Kecelakaan yang menimpa kedua orang tua Mala, membuat gadis itu menjadi rebutan para saudara yang ingin menjadi orang tua asuhnya. Apa lagi yang mereka incar selain harta Pak Subagja? Salah satunya Erina, saudara dari ayahnya yang akhirnya berhasil menjadi orang tua asuh gadis itu. Dibalik sikap lembutnya, Erina tentu punya rencana jahat untuk menguasai seluruh harta peninggalan orang tua Mala. Namun keputusannya untuk membawa Mala bersamanya adalah kesalahan besar. Dan pada akhirnya, ia sendiri yang kehilangan harta paling berharga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RATU SANDIWARA
"Ma-maaf," ucap Tama yang kini mulai tersadar dengan apa yang baru saja ia lakukan.
Hanya sentuhan tangan singkat, namun berhasil membuat keduanya hampir saja kehilangan kendali. Tama hampir khilaf Jika saja tidak mendengar suara dari rice cooker digital yang berbunyi menandakan nasi telah matang.
Kemala hanya mengangguk. Antara gugup dan malu bercampur jadi satu.
Air dalam panci mendidih pelan di atas kompor. Tama berdiri di dekatnya, menggenggam sendok kayu sambil sesekali mengaduk jagung manis yang sedang direbus.
Kemala di sampingnya tampak lebih tenang, meski pipinya masih merona karena insiden kecil tadi. Ia mencoba fokus memotong sayuran, tidak ingin pikirannya melayang ke arah sentuhan lembut yang barusan terasa begitu nyata.
Suasana dapur mulai terasa hangat, bukan karena suhu, melainkan karena keakraban yang tumbuh pelan-pelan di antara mereka. Tama yang awalnya canggung, kini tampak lebih rileks. Sementara Kemala berusaha bersikap biasa, meski hatinya masih sedikit berdebar.
"Habis ini apa, Om?" tanya Kemala setelah selesai memotong daging ayam dan sayuran.
"Oh, coba kamu iris bawang dan cabai ya. Tolong
Kupas lengkuas dan jahe juga ya!"
Kemala menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Yang mana, Om? Ini ya?" tanyanya seraya menunjukkan kunyit pada Tama.
Tama menahan tawa. Ia geleng-geleng kepala, merasa gemas pada gadis itu.
Wajah Kemala makin merona. Meskipun dia tinggal di kampung, namun ia memang tidak pernah ke dapur. Ayahnya yang merupakan seorang juragan yang tentu saja memiliki asisten rumah tangga yang bertugas untuk membereskan rumah dan juga memasak. Bahkan ibunya sendiri jarang ke dapur karena sibuk sebagai ketua himpunan ibu-ibu produktif di kampungnya itu.
Subagja-ayah Kemala memiliki perkebunan teh dan juga peternakan sapi. Ia merupakan seorang juragan kaya. Dirinya sangat sibuk. Begitupun dengan Indira-ibu Kemala yang juga sibuk dengan kegiatan sosial. Kemala sehari-hari lebih banyak di rumah, belajar dan mengasah hobi melukisnya. Ia punya dua teman dekat, namanya Lilis dan Ningsih. Namun sejak kedua orang tua Kemala meninggal dunia, Kemala langsung menutup diri. Enggan bertemu dengan siapapun termasuk teman-temannya.
Hingga akhirnya, keputusan pun Kemala ambil. Ia setuju untuk tinggal dengan Tante dan Om-nya. Bukan karena bosan dengan suasana kampung, namun karena begitu banyak kenangan yang membuatnya selalu bersedih setiap kali mengingat kedua orang tuanya itu.
Selain itu, ada misi tertentu yang ingin Kemala tuntaskan. Ia ingin menyelidiki semua orang yang dekat dengan ayah maupun ibunya. Ia ingin memastikan sendiri apakah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya itu murni kecelakaan atau karena ada sesuatu yang lain.
"Jahe itu yang ini, kalau lengkuas yang ini. Kamu bisa bedakan dari baunya. Kalau jahe, baunya itu hangat," ucap Tama seraya memperkenalkan bumbu dapur pada gadis itu.
Kemala mengangguk. Lalu ia pun bertanya apa bedanya merica dengan ketumbar? Dua bumbu berbentuk bulat kecil, namun sering membuatnya keliru.
Dengan penuh kesabaran, Tama kembali
menerangkan. Ia sampai lupa jika dirinya sedang merebus jagung. Ia terlihat asik, masak sambil mengajari Kemala.
Namun, beberapa menit kemudian, aroma aneh mulai tercium. Awalnya samar, kemudian semakin menyengat.
"Eh, Om, itu... bau apa ya?" tanya Kemala sambil mengerutkan hidung.
