 
                            Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Malam itu, pikiran Jhonatan tentang Aresa dan pesan terakhir dari Alvino terus berputar di kepalanya. Ia meraih ponselnya dan kembali mengirim pesan kepada Alvino.
Jhonatan: Vin, aku butuh nomornya.
Alvino: Jo, maaf. Aku nggak bisa. Minta saja langsung ke Resa.
Jhonatan membaca balasan itu, rahangnya mengeras. Ia tidak mengerti. Bagi seorang perwira sepertinya, meminta nomor telepon seorang wanita seharusnya bukan hal sulit. Tapi ini Aresa—wanita yang keras kepala, sulit ditebak, dan sekarang menjauh darinya. Ia membuang ponselnya ke kasur, merasa frustrasi.
Keesokan paginya, Jhonatan berolahraga bersama para prajuritnya. Ia berlari, melompat, dan melakukan berbagai gerakan fisik, mencoba mengalihkan pikirannya. Tapi bayangan Aresa terus muncul.
“Kapten Jhonatan,” panggil salah satu prajurit.
“Ada apa?” suaranya datar.
“Maaf, Kapten... Anda terlihat tidak fokus. Apa ada masalah?”
“Tidak,” jawabnya singkat. “Lanjutkan latihannya.”
Ia menarik napas panjang. Ia tidak mungkin menceritakan masalah pribadinya. Sebagai komandan, ia harus terlihat kuat—meskipun pikirannya berantakan.
****
Sementara itu, di apartemen Arian, Aresa masih terlelap. Arian sudah berangkat ke kantor, meninggalkan Aresa sendiri. Aresa terbangun pukul sepuluh pagi, ia terkejut karena matahari diluar sudah tinggi. Ia bergegas ke kamar mandi, membersihkan diri. Kemudian ia pergi ke dapur. Saat membuka kulkas, ia baru menyadari ternyata stok bahan makanan habis. Akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke supermarket dahulu.
Aresa berjalan santai sambil mendorong keranjang belanja, mengambil bahan-bahan untuk stok seminggu. Saat hendak meraih saus tomat di rak, sebuah tangan lain juga menjulur ke arah botol yang sama. Ia menoleh.
Seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun tersenyum ramah.
“Maaf, sepertinya kita ambil barang yang sama,” katanya ringan.
Aresa tersenyum balik. “Iya, untuk anda saja tidak masalah.”
“Tidak, saya ambil yang lain saja. Lagipula ini botol terakhir,” ujar wanita itu sambil tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, mau masak apa?”
Aresa yang merasa nyaman dengan keramahan wanita itu, membalas, "Saya mau buat pasta, tapi saus tomat di rumah habis."
Mereka berdua berjalan menuju kasir sambil terus berbincang tentang bahan makanan dan resep. Mereka tidak bertukar nama, hanya obrolan ringan yang terasa menyenangkan. Setelah selesai, mereka berpisah. Aresa pulang dan langsung memasak makan siangnya. Ia membuat pasta pedas, lalu menunaikan salat. Setelah itu, karena bosan, ia mulai membuat kue kering. Ia tenggelam dalam kesibukan sampai Arian pulang.
*****
Di sisi lain, Jessica tersenyum kecil di balik kemudi mobilnya. Ia masih memikirkan wanita yang tadi ditemuinya di supermarket—berjilbab bergo hitam, berbicara sopan namun cerdas, dan memiliki aura yang menenangkan.
“Andai saja Jhonatan bisa ketemu wanita kayak gitu,” gumamnya pelan.
Adiknya itu terlalu kaku, dingin, dan jarang membuka diri. Ia selalu berharap Jhonatan bisa bertemu seseorang yang bisa melembutkan hatinya.
Jessica ingin Jhonatan segera memiliki pasangan, seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hatinya.
Dan Aresa, wanita itu, sepertinya adalah orang yang tepat. Ia berandai-andai, membayangkan Jhonatan dan Aresa. Ia yakin, Jhonatan akan menyukai Aresa. Dan ia akan mencoba untuk menjodohkan mereka.
Namun, ia bahkan tak tahu nama wanita itu. Ia hanya bisa menghela napas, merasa kecewa karena kesempatan itu hilang begitu saja.
*****
Malamnya, Jhonatan makan di tenda Lamongan pinggir jalan. Ia duduk di sudut, berusaha menikmati sepiring nasi bebek goreng. Tapi matanya tiba-tiba menangkap sosok yang tak asing—Aresa. Ia datang bersama seorang pria, dan mereka tampak sangat akrab.
Jantung Jhonatan berdebar kencang. Pria itu bukan yang kemarin di pasar malam. Ia mencoba bersikap tenang, tapi matanya tak lepas dari Aresa. Mereka tertawa, berbicara santai, dan seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Setelah selesai makan, mereka pergi. Tanpa pikir panjang, Jhonatan mengikuti mereka dari jauh. Mobil pria itu berhenti di depan apartemen yang Jhonatan kenal—apartemen yang sama seperti kemarin. Ia memarkir mobilnya agak jauh, lalu turun diam-diam.
Dari jarak tertentu, ia masih bisa mendengar percakapan mereka.
“Mas Arian, kenyang banget rasanya aku,” kata Aresa sambil tertawa.
“Sama, Dek. Mungkin karena makanannya enak banget,” jawab pria itu sambil mengusap kepala Aresa lembut—seperti kakak kepada adik.
Jhonatan memijat keningnya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan. Hingga akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke rumah Alvino. Ia butuh jawaban.
Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah Alvino. Begitu tiba, ia langsung disambut dan dipersilakan masuk.
Mereka duduk berhadapan. Awalnya, Jhonatan berbasa-basi soal bisnis, tapi rasa ingin tahunya terlalu besar.
“Vin,” katanya perlahan, “siapa pria yang kemarin nganter Aresa pulang?”
“Oh, itu Alvero. Adik gue,” jawab Alvino santai. “Kenapa emang?”
“Jadi... dia bukan pacarnya?”
Alvino tertawa kecil. “Bukan, lah. Mereka sepupu—malah saudara sepersusuan. Makanya akrab banget, Mereka emang begitu dari kecil.”
“Oh...” Jhonatan mengangguk pelan. “Jadi masih mahram, ya.”
“Iya. Tapi emangnya lo lihat mereka kapan?” tanya Alvino curiga.
“Emm... kemarin. Nggak sengaja. Di pasar malam,” jawabnya jujur. “Mereka kelihatan... mesra.”
Alvino tersenyum, setengah geli. “Ya wajar, Jo. Mereka udah kayak kembar.”
Jhonatan mengangguk lagi, tapi wajahnya masih tegang.
“Terus tadi gue juga lihat Aresa makan sama cowok lain,” katanya lirih.
"Oh, mungkin sama kakaknya kali, kakak Resa kan ada yang menetap disini." Jawab Alvino santai.
Jhonatan terdiam. Hatinya sedikit menghangat. Semoga semua prasangkanya salah. Tapi entah kenapa, rasa lega itu justru bercampur dengan rasa yang lebih dalam—rasa yang ia belum siap akui: ia mulai peduli pada Aresa.
ahhh... sepertinya cocok dengan Jonathan yang keras kepala.
kalau dia punya pilihan