NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Filsafat dan Kejedot Nasib (Bagian 2)

Kalau ada kompetisi tahunan bernama “Paksaan Kencan Buta dari Tante-Tante,” aku sudah pasti langganan juara umum. Kali ini dia berhasil merayu sohibnya, yang gak lain adalah mamaku untuk mengenalkan ku dengan Stok “anak temen tante satu lagi yang BISA BANGET buat kamu, Meisyaa~~”

Dan seperti biasa, alasan mereka selalu sama.

“Kamu udah 30, sayang. Usia kritis. Ibarat alpukat, ini udah harus di kupas atau di buang.”

Luar biasa.

Setelah serangkaian teror dari mama, keluarga dan 13 grup WhatsApp, akhirnya aku menyerah pada tekanan dan menerima satu jadwal kencan dengan pria bernama Pandu.

Dan tentu saja Tante Wira membanggakannya sebagai pria baik, anak pengusaha, lulusan luar negeri, sopan, gak neko-neko dan punya potensi jadi suami yang “mapan dunia akhirat.”

Tapi begitu aku duduk di kafe itu dan melihat langsung…

Aku paham kenapa dia masih jomblo.

Dia datang dengan jas linen, sepatu mengkilap, dan senyum penuh percaya diri yang kayaknya diwariskan turun-temurun dari nenek moyangnya yang merasa dunia ini franchise milik keluarga mereka.

“Gue biasanya ngopi di Milan, tapi ya udahlah, tempat ini cukup…humble,” katanya sambil melihat interior kafe lokal yang aku anggap estetik tapi dimatanya kayak warteg tematik.

Aku hanya tersenyum kaku, sambil ngesot pelan-pelan ke sudut sofa.

“Jadi lo kerja di…perusahaan kreatif gitu ya? Seru sih. Gue juga pernah bikin start-up waktu di Berlin. Tapi ya… gue jual setahun kemudian. Capek juga sih dihujani investor,” katanya sambil meraih HP-nya dan memperlihatkan FOTO MOBIL, JAM TANGAN, DAN VILLA NYA.

Tanpa diminta.

Tanpa jeda napas.

Tanpa henti.

Aku hanya bisa menyeruput kopiku dengan sedotan, berharap kafe ini tiba-tiba di serbu alien dan semua orang di bawa kabur, kecuali aku dan si Pandu ini.

“Oh iya, gue juga sempat jadi speaker TEDx. Tapi waktu itu gue nolak keynote di Davos, karena ya…again, capek.”

(TEDx-nya ternyata di kampus swasta pinggiran kota. Davos entah siapa.)

Kepalaku berdenyut.

Hatiku menjerit.

‘YA TUHAN, INI MANUSIA ATAU POWERPOINT HIDUP DENGAN SLIDE FLEXING?’

Aku mencoba menyela, tapi setiap kali aku membuka mulut, dia seperti sedang menunggu jeda…hanya untuk lanjut flexing.

“Gue tuh suka cewek yang gak neko-neko. Kayak lo nih. Simple, polos, natural. Walau, ya… baju lo kurang branded sih, tapi lucu lah. Ada effort-nya.”

AKU TERSENYUM.

Tapi dalam hati, aku sudah mengisi formulir pengajuan pindah ke planet mars.

Aku hanya balas dengan gumaman lembut, “Iya ya…”

Padahal dalam hatiku,

‘Sumpah ya kalau gue gak punya image sebagai anak baik dan belum bayar kopi ini, udah tak lempar sedotan ke jidat lo, mas.’

“Eh, lo suka yacth gak?” lanjutnya.

YACHT.

Dia barusan tanya ke aku—cewek yang bajunya diskonan dan beli sambil ngumpulin point matahari departement store.

Akhirnya, setelah 52 menit penuh penderitaan, 13 kali aku nyaris nelen sedotan dan 7 kali melirik pintu darurat…aku bangkit.

“Eh, Pandu…gue lupa. Gue ada…um…seminar…tentang… eh…astrofisika dan peran gender dalam revolusi industri 5.0. Gue harus pergi. Sekarang. Banget.”

Dia hanya mengangguk sok pengertian.

“Wah, keren sih lo bisa tertarik hal kayak gitu. Kita harus ngobrolin itu lagi. Nanti gue ceritain waktu gue ikut pelatihan Elon Musk ya.”

Aku kabur. Secepat mungkin.

Kalau aku bawa koper, orang pasti ngira aku kabur dari KUA. Nafasku ngos-ngosan, dompet hampir jatuh dan sedotan boba yang baru aku beli di depan toko malah mental kena jidat sendiri.