Tama mengendus udara. Matanya melebar saat menyadari bau gosong yang menguar makin kuat. Ia segera menoleh ke arah kompor. "Astaga...!!!" pekiknya, lalu buru-buru memutar knop kompor hingga api padam.
Ia mengangkat panci dan melihat bagian bawahnya sudah kehitaman, air rebusan asat, dan jagung yang tadi kuning cerah kini mulai mengering dan sedikit hangus.
Kemala menutup mulutnya, terkejut. "Aduh, maaf Om! Aku yang bikin Om jadi nggak fokus!"
Tama menoleh, lalu menatap gadis itu-dan entah kenapa, mereka malah saling berpandangan beberapa detik sebelum akhirnya tertawa bersamaan.
"Yah, ini pelajaran buat kita. Kalau masak, jangan sambil mengobrol," ucap Tama terkekeh sembari mencuci tangan dan meletakkan panci gosong itu di tempat cucian.
Kemala mengangguk, masih tertawa kecil. "Om bisa ganti nggak, jagungnya?"
"Bisa dong. Untung tadi Om sempat simpan beberapa biji lagi. Kita rebus ulang, tapi kali ini, jangan ajak Om ngobrol ya. Nanti gosong lagi," ucapnya bercanda.
Kemala terkekeh kemudian mengangkat tangannya dengan semangat. "Siap, Komandan!"
Tawa kecil kembali pecah di antara mereka. Suasana yang semula tegang kini mencair total. Tama merasa lebih ringan, begitu pula Kemala. Tak ada lagi rasa kikuk. Kini mereka lebih seperti keluarga atau setidaknya sedang berusaha untuk tetap terlihat seperti itu.
Mereka kembali melanjutkan aktivitas memasak.
Tama tetap menjadi pemandu utama, dengan sabar mengarahkan Kemala mengolah bahan-bahan yang ada. Kali ini, mereka lebih fokus dan bekerja cepat karena waktu makin malam.
"Sayuran ditumisnya pakai api kecil dulu, biar aromanya keluar," ucap Tama sambil menunjukkan cara menumis.
Kemala mengangguk penuh perhatian. "Wah, aku baru tahu. Biasanya kalau masak mie instan aja langsung cemplung semua."
"Mulai sekarang harus belajar ya. Biar nanti kalau tinggal sendiri, nggak bingung," kata Tama, lalu menambahkan dengan nada bercanda, "Atau... kalau nanti
Punya suami, nggak bikin dia kabur karena masakan kamu."
Kemala tersenyum tipis. "Ya ngapain kabur kalau suaminya bisa masak? Upps..." Kemala menepuk pelan bibirnya sendiri, tak sadar mengucapkan kata-kata yang membuatnya malu setengah mati.
Tama mengerutkan keningnya. "Oh, jadi kamu mau suami yang jago masak?" tanyanya mulai serius. "Nggak sekalian suami yang juga punya usaha cafe atau restoran?"
Pertanyaan itu seperti menggodanya. Kemala menggigit bibir bawahnya, merasa terjebak oleh kata-katanya sendiri.
Setelah satu jam lebih di dapur, akhirnya makanan pun siap disajikan. Tumis brokoli, ayam teriyaki, tahu dan telur sayur santan dan jagung rebus-hasil kolaborasi yang tak sempurna, tapi terasa penuh usaha dan tawa.
Mereka duduk berdua di meja makan, menyantap hasil kerja keras tadi.
"Enak juga ternyata ya, masak sendiri," ucap Kemala sambil mengunyah jagung.
Tama mengangguk. "Iya, dan lebih enak lagi karena kamu bantuin. Nanti kita belajar masak lagi ya. Mau kan?"
Kemala mengangguk mantap. "Mau banget dong, Om! Siapa tahu nanti bisa buka restoran kayak Om buka cafe," ucapnya bersemangat.
Tama terkekeh pelan. Tangannya mengacak rambut Kemala dengan gemas. Sesuatu yang lagi-lagi membuat Kemala berdebar dan salah tingkah.
"Kamu itu banyak duit, Mala. Gak usah buka restoran, warisan orang tuamu tidak akan habis 7 turunan. Kamu tinggal duduk manis dan belajar management bisnis aja buat meneruskan usaha keluargamu. Jadi Bu bos gitu," goda Tama yang membuat Mala tersenyum.
"Om bisa aja."
Keduanya melanjutkan makan malam. Meski hanya berdua, namun tidak mengurangi kehangatan yang tercipta di ruangan tersebut. Tama bertanya banyak hal, tentang kegiatan dan keseharian Kemala di sekolah. Dan Kemala menceritakan keseruannya. Teman-teman yang semula mencibir dan menghinanya, kini mulai memuji, apalagi Kemala sudah mulai berubah dari cara penampilannya.
