NovelToon NovelToon
HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

HAMIL ANAK CEO : OBSESI IBU TIRI

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam / Ibu Tiri / Pelakor jahat / Nikahmuda / Selingkuh
Popularitas:876
Nilai: 5
Nama Author: EkaYan

Dikhianati sahabat itu adalah hal yang paling menyakitkan. Arunika mengalaminya,ia terbangun di kamar hotel dan mendapati dirinya sudah tidak suci lagi. Dalam keadaan tidak sadar kesuciannya direnggut paksa oleh seorang pria yang arunika sendiri tak tahu siapa..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EkaYan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hampa

Keesokan harinya, setelah memastikan kondisi ibu Arunika stabil dan Arunika tampak lebih tenang didampingi Tante Rena, Arsen harus kembali ke Yogyakarta. Ia mencium kening Arunika lembut, menggenggam tangannya erat sebelum berpamitan.

"Aku harus kembali, Sayang. Tapi aku akan terus menghubungi dan segera kembali lagi jika kamu membutuhkanku," ucap Arsen dengan tulus.

"Terima kasih untuk semuanya, Sen. Hati-hati di jalan," balas Arunika dengan senyum tipis. Kehadiran Arsen benar-benar memberinya kekuatan di saat sulit ini.

***

Sementara itu, di sebuah kafe mewah di Jakarta, Risa duduk gelisah di hadapan sahabatnya, Bella. Ia menyesap cappuccinonya dengan tidak sabar.

"Bell, kamu yakin tidak tahu siapa pria yang bersama Nika malam itu?" tanya Risa dengan nada mendesak. Kejadian di kelab malam itu terus menghantuinya. Meskipun tujuannya menjebak Arunika, ia penasaran siapa pria yang bersedia dibayar untuk berpura-pura dekat dengan sahabatnya itu.

Bella mengerutkan kening, mencoba mengingat. "Sudah kubilang, Ris. Aku tidak tahu menahu soal pria itu. Semua urusan aku serahkan ke Santi."

"Santi? Mucikari itu?" Risa terkejut. Ia tidak menyangka Bella akan melibatkan seorang mucikari dalam rencananya.

"Ya. Kamu kan yang bilang ingin memberi pelajaran pada Nika? Aku pikir cara ini yang paling efektif," jawab Bella dengan nada enteng. Ia tidak melihat ada yang salah dengan tindakannya.

"Tapi kenapa harus mucikari? Aku hanya ingin dia terlihat bersalah di depan Arsen, bukan..." Risa tidak melanjutkan perkataannya, merasa jijik dengan implikasi dari tindakan Bella.

"Ayolah, Ris. Jangan munafik. Intinya kan sama saja. Yang penting Arsen percaya kalau Nika selingkuh," sahut Bella sinis. "Lagipula, Santi bilang dia punya banyak 'anak buah' yang bisa diandalkan. Uangnya juga tidak seberapa, kita bagi dua kan?"

Risa terdiam, merasa mual. Ia tidak menyangka sahabatnya akan bertindak sejauh ini. Ia memang marah dan sakit hati pada Arunika dan Arsen, namun melibatkan seorang mucikari terasa sangat menjijikkan dan di luar batas.

"Kamu... kamu benar-benar menyerahkan urusan itu pada Santi dan kamu tidak tahu siapa pria itu?" ulang Risa dengan nada kecewa.

Bella menggelengkan kepalanya. "Untuk apa aku tahu? Yang penting tujuannya tercapai. Santi yang mengurus semuanya, termasuk memilih pria yang tepat dan memastikan semuanya berjalan lancar."

Risa memijat pelipisnya. Ia merasa semakin tidak nyaman dengan rencananya sendiri. Kebenciannya pada Arunika dan Arsen kini bercampur dengan rasa bersalah dan jijik pada cara yang ia gunakan. Ia tidak menyangka bahwa dendamnya bisa membuatnya melibatkan orang-orang yang berada di lingkaran hitam seperti itu. Informasi tentang pria misterius yang bersama Arunika malam itu seolah terkubur rapat oleh Santi, sang mucikari yang hanya peduli pada uang dan kelancaran 'pekerjaannya'.

