NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:503
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

31

Sejak hari ia pergi meninggalkan rumah Dima, sampai hari ini—hari latihan di studio Image Fiction TV—Quin belum sekalipun bicara dengan Dima. Tidak lewat chat, tidak saling sapa, bahkan tidak sekadar bertukar pandang. Seolah ada tembok kaca yang kokoh memisahkan mereka. Di kelas, suasananya jauh berbeda. Teman-teman yang biasanya menyaksikan keduanya ribut kecil dan saling sindir, kini melihat mereka membisu total. Bukannya saling diam yang tenang, tetapi lebih seperti dua kutub magnet yang dipaksa berdekatan dan saling menolak.

Mereka tidak berinteraksi sama sekali. Dingin. Canggung. Hampa.
Satu-satunya momen mereka berbicara hanyalah ketika guru Fisika menyuruh mereka mengerjakan soal tersulit di papan tulis—lomba kecepatan, seperti biasa, tanpa sepatah kata pun. Kapur berderit di papan, napas terengah karena tegang, dan tepuk tangan kelas terdengar hambar setelahnya.

Studio latihan hari itu terasa berbeda: luas, dingin karena pendingin ruangan, dengan dinding hitam kedap suara dan lantai parket yang memantulkan cahaya lampu panggung. Poster-poster penyanyi besar berjajar di dinding, memberi kesan bahwa siapa pun yang berlatih di ruangan itu harus siap menjadi besar juga. Di salah satu sudut, kamera latihan berdiri mengawasi seluruh kegiatan.

Quin berdiri bersama kelompoknya, masih satu grup dengan Arka dan satu peserta lainnya. Tangannya agak bergetar, bukan karena takut tampil, tapi karena suasana hati yang kusut sejak beberapa hari terakhir. Grup mereka mendapat giliran latihan menyanyi bersama Yura Yunita—ikon yang sejak dulu sangat Quin kagumi.

Satu per satu peserta maju menerima arahan. Ketika giliran Quin, ia menatap Yura—sosok yang terlihat hangat, matanya berkilau penuh empati dan percaya diri. Suara lembutnya terdengar menenangkan ruangan yang semula tegang.

Quin benar-benar kagum. Cara Yura mengolah kata, mengubah rasa menjadi melodi, dan menjadikan kesedihan terasa indah—semuanya membuat Quin teringat pada puisi Dima. Puisi yang dulu ia simpan di hati seperti harta kecil yang rapuh.

“Apa kamu lagi mikirin sesuatu, Quin?” suara Yura memecah lamunannya, seolah dapat membaca isi hati Quin.

“Pacarnya kali,” seloroh Kak Eri yang memainkan keyboard di sudut ruangan, membuat semua orang tertawa kecil.

Pipi Quin terasa panas. “Nggak,” jawabnya malu-malu, menunduk.

“Pacarnya satu sekolah?” tanya Yura sambil tersenyum, nada suaranya ringan, tidak menghakimi—seperti tahu betul bahwa anak SMA wajar memiliki hal-hal yang belum selesai.

“Enggak. Belum. Bukan pacar, cuma teman,” jawab Quin, suaranya kecil dan gugup.

“Oh, masih nggak jelas ya?” Yura mengangguk pelan. Senyumnya menenangkan. “Nggak perlu menyangkal perasaan yang ada, tapi juga nggak perlu ke-distract sama itu. Coba begini.”

Yura berdiri, mengulurkan kedua tangannya ke depan.

Quin menirukan.

“Goyangin,” katanya sambil menggoyangkan kedua tangannya seperti berusaha melepaskan sesuatu yang berat. “Terus teriak, huah!”

“Huah!” Quin berteriak mengikuti, melepas genggaman udara yang terasa seperti beban.

Suara tawa kecil terdengar di ruangan. Tegangan seketika menguap.

“Gimana? Enakan?” tanya Yura.

“Iya,” jawab Quin sambil tersenyum untuk pertama kalinya setelah berhari-hari.

“Yuk mulai lagi,” ujar Yura, memulai latihan dari awal.