Di tengah kehangatan itu, satu hal yang belum mereka sadari: Erina belum juga pulang. Dan ponselnya masih tak aktif. Sesekali, Tama melirik ke arah jam dinding, lalu ke layar ponselnya. Tapi tidak mengatakan apa-apa.
Dan Kemala pun hanya bisa diam, meski dalam hatinya mulai muncul rasa curiga pada tantenya.
"Apa Tante menemui pria itu lagi? Jika benar, itu tandanya Tante sudah ingkar. Aku tidak main-main dengan ucapanku. Om Tama pria yang baik dan menyenangkan, tega sekali jika Tante menghianatinya," gumam Kemala dalam hati, seraya menatap Tama yang kini wajahnya berubah resah karena memikirkan istrinya yang belum juga pulang.
Tama menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut.
Sudah lebih dari delapan jam sejak terakhir kali Erina pergi, namun panggilannya terus tak tersambung. Pesan-pesan yang ia kirim hanya centang satu. Ponsel istrinya entah mati atau benar-benar tidak aktif. Tapi ada yang janggal-tadi malam ia melihat akun media sosial Erina aktif beberapa jam yang lalu.
"Gak mungkin ponselnya mati kalau bisa buka medsos," gumamnya pelan.
Dari rasa khawatir, hatinya mulai dirambati rasa curiga. Ia mencoba menelusuri akun media sosial Erina. Tak sengaja, matanya terpaku pada satu nama yang baru-baru ini terlihat sering menyukai unggahan Erina: akun bernama "Sang Pujangga."
Penasaran, Tama mengklik akun tersebut. Untung saja tidak diprivat.
Ia menggulir layar perlahan. Tak ada foto wajah pemilik akun. Hanya potongan-potongan gambar pemandangan, kopi senja, dan kata-kata puitis yang terdengar seperti seseorang sedang jatuh cinta. Caption-nya pun penuh dengan metafora rindu dan kisah rahasia yang terselubung. Salah satu unggahan membuat napas Tama tercekat. Dua tangan saling menggenggam, difoto dari dekat.
Bukan wajah yang membuatnya tercekat, tapi... jam tangan wanita yang tampak di pergelangan tangan sebelah kiri. Ia mengenali betul jam itu. Hitam elegan dengan lekuk emas di bagian sisi. Hadiah ulang tahun yang ia berikan kepada Erina tahun lalu.
Deg.
Tama menahan napas. Dadanya bergemuruh. "Apa ini cuma kebetulan?"
"Bisa saja hanya mirip. Bukan hanya Erina yang punya jam itu di dunia."
Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan gejolak yang membuncah. Tak mau gegabah menuduh, namun pikirannya mulai melayang.
"Erina, kamu di mana sebenarnya?"
Namun ia tahu, menduga-duga tanpa bukti hanyalah racun. Ia berbaring di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang gelap. Nafasnya panjang dan berat. Erina memang bukan tipe ibu rumah tangga yang betah diam di rumah. Dia memang suka pergi-pergian, sekedar hangout dengan teman-temannya ataupun arisan dan shoping atau nyalon. Gaya hidupnya memang tinggi, itulah yang membuat Tama kadang kewalahan.
Malam ini pikirannya benar-benar kacau. Antara memikirkan istrinya yang tidak bisa dihubungi dan juga belum pulang hingga malam buta, juga memikirkan Kemala. Gadis polos itu benar-benar mengusik pikirannya.
Ketukan pintu membuyarkan tidurnya.
TOK! TOK! TOK!
Tama terbangun, refleks bangkit dan duduk. Ia melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul empat lewat lima belas dini hari. Ketukan itu terdengar lagi. Cepat dan keras. Kemala pun keluar dari kamar, menguap lebar sambil mengusap mata.
"Siapa sih, Om? Kok subuh-subuh udah ada yang ngetuk?"
Tama mengendikkan bahu. "Om juga gak tahu. Kamu tunggu disitu, Om lihat dulu." Ia langsung melangkah turun, mendekati pintu utama.
Ketika kunci pintu dibuka, dunianya seperti berhenti sejenak.
"Erina?"
Istrinya berdiri di ambang pintu. Tubuhnya menggigil, bajunya kotor dan basah. Wajahnya tampak lusuh dan tanpa makeup, pucat, dan air mata mengalir deras dari matanya. Tubuhnya terlihat begitu rapuh.
Tama terdiam, matanya membelalak. Erina langsung jatuh dalam pelukannya, menangis keras hingga tubuhnya bergetar.
"Mas... aku dibegal... mereka ambil semua! Mobilku, tas, ponselku. Aku... aku semalaman sembunyi dan lari dari kejaran mereka, aku takut, Mas! Aku takut banget!"