Risa kini harus mencari cara lain jika ingin mengungkap kebenaran, atau mungkin, ia harus mulai mempertimbangkan apakah dendamnya ini sepadan dengan harga yang harus ia bayar.

***

Satu minggu berlalu sejak Arsen kembali ke Yogyakarta. Kondisi ibu Arunika sempat menunjukkan perkembangan yang menggembirakan, membuat secercah harapan kembali menyala di hati Arunika dan Tante Rena.

Namun, dua hari yang lalu, keadaan kembali memburuk. Ibu Arunika mengalami kejang hebat (anfal) dan harus dilarikan kembali ke ruang ICU.

Pagi ini, kabar duka itu datang bagai petir di siang bolong. Ibu Arunika menghembuskan napas terakhirnya. Dunia Arunika terasa runtuh seketika. Ia kacau. Air mata mengalir deras tanpa bisa dihentikan, membasahi wajahnya yang pucat pasi. Rasa sakit kehilangan menusuk jantungnya begitu dalam, mengalahkan segala rasa sakit yang pernah ia rasakan sebelumnya.

Tante Rena memeluk Arunika erat, mencoba menyalurkan kekuatan meskipun dirinya sendiri juga terpukul. Isak tangis keduanya memecah keheningan ruang tunggu ICU. Bagi Arunika, ibunya adalah segalanya. Satu-satunya keluarga yang tersisa, sahabat terbaik, dan sumber kekuatannya selama ini. Kehilangan ibunya berarti kehilangan seluruh dunianya.

Arsen yang segera mendapat kabar duka itu dari Tante Rena langsung memesan tiket kereta pertama ke Bandung. Perasaannya hancur mendengar kabar tersebut. Ia tahu betapa dekatnya Arunika dengan ibunya dan betapa terpukulnya ia saat ini. Ia harus segera berada di sisi kekasihnya, memberikan dukungan dan kekuatan yang ia butuhkan.

Dalam perjalanan menuju Bandung, pikiran Arsen berkecamuk. Ia menyesal tidak bisa lebih lama berada di sisi Arunika. Ia membayangkan betapa hancurnya hati Arunika saat ini. Kata-kata penghiburan terasa begitu hambar di tengah duka yang mendalam. Yang bisa ia lakukan hanyalah hadir dan menemani Arunika melewati masa-masa sulit ini.

Setibanya di Bandung, Arsen langsung menuju rumah duka. Suasana duka terasa begitu kental menyelimuti rumah sederhana itu. Tangisan dan doa-doa lirih terdengar dari dalam. Ia melihat Arunika terduduk lemas di samping peti jenazah ibunya, tatapannya kosong dan air mata terus mengalir tanpa suara.

Arsen mendekat perlahan dan berjongkok di depan Arunika. Ia meraih tangannya yang dingin dan menggenggamnya erat. Arunika menoleh padanya, matanya merah dan bengkak. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya memeluk Arsen erat dan menangis terisak-isak di dadanya. Arsen memeluknya kembali dengan erat, membiarkan Arunika meluapkan kesedihannya. Ia tahu, saat ini, pelukan dan kehadirannya jauh lebih berarti daripada kata-kata.

Tante Rena menghampiri mereka berdua, matanya juga sembab. Ia mengusap lembut punggung Arunika. "Sudah, Nak. Ikhlaskan ibumu. Beliau sudah tidak sakit lagi sekarang."

Arunika menggelengkan kepalanya lemah, semakin mengeratkan pelukannya pada Arsen. Kehilangan ini terasa begitu berat, begitu nyata, dan begitu menyakitkan. Ia tidak tahu bagaimana ia akan menjalani hari-harinya tanpa ibunya.

Arsen terus memeluk Arunika, merasakan getar tubuhnya karena tangisan yang tak tertahankan. Ia tahu, proses berduka ini akan panjang dan sulit. Namun, ia berjanji dalam hati, ia akan selalu berada di sisi Arunika, memberikan dukungan dan cinta yang ia butuhkan untuk melewati masa-masa kelam. Saat ini, yang terpenting adalah menguatkan Arunika dan mengantarkan ibunya ke tempat peristirahatan terakhir dengan layak.

