.
Aku mendengus mendengar ucapannya. Memangnya ada yang seperti itu? Palingan dia cuma kepalang napsu saat melihat wanita itu, jadi lupa dengan anak istri yang menunggunya di rumah.
"Omong kosong."
Mas Hendra menunduk, merasa bersalah.
"Mas tahu, bagaimanapun Mas mencoba menjelaskan kamu enggak akan percaya. Dan Mas enggak akan menyalahkan kamu karena semuanya emang salah Mas sendiri. Tapi sekali ini saja, Dik. Mas mohon maafkan Mas sekali ini saja, untuk terakhir kalinya." Katanya.
Aku masih berbaring memunggunginya. Rasanya keinginan berpisah masih menggebu-gebu di dadaku. Tapi mengingat kemarahan Aldo tadi siang, aku...
Hah, masa aku harus mengalah lagi, sih?
Kepalaku masih sibuk memikirkan langkah apa yang sebaiknya kuambil saat Mas Hendra kembali bicara.
"Mas udah nenangin Aldo. Dia enggak akan ngamuk lagi untuk sementara waktu."
"Mas juga yang jemput Gita tadi. Mas gak tega bangunin kamu yang sedang tidur."
"Dan Mas udah masak makan malam untuk semuanya. Kamu tinggal makan aja nanti, biar piring kotor Mas yang cucikan."
Aku hanya diam. Lihat, manis sekali dia saat sedang membujuk. Tapi apa gunanya semua itu kalau pada akhirnya dia kembali berulah dan menemui wanita itu?
"Dik..."
Mas Hendra menyentuh bahuku, mencoba membuatku menatapnya.
Aku menyingkirkan tangannya dari bahuku, lalu duduk diatas ranjang. Kutatap wajahnya dengan tegas dan tajam.
"Mau kesempatan lagi? Boleh. Tapi ini kesempatan terakhir untuk kamu, Mas. Kalau kamu macam-macam lagi..."
Seolah menemukan oase di tengah padang gurun, suamiku itu tersenyum bahagia.
"Mas janji, ini enggak akan terulang. Mas akan mempergunakan kesempatan ini dengan baik." Katanya.
"Tapi ada syaratnya." Kataku.
Mas Hendra menatap mataku dengan ekspresi bertanya-tanya.
"Aku ingin kamu putuskan hubunganmu, hapus semua kontak wanita itu dari ponsel dan media sosialmu, dan kali ini..."
Aku tersenyum miring.
"Aku mau kamu lakukan semua itu di depanku dan wanita itu, sekaligus."
Aku ingin mereka tahu, kalau perempuan yang mereka rendahkan ini... sebenarnya punya keberanian yang lebih besar dari mereka berdua.
***
Kadang, cinta yang paling kita perjuangkan justru jadi luka yang paling dalam. Inara mungkin terlihat kuat, tapi sebenarnya dia hanya perempuan biasa yang berusaha bertahan di tengah badai pengkhianatan dan tuntutan sebagai ibu.
Bab ini adalah titik di mana cinta dan logika saling beradu. Antara ingin tetap menjaga rumah tangga demi anak-anak, dan ingin menyelamatkan diri sendiri dari rasa sakit yang tak berujung.
Terima kasih sudah membaca sampai akhir bab ini.
Kisah Inara belum berakhir. Justru baru akan dimulai dari sini.
💔 Kalau kamu pernah berada di posisi seperti Inara, semoga kamu tahu: memilih dirimu sendiri bukan dosa. Itu bentuk cinta juga. Hanya saja, kali ini untuk dirimu sendiri.
Dengan cinta,
Author 💌
Semangat berkarya ya Thor