NovelToon NovelToon
Twelves Trials Of Fate (Myth Vs Human)

Twelves Trials Of Fate (Myth Vs Human)

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Akademi Sihir / Perperangan / Action / Mengubah sejarah / Iblis
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: See You Soon

Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.

Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.

Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.

Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,

“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Puncak dari Segala Ilusi

...The Illusion Fox vs The Mind Weaver...

...#3...

Huli Jing terdiam. Diam yang berbahaya — bukan karena kehabisan tenaga, melainkan karena amarah yang berputar di dadanya, mendidih namun disembunyikan rapat-rapat di balik senyum samar. Semua ilusi yang ia ciptakan, seolah tak mampu menembus dinding logika manusia di hadapannya. Ia menatap Elaina dengan mata yang menyala samar, sesekali menyusupkan pikirannya ke dalam celah kesadaran wanita itu — diam-diam, licik, seperti kabut dingin yang menyelinap di sela napas tanpa disadari.

Sementara itu, Elaina berdiri tegak. Pandangannya tajam, penuh keyakinan, menembus tatapan siluman rubah di hadapannya. Tak sepatah kata pun keluar dari bibirnya, namun pikirannya bising — riuh oleh doa-doa yang ia rapalkan dalam hati, memohon kekuatan untuk menahan serangan berikutnya. Ia tahu, pertarungan ini bukan sekadar adu fisik, melainkan pertempuran batin yang bisa menggoyahkan jiwa siapapun yang tak siap.

Tiga puluh detik berlalu dalam hening yang mencekam.

Suara angin berhenti, sorak penonton lenyap.

Satu-satunya bunyi yang terdengar hanyalah tik-tik jam tangan di pergelangan kirinya — detikan yang terasa seperti lonceng perang.

Elaina terkekeh pelan. Sebuah senyum sinis mengembang di bibirnya.

“Tiga puluh detik sudah berlalu,” ujarnya tenang namun menusuk.

“Tak seperti sebelumnya. Apa kau sudah kehabisan rencana, Rubah?”

Nada suaranya ringan, namun cukup tajam untuk menggores ego seekor siluman. Ia mengangkat sebelah alisnya, senyumnya menantang, mencemooh lawannya dengan percaya diri yang lahir dari pengalaman panjang dalam membaca kebohongan manusia.

Geraman lirih keluar dari tenggorokan Huli Jing. Matanya berkilat merah samar — tanda bahwa amarahnya mulai menguasai kendali. Elaina tahu ia berhasil memancingnya. Namun kebanggaan itu tak bertahan lama.

Sorot mata Huli Jing bergeser, menatap sesuatu yang tersembunyi di balik kerah kemeja Elaina — sebuah kalung salib kecil dari perak, memantulkan cahaya tipis matahari di atas arena.

Senyum miring terbentuk di wajah siluman itu.

Elaina sempat tertegun, pupil matanya menyempit.

“Jangan kau—” ucapnya pelan, namun terlambat.

Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya bergetar.

Udara mendadak panas, langit berubah merah menyala.

Arena megah itu hancur perlahan, digantikan oleh pemandangan neraka — lautan api yang membara di bawah kakinya. Arwah-arwah berdosa berteriak dari jurang api, meraih udara, mencoba menyentuhnya. Bau belerang dan darah mengisi udara.

Elaina gemetar. Tangannya mengepal, matanya berusaha tetap fokus di tengah kabut panas dan jeritan yang menyesakkan. Namun Huli Jing tidak berhenti di sana. Dari atas, muncul cahaya lembut — samar, tapi menyilaukan.

Sosok itu turun perlahan dari langit merah.

Berjubah putih, bermata lembut namun penuh kecewa.

Suara itu bergema lembut namun mengguncang seluruh dimensi,

“Aku tak menerima hamba yang dengan mudahnya menghukum seseorang… tanpa bukti yang pasti.”

Suara itu menusuk jauh ke dalam batin Elaina.

Ia hanya bisa menatap sosok itu — sosok yang begitu familiar baginya. Sosok yang ia yakini sepanjang hidupnya.

Yesus menatapnya sejenak, kemudian berbalik, melangkah menjauh.

Langkahnya ringan, tapi meninggalkan luka yang tak terlihat di dada Elaina.