Setelah pemakaman selesai dan para pelayat berangsur-angsur pergi, kesunyian kembali menyelimuti rumah itu. Arunika merasa hampa, seolah ada sebagian dari dirinya yang ikut terkubur bersama ibunya. Ia tidak tahu bagaimana ia akan melanjutkan hidupnya tanpa kehadiran wanita yang selama ini menjadi satu-satunya keluarganya.

Hari-hari setelah kepergian ibunya terasa begitu suram bagi Arunika. Rumah yang dulu terasa hangat dan penuh cinta kini terasa sunyi dan dingin. Setiap sudut ruangan mengingatkannya pada sosok ibunya, pada senyumnya, pada nasihat-nasihatnya yang bijak. Ia seringkali termenung, menatap foto ibunya dengan mata kosong, seolah berharap ibunya akan tiba-tiba muncul dan memeluknya seperti dulu.

Arsen tidak pernah meninggalkannya. Ia tinggal di Bandung untuk beberapa hari, menemani Arunika dan Tante Rena mengurus segala keperluan pemakaman. Ia menjadi sandaran bagi Arunika yang tampak begitu rapuh. Malam-malam mereka lalui dalam keheningan, hanya ditemani isak tangis Arunika yang sesekali pecah. Arsen hanya bisa memeluknya erat, mencoba menyalurkan ketenangan dan kekuatan.

Tante Rena juga sangat terpukul, namun ia berusaha tegar demi Arunika. Ia mengurus rumah dan memastikan Arunika makan meskipun hanya beberapa suap. Ia bercerita tentang kenangan-kenangan indah bersama almarhumah, mencoba mengobati luka di hati keponakannya.

Suatu sore, saat Arunika duduk termenung di ruang tamu, Arsen menghampirinya dan duduk di sampingnya. Ia menggenggam tangan Arunika dengan lembut.

"Nika," panggil Arsen pelan.

Arunika menoleh dengan mata sayu.

"Aku tahu ini sangat berat untuk kamu. Kehilangan orang yang kita cintai memang sangat menyakitkan. Tapi kamu tidak sendiri. Ada aku, ada Tante Rena yang menyayangimu," lanjut Arsen dengan suara lembut namun penuh ketegasan.

Arunika menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air matanya yang kembali ingin tumpah. "Aku... aku tidak tahu harus bagaimana, Sen. Ibu adalah segalanya bagiku."

"Aku tahu, Sayang. Tapi Ibu pasti ingin kamu kuat. Beliau pasti ingin kamu tetap melanjutkan hidupmu dengan baik. Kamu punya mimpi-mimpi yang harus kamu raih," ujar Arsen sambil mengusap punggung tangan Arunika.

"Tapi tanpa Ibu..." lirih Arunika, suaranya tercekat.

"Tanpa Ibu memang akan terasa berbeda, tapi bukan berarti kamu tidak bisa bahagia lagi. Ibu akan selalu ada di hatimu, dalam setiap langkahmu. Dan aku akan selalu ada di sisimu, Nika. Aku janji," ucap Arsen dengan tulus.

Kata-kata Arsen perlahan meresap ke dalam hati Arunika. Ia menatap mata Arsen, mencari ketulusan di sana. Ia melihat kesungguhan dan kasih sayang yang terpancar dari mata kekasihnya itu. Perlahan, setitik harapan mulai muncul di tengah kesedihannya.

"Terima kasih, Sen," bisik Arunika pelan.

"Jangan berterima kasih. Aku melakukan ini karena aku mencintaimu," balas Arsen sambil tersenyum lembut.

Arsen tahu, luka di hati Arunika tidak akan sembuh dalam waktu dekat.

Namun, ia berjanji akan terus berada di sisinya, memberikan dukungan, cinta, dan kesabaran yang ia butuhkan untuk bangkit kembali.

1
partini
wah temen lucknat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!