Tama yang tadinya curiga, kini dilanda rasa bersalah. Ia membalas pelukan itu dengan erat, menepuk-nepuk punggung istrinya lembut.
"Ya Allah... Sayang, kamu pasti trauma banget. Ayo masuk dulu, kamu istirahat. Yang penting kamu selamat. Harta bisa dicari lagi," ujarnya iba.
Kemala yang melihat dari tangga, membeku di tempat. Ia ingin menghampiri, tapi memilih mundur. Dalam hatinya, ia merasa bersalah karena semalam sempat menuduh tantenya yang tidak-tidak. Namun disisi lain, entah mengapa ia merasa seperti ada yang janggal.
"Benarkah Tante Erina dibegal?"
Erina duduk di pinggir tempat tidur dengan tubuh menggigil. Ia telah mengganti bajunya dengan daster hangat. Matanya sembab, dan tubuhnya masih tampak lemas.
Tama meletakkan baskom kecil berisi air hangat di meja kecil dekat ranjang.
"Aku siapin buat kamu cuci muka dulu. Kalau mau mandi, Mas bantu nanti ya. Tapi sekarang kamu rebahan aja dulu. Kamu harus banyak istirahat."
Erina mengangguk lemah. Ia rebah di ranjang, dan Tama menarik selimut menutupi tubuhnya.
"Mas ke dapur dulu, ya. Mas bikinin teh hangat dan sarapan buat kamu."
Setelah mencium kening istrinya, Tama keluar kamar.
Pintu pun tertutup perlahan.
Erina masih terbaring diam. Tapi sesaat setelah langkah kaki Tama tak terdengar lagi... ekspresinya berubah.
Tangisnya berhenti. Wajah yang tadi begitu lelah dan penuh duka kini berubah dingin dan penuh kemenangan.
Perlahan, bibirnya menyunggingkan senyum. Bukan senyum lega, melainkan senyum penuh siasat. Senyum puas seorang aktor yang berhasil memerankan lakon.
"Hah... akhirnya mereka percaya. Gak akan ada yang berani tanya aku pergi ke mana semalam. Gak akan ada yang curiga... lagi." Matanya menatap kosong ke langit-langit kamar. Ia nekat berbohong sejauh ini agar bisa mengelabui Tama dan Kemala. Ia tak mau sampai Kemala tahu kelakuan tantenya yang telah ingkar janji.
"Terima kasih, semesta. Dengan begini... aku bebas."
Ia tertawa pelan, nyaris tak bersuara.
Di dapur, Tama menyiapkan dua cangkir teh hangat. Ia masih syok mendengar cerita istrinya. Dalam pikirannya, Erina pasti trauma hebat.
Hatinya belum tenang sepenuhnya. Meski secara logika ia bisa menerima penjelasan Erina, ada sesuatu yang menggantung. Perasaan yang sulit dijelaskan. Apakah karena sebelumnya ia sudah terlalu dalam mencurigai?
Tama menarik napas panjang.
"Jangan suuzan. Sudah jelas Erina pulang ketakutan seperti itu. Aku tidak boleh mencurigainya."
Ia mencoba menenangkan pikirannya, sambil menuang teh ke dalam cangkir. Namun, dalam relung hatinya yang paling dalam... benih curiga itu belum benar-benar mati.
Erina beranjak dari kasur, ia membuka kunci lemari, mengeluarkan ponsel dan nomor lain yang ia punya tanpa sepengetahuan suaminya.
Sebelum ia menaruh kembali ponsel dengan nomor yang tidak diketahui siapapun selain kekasih gelapnya, ia pun mengirim pesan pada pria yang semalam telah menghabiskan waktu bersamanya itu.
[Thanks, Honey. Rencana kita berhasil. Sudah aku bilang, mereka akan percaya. Aku dulu dijuluki ratu sandiwara di kelas teater. Berakting adalah hal yang sangat mudah. Kamu simpan dulu ya mobil dan ponsel aku.
Nanti kita ketemuan. Bye, sayang].
Erina tersenyum sinis. Kemudian memasukkan kembali ponselnya ke dalam lemari. Ia menyelipkan diantara tumpukan bajunya. Setelah itu, Erina kembali berbaring di atas kasur. Ia tersenyum menyeringai, penuh intrik licik. Namun saat Tama kembali dengan membawa teh hangat dan sarapan, si ratu drama itu pun kembali menunjukkan wajah lesu dan sendu.
"Rin, sebaiknya kita cepat lapor polisi. Mas ingin polisi menangkap komplotan yang telah membegal kamu. Kita harus menemukan mereka dan menjebloskannya ke penjara!'
?" Erina mematung, bingung dan panik. "A-apa? Polisi...
Degh.