Ia melayang pergi, menghilang di balik cahaya yang memudar bersama api neraka yang masih membara di bawahnya.

Elaina berdiri kaku, hanya ditemani suara jantungnya sendiri — berdetak cepat di antara bisikan api dan arwah.

Huli Jing tersenyum puas, menatap dari balik kegelapan, berbisik lirih,

“Mari kita lihat, manusia. Seberapa kuat keyakinanmu bisa bertahan… ketika Tuhanmu sendiri menolakmu.”

Tanpa sadar, Elaina melangkah kecil ke depan.

Bibirnya bergetar, matanya menatap sosok cahaya yang perlahan memudar di atas api. Suara hatinya memohon, dan sebelum ia sempat berpikir, kalimat itu nyaris lolos dari bibirnya:

“Tuhanku! Jangan pergi—!”

Namun, di detik berikutnya, ia menutup rapat mulutnya dengan gemetar. Nafasnya memburu, matanya membulat penuh kesadaran bahwa ia hampir saja menyerah pada sesuatu yang tidak nyata.

Dari balik bayangan neraka semu itu, Huli Jing tersenyum puas. Ia paham betul — gestur spontan itu adalah tanda pertama. Tanda bahwa benteng rasional seorang manusia mulai retak. Bahwa Elaina, sang pengurai kebohongan sejati, kini perlahan ditelan oleh kebohohannya sendiri.

“Akhirnya…” bisik Huli Jing lirih, dengan nada seperti seorang ibu yang menidurkan anaknya.

“Akhirnya kau mulai percaya pada apa yang tak nyata.”

Lalu ia menambah serangan berikutnya.

Suara kecil, lemah, dan nyaris serak menggema di antara jeritan arwah.

“Ibu! Kenapa aku ada di sini? Tolong aku, Bu!”

Elaina membeku. Seluruh tubuhnya menegang seperti batu.

Suara itu…

Nada lembutnya, tangisnya, dan cara ia memanggil ‘Ibu’ — tidak mungkin salah. Itu suara anaknya. Anak yang telah lama pergi, terkubur bersama separuh hatinya yang dulu.

Ia menutup telinganya rapat-rapat, namun suara itu menembus semuanya.

Jeritan itu kini datang dari segala arah. Dari bawah tanah, dari langit merah, dari dalam dadanya sendiri.

“Ibu! Tolong aku! Panas… aku takut!”

Elaina menggigil. Lututnya bergetar hebat. Ia jatuh berlutut, tubuhnya meringkuk, menekan kedua telinganya seolah ingin mematikan dunia.

Dari tribun atas, Virgo terpaku.

Aura di sekelilingnya bergetar lembut, matanya memancarkan kekhawatiran yang jarang tampak pada sosok abadi sepertinya.

“Sehebat ini… ilusi dari seekor siluman?” gumamnya nyaris tak terdengar, napasnya tertahan antara kagum dan ngeri.

Dari sisi lain, penonton ras mitologi bersorak keras.

Sorakan kemenangan menggema, penuh ejekan dan kesenangan atas penderitaan manusia.

“Rasakan, manusia lemah!”

“Lihatlah, logikamu runtuh di hadapan keabadian kami!”

Sementara itu, tribun manusia justru bergetar oleh suara-suara penyemangat. Mereka berteriak memanggil nama Elaina, memohon agar ia bangkit. Namun suara mereka nyaris tak berarti — tenggelam oleh jeritan anak kecil yang hanya bisa didengar Elaina seorang diri.

“Sudah cukup…” bisiknya pelan.

“Sudah… cukup…”

Tapi api semakin membesar.

Pundaknya semakin berat, pikirannya mulai terbelah.

Ia tak tahu lagi harus mendengarkan yang mana:

Jeritan palsu anaknya, sorakan ejek dari para mitologi, atau suaranya sendiri yang menuntutnya bertahan demi umat manusia.

Pikirannya kacau.

Hatinya terkoyak.

Dan di antara semuanya, sebuah tawa kecil lolos dari bibirnya.

“Heh… haha…”

Tawa itu lirih, namun cukup untuk membuat seluruh arena membeku.

Virgo menatap ke bawah dengan mata membesar, sementara Presiden — yang mengenal Elaina lebih dari siapapun — langsung berdiri dari singgasananya.

