Misteri kematian Revano yang tidak pernah meninggalkan jejak, membuat gadis penderita ASPD tertantang menguak kebenaran yang selama bertahun-tahun ditutupi sebagai kasus bunuh diri.
Samudra High School dan pertemuannya bersama Khalil, menyeret pria itu pada isi pikiran yang rumit. Perjalanan melawan ego, pergolakan batin, pertaruhan nyawa. Pada ruang gelap kebenaran, apakah penyamarannya akan terungkap sebelum misinya selesai?
Siapa dalang dibalik kematian Revano, pantaskah seseorang mencurigai satu sama lain atas tuduhan tidak berdasar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon jewu nuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tujuh
Aletha menatap papan tulis yang baru saja dia lengkapi. Rasanya sudah jauh lebih frustasi dari sebelum dia melibatkan Khalil pada kasus ini. Apakah dia harus menyuruh pria itu pergi dengan uang tutup mulut? Lagi pula tidak ada gunanya juga pria itu ada dalam misi sebesar ini. Kecuali dia benar-benar menyerah atas kemauannya.
“Sudah sejauh mana?”
“Cukup jauh”
“Hubunganmu dengan pria itu”
Aletha mendongak saat Avrem tersenyum dengan pembahasan yang dia buat. Sepertinnya terjadi kesalahpahaman dalam kasus terkuaknya kematian Revano Putra Sach tiga tahun lalu. Dengan kedatangan Khalil yang justru jadi bumbu tidak penting dirumah ini.
“Papah senang kalau kamu punya teman”
“Dia bukan temanku” Aletha sibuk membuka album yang dia khususkan untuk meletakkan bukti. Mengamati beberapa poin yang menurutnya penting. Mengabaikan Papah yang masih ada disampingnya dan ikut menganalisis.
“Lebih baik begitu”
Aletha terdiam, ada beberapa hal yang perlu digaris besari. Bahwa pria yang merangkul Revano saat menang di perlombaan opimpiade itu, berulang kali ada pada foto yang Aletha temukan. Foto usang di warung, figura dikamar Revano, dan ruang musik.
Gadis itu beranjak, meninggalkan Avrem merasa sudah terbiasa dengan perilaku anaknya yang suka tiba-tiba. Pria paruh baya itu lantaran duduk di kursi yang sebelumnya di tempati anaknya. Menatap papan tulis dan beberapa catatan dimeja Aletha yang terbaca jauh lebih masuk akal dibanding tiga tahun yang lalu.
Pria itu membuka ponselnya, menyambungkan panggilan telfon pada advocat keluarga sebelum kembali beranjak meninggalkan kamar Aletha.
“Ini lebih masuk akal dari pembelaan anda”
“Permisi, maksud bapak?”
Kasandra menghela napas, menatap suaminya baru saja menutup pintu kamar Aletha. Dia yakin suaminya juga sama penasarannya dengan Aletha. Sudah sering kali mereka bicarakan saat ada pada ruangan yang sama. Bahkan tentang keputusannya membiarkan Aletha terjun kelapangan, sendirian.
“Bisa kita bertemu?”
Wanita itu menggeleng pelan, untuk urusan yang terjadi tiga tahun yang lalu tentu bukan hal yang bisa diusut dengan semudah dulu. Bahkan akan jauh lebih banyak resiko yang terjadi dengan keluarga mereka, sekalipun mereka mengubah status keluarga mereka secara menyeluruh.
Aletha memiringkan wajahnya, menatap figura yang tergeletak diatas piano usang milik Revano. Dia bisa lihat kemiripan wajah pada tiga foto yang berbeda.
“Biar seni saja yang bicara”
Suara dering ponsel memecah keheningan diruang musik ini. Pandangan yang semula penuh rencana tiba-tiba buyar karena panggilan dari nomor yang tidak dikenal, atau lebih tepatnya nomor itu tidak Aletha simpan.
“Mereka berteman sejak kelas 10, cuman itu yang bisa gue dapet”
“Lo bisa kesini?”
Khalil mengangguk, walau diyakini Aletha tidak akan tahu ekspresi apa yang dia tunjukkan. Pria yang baru saja keluar dari sebuah rumah megah itu meninggalkan halaman dengan motor miliknya. Memecah kesunyian malam dan menerobos angin malam dengan tenang.
“Gue nggak tahu, lagian lo jauh-jauh kesini cumann mau nanyain soal dia?”
Khalil menyesap kopi hitam yang baru saja tersaji dimeja. Melihat gadis berambut panjang itu sibuk menata meja belajarnya yang sempat berantakan. Maniknya mengintai isi ruangan yang entah sudah berapa lama tidak dia kunjungi. Berubah jadi lebih berbeda dan ramai dari terakhir kali dia datang.
“Khal, gue udah lama banget nggak ketemu sama dia”
Khalil menghela napas, membiarkan gadis itu sibuk dengan dirinya sendiri.
“Ini kalo lo nggak maksa ketemu aja, gue ogah banget ketemu sama lo”
“Dell, lo yakin ya nggak tahu sesuatu tentang kasus pembunuhan itu?”