Besoknya, suasana belakang panggung dipenuhi suara teknisi, bunyi langkah tergesa, bau hairspray dan makeup artist yang berlalu lalang. Lampu neon terasa menyilaukan. Napas Quin terasa berat.

Ia memejamkan mata dan mengulang gerakan yang diajarkan Yura.


Tangan ke depan.


Goyang.


Hembuskan beban.

Arka yang baru datang melihat dan mengerutkan alis. “Ngapain?”

“Biar fokus.”

“Gimana? Ajari dong,” pinta Arka polos.

Quin memperagakan, dan Arka menirukan dengan berlebihan. Keduanya tertawa keras—tawa yang jujur, yang terakhir kali Quin rasakan sudah lama sekali.

Untuk sepersekian detik, ia lupa rasanya patah hati.

Sementara itu, di ruang keluarga rumah Dima yang hangat dan dipenuhi wangi teh melati buatan ibunya, Dima duduk di sofa bersama kakaknya, Lala, yang pulang kuliah akhir pekan. TV menayangkan YAMI dengan volume cukup tinggi. Ibunya duduk di sebelah, menonton dengan antusias meski ia tidak terlalu mengikuti perkembangan hiburan.

Dima memegang ponselnya, membuka medsos. Ekspresinya berubah—alis mengerut. Komentar-komentar berjatuhan seperti hujan batu.

“Orang tuh jempolnya jahat banget ya?” gumam Lala sambil membaca komentar yang sama. “Gampang banget nulis komen tanpa mikir perasaan orang lain.”

“Emang ada apa?” tanya ibu Dima, polos, karena ia tidak punya medsos.

“Ada yang bilang Quin kalau nyanyi kaya nggak niat tapi tetep kepilih terus. Katanya ordal,” jawab Lala kesal.

“Emang Quin kenal ordal?” tanya ibunya Dima bingung.

Dima menarik napas. “Katanya neneknya sahabat produser IF TV.” Suaranya terdengar datar, seperti menahan sesuatu.

“Tapi Quin nggak kenal ordal, kan? Kan kamu yang daftarin dia?” tanya ibunya pelan.

Kalimat itu menampar. Dima menunduk, wajahnya tegang. “Harusnya aku nggak daftarin dia.”

Lala menepuk bahunya. “Namanya udah takdir. Mungkin emang begitu: kamu daftarin dia YAMI, dia daftarin kamu lomba puisi!” Lala terkekeh. “Eh puisi kamu dapet juara dua, dua juta! Lumayan kan, Dim!”

“Nggak tau ah!” Dima berdiri tiba-tiba dan pergi ke kamarnya.

“Eh, kamu nggak nonton pengumumannya?” Lala setengah teriak.

“Besok juga tau siapa yang tersisih,” jawabnya tanpa menoleh.

Kamar Dima remang karena hanya diterangi lampu meja belajar. Ia tiduran, layar ponsel menggantung di atas wajahnya. Di feed promosi YAMI, video Quin dan Arka muncul berulang kali. Ada rasa tidak nyaman menempel di dadanya—campuran cemburu, marah, bingung, tersinggung, dan entah apa lagi.

Kenapa rasanya begini?
Kenapa peduli?
Kenapa sakit?

Padahal ia tahu Nisa suka Arka. Dan ia tahu Arka cuma teman Quin.

Tapi tetap saja.

Tiba saat pengumuman.
Quin lolos 8 besar. Arka juga.

Pada sesi wawancara, Quin tersenyum ke kamera, matanya berkaca-kaca karena syukur dan kelegaan.

“Aku mau minta tolong buat teman-teman bantu vote puisi temanku, Dima.”

Ponsel hampir terjatuh dari tangan Dima.
Ia langsung duduk tegak, menatap layar tanpa berkedip.

Quin menyebut namanya.
Di acara nasional.
Di depan jutaan penonton.

Dada Dima terasa dihantam sesuatu yang besar dan hangat sekaligus sakit.

Dan untuk pertama kalinya sejak hari itu—
ia benar-benar tidak tahu harus merasa apa.

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!