“Elaina!” teriaknya dengan nada perintah, bukan kekhawatiran.

Ia tahu persis — itu bukan Elaina yang sebenarnya.

Itu tanda bahwa pikirannya telah disusupi, hatinya sedang dirobek dari dalam.

Sementara itu, The Ancient One hanya terkekeh pelan dari kursinya yang tinggi. Suaranya berat, seperti guruh di kejauhan.

“Luar biasa… Ilusi yang bahkan mampu menembus jiwa seorang ahli pikiran. Mungkin inilah seni sejati dari makhluk penipu legendaris.”

Di bawah, Huli Jing tersenyum puas. Matanya bersinar lembut, seperti menatap seekor burung kecil yang terperangkap di telapak tangannya.

Sedangkan Elaina — tertunduk, tubuhnya bergetar pelan, antara menangis dan tertawa,

berada di ambang batas antara realitas dan kegilaan.

1
Mizuki
Gak betah ama em dashnya
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Mizuki
Emdash sebanyak ini pasti perkara dirimu langsung maksa di proofreading ama gpt.

Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
Chimpanzini Banananini: iya mas. nanti kurevisi lagi perkara em dashnya. untuk bab² tinggi udh kuperbaiki kok
total 1 replies
Mizuki
Ini pasti referensinya dari Record of Ragnarok
Chimpanzini Banananini: bener wkwk
total 1 replies
Mizuki
pagi-pagi banget udah high-telling kek gini. Yang kek gini biasanya di showing di tengah atau di akhir, dan itu lewat plot, atau prespektif sisi satunya, potensi kehilangan hook gede banget
Chimpanzini Banananini: oke mas. nanti kurevisi yang bab2 awal.
total 3 replies
🌹Widianingsih,💐♥️
hai hai kak ...!
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !
Chimpanzini Banananini: bener kak. thanks udh mampir
total 1 replies
Anul (PPSRS)
ini mirip alur valkyrie ga sih👍
Anul (PPSRS): itulah pokoknya 🤣
total 2 replies
Anul (PPSRS)
lambang Amerika kah?
Chimpanzini Banananini: bukan heh
total 1 replies
Anul (PPSRS)
ancient one ini apa sih🤣
Anul (PPSRS): okee😍
total 2 replies
@🌹..AIS....🌹🍭
aku udah mampir kak han
@🌹..AIS....🌹🍭: sama sama kk cantik
total 2 replies
Anul (PPSRS)
ancient one ga tuh🤣
Anul (PPSRS)
widih, jadi paradoks berarti... makhluk mitologi ternyata ga punah, tapi kebawa ke masa depan🤣
Anul (PPSRS)
kasih santen, gula merah, air, gula pasir, daun pandan, rebus sampai mendidih... jadi deh bubur goblin hijau👍
Chimpanzini Banananini: ape bende ni woi?
total 1 replies
ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ
Gila, ini bapaknya udah pasang badan banget demi keluarga🔥 Tapi shotgunnya nggak ada peluru? Aduh, semoga aja ada cara lain buat ngalahin goblin-goblin itu! 😭
Chimpanzini Banananini: duhh gimana ya bilangnya? mereka semua meninggoy dan damai sebagai npc hiks
total 1 replies
ꜱᴀʀɪꜰᴀʜ ᴀɪɴɪ
serem banget! 😱 Udah goblinnya nyeremin, kelakuannya lebih nyeremin lagi.
Cesium-136
Cek komentar buat detailnya
Chimpanzini Banananini: baik. akan dikembangkan lebih baik dan lebih baik lagi. aku juga berusaha untuk membuat setiap judul diawal bab, foreshadowing, cliffhanger, pasti tidak akan mudah ditebak oleh para pembaca. btw thanks udh mau repot² baca ceritakuu❤❤
total 5 replies
Sang_Imajinasi
pertarungan nya bab selanjutnya
Chimpanzini Banananini: iya kaka. tapi aku bakalan crazy up dan bab selanjutnya bakalan up malam ini.
total 1 replies
Ai'zana
semangat thor
Fitur AI
ada kata kata mutiara nih
Fitur AI
wah bagus , ini keknya dia di palak pereman kah?!/Slight/
DF. aldo syarudin
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!