Delleta berbalik, masih memegang buku yang hampir dia simpan dilaci. Tatapannya tidak bisa diartikan dengan sempurna. Tapi Khalil bisa lihat bagaimana tatapan itu seakan menyembunyikan bangkai yang tidak dingin dicium.
“Maksudnya, lo ada ditahun itu dan lo harusnya kenal sama dia”
“Ini lo lagi nanyain soal Sean atau kasus pembunuhan sih?”
Khalil terdiam, harusnya malam ini dia bisa menemukan jawaban dari pertanyaan yang sudah dia siapkan sejak dirumah. Sejak setelah bertemunya bukti kalau sahabatnya, Sean adalah teman dekat Revano di Samudra High School.
Khalil menunjukkan ponselnya. Tangkapan gambar yang dia ambil sebelum semua foto dia serahkan pada Aletha sore tadi.
“Ini Sean dan orang yang dia rangkul adalah orang yang jadi korban pembunuhan itu”
Delleta kembali berbalik, tak meninggalkan kata atau rekam jejak yang valid yang bisa menunjang analisa pertemuan mereka.
“Dell, lo sama Sean itu satu kelas dan lo harusnya tahu kalau dia temenan sama orang ini”
“Gue nggak tahu lo ngomong apaan, tapi gue sibuk banget”
Khalil memarkirkan motornya tepat didepan halaman rumah Aletha. Menatap Aletha yang entah sudah sejak kapan duduk di teras dengan laptop dan beberapa kertas dimeja. Harusnya, diumur ini bukan demi memberantas kasus pembunuhan yang Khalil lakukan. Tapi lebih menjurus pada percintaan remaja atau prestasi yang akan dibanggakan kelak.
Pria itu menghela napas panjang setelah meletakkan helm pada jok mortornya. Melangklah lebih dekat untuk tahu ide gila apa lagi yang teman barunya itu akan bicarakan dengannya.
“Jadi apa lagi?”
“Dari semua foto ini, cumann dia yang selalu ada disamping Revano”
Khalil terdiam saat sebuah foto baru yang diberikan Aletha terletak diatas meja, foto yang tidak asing dipikiran pria itu.
“Kita harus cari dia”
Khalil menggeleng, “Kita nggak tahu dia dimana sekarang, lo harus tahu fakta kalo gue dan Delleta sahabat dia sejak kecil, tapi kita udah nggak saling komunikasi”
“Sejak?”
Khalil hanya diam. Setelah kedua sahabatnya masuk ke Samudra High School, Khalil sudah jarang sekali bertemu atau berkomunikasi dengan kedua sahabatnya, terutama Sean. Bahkan setelah sekian tahun dia memutuskan untuk bergabung di sekolah itu, Delleta selalu memaksanya untuk menggunakan semua kepintarannya ditempat yang benar. Setelah akhirnya penolakan yang tidak berdasar itu justru dia gunakan sebagai gerbangnya masuk ke sana. Jadi pertanyaan-pertanyaan yang justru memancing kecurigaan. Tentang pada akhirnya Delleta dan Sean yang menghilang begitu saja. Bahkan kedatangan Aletha.
Jadi menurutnya, justru keputusan untuk bergabungnya pada misi bersama Aletha bisa juga membantunya menemukan jawban dari pertanyaan itu. Justru menguntungkan jika kasus ini bisa mempertemukannya dengan Sean dan Delleta seperti dulu.
Simbiosis mutualisme, dimana kedua pihak yang terlibat saling mendapat keuntungan.
“Kita harus mulai dari mana?”
“Kita tidak akan pernah mulai dan tidak akan pernah mengakhirinya”
Khalil menghela napas, kenapa sih gadis ini selalu punya jawaban yang terkesan menyebalkan. Dengan gayanya yang datar dan dingin selalu membuatnya merinding. Bahkan ditengah malam yang sunyi, hanya ditemani akumulasi bahwa Delleta dan Sean tahu semua tentang kematian Revano.
“Gue pernah lihat ini di kamarnya Sean”
“Benar karena mereka berteman”
“Aletha, bisa nggak buat nggak bersikap horror kaya gini?”
“Jadi lo minta gue kaya gimana?”
“Yang ceria atau sekiranya senyum dikit” Khalil tersenyum, seakan memberikan contoh pada lawan bicaranya. Tapi tidak berhasil, dia justru terdiam dengan laptop yang terus menyapa dipangkuannya. Pandangan terfokus pada setiap abjad yang tersusun rapih dengan gambar.
“Apa selanjutnya?”
“Lo bilang bisa akses ruangan yang nggak bisa gue akses tanpa kecurigaan, menurut lo ruangan apa yang bisa jadi tempat penyimpanan dokumen rahasia, kecuali gudang?”
Khalil tertawa. Mana mungkin gudang dijadikan tempat penyimpanan berkas rahasia, kecuali kalau orang-orang memang sengaja menutupi ini semua dengan halus, tanpa jejak.
“Bisa jadi gudang, Al”
Aletha menoleh, menatap Khalil yang berubah ekspresi jadi lebih dingin. Selain ruang kepala sekolah dan gudang, Aletha hanya memikirkan sebuah ruangan yang tidak begitu dia yakini akan bisa dijamah. Laboratorium biologi lantai dua, suatu ruangan yang belum sempat dia masuki dan jamah lebih lanjut.
To Be Continue...