Aku ngeluarin ponsel. Cari nama yang selalu siap siaga dalam tragedi hidupku.

Rahma.

Telepon.

Tersambung.

Langsung kumuntahkan semuanya seperti bayi habis makan bubur,

“GUE GAGAL. GUE GAGAL SEBAGAI CEWEK. GUE DI JEBLOSIN KE KENCAN NERAKA. KAYANYA OTAK TANTE WIRA UDAH DICUCI SAMA SALES MLM KEJAHATAN EMOSIONAL.”

Di seberang sana, Rahma belum sempat jawab, aku sudah lanjut.

“Dia ngomongin yacht, Ma. YA. YAUT. KAPAL PRIBADI. DIA NGOMONG KATA YACHT 3 KALI DALM 5 MENIT PERTAMA. AKU TAHAN PINGIN TANYA, ‘MAS, SAYA AJA NAIK ANCOL MASIH NYEWA BAN!”

Dan seperti biasa…Rahma ketawa.

Tapi bukan ketawa yang pelan.

Bukan juga ketawa ala sahabat yang iba.

Ini ketawa yang keras. Yang mengandung unsur kejahatan. Yang kalau di rekam dan dijadikan ringtone, bisa bikin netijen report audio sebagai bullying emosional tingkat tinggi.

“Meisya, lo tuh kenapa ya… nasib percintaan lo udah kayak sinetron yang disutradarai waktu udah ngantuk. Ngak jelas konfliknya, plot twist-nya absurd, trus endingnya-nya selalu bikin pengen mandi air wudhu.”

“Gue capek,” desahku dengan emosional, sambil duduk di bangku taman depan toko boba, minum pelan-pelan kayak karakter utama drama korea yang baru sadar cowok incarannya nikah sama temennya.

“Dia tuh… lo tau kan, orang yang narsis gak ketulungan sampe lupa bahwa manusia lain juga punya otak? Dia orangnya. Dia ngomongin mobil sport-nya, rumah di PIK, jam tangan satu biji harga bisa bayar kontrakan gue setahun. Terus bilang gue ‘simple tapi lucu walaupun kurang branded, LUCU? BRANDED? GUE ORANG, BUKAN KERIPIK SANJAI BALADO, MAS!”

Rahma ketawa lagi. Makin keras.

“Dia ngajak gue ngomongin yacht, Ma. Yacht. Gue barusan trauma kalau ada yang nyebut kata itu, gue bisa langsung tremor. Serius”.

Aku menyeruput boba tea dari sedotan, berusaha tenang, tapi suara Rahma di seberang makin meracuni.

“Terus lo bilang apa ke dia?”

“Gue bohong.”

“Ngakuin lo hamil anak alien?”

“Nggak. Gue bilang gue ada seminar mendadak tentang astrofisika dan gender equality di era AI. Terus dia malah nyaranin buat dengar cerita dia pergi seminarnya Elon Mask. Gak. Gue lari. LARI, MA. GUE LARI DARI PRIA KECIL DENGAN MIMPI BESAR DAN DOMPET LEBIH BESAR LAGI.”

“Pantes lo capek,” kata Rahma sambil ngekek.

“Dikejar rasa malu dan…kapitalisme.”

“Bukan kapitalis, Ma. Dia itu…walking katalog Hermes, tapi versi narsis dan nyebelin. Dia ngajak ngobrol tapi yang banyak bicara dia. Itu bahkan ngobrol lagi. Itu monolog. DIA LAGI OPEN MIC SEDANGKAN GUE ADALAH PENONTON TERTINDAS YANG DIPAKSA KETAWA DENGAN HATI YANG PECAH.”

“Hahahaha.”

“Kayaknya gue kena PTSD. Mungkin gue bakal kejang kalau ada orang ngomong yacth dengan aksen kebule-bule-an.”

“HAHAHA”

Aku diam, menatap langit.

Burung merpati lewat. Satu ekor hampir nabrak kepalaku. Tapi aku gak marah. Aku anggap itu simbol semesta bahwa aku harus menghindar dari kencan buta dengan old money selanjutnya dengan alasan demi keselamatan nasional.

“Ma,” panggilku pelan.

“Hm?”

“Gue serius. Gue pengen kok…punya pasangan. Pengen punya someone to come home too. Someone yang bisa gue ajak ngunyah cireng tengah malam tanpa bahas NFT atau angka inflasi.”

“Lo butuh cowok yang duduk diam, diem-diem ngelirik lo sambil makan mi instan pakai telur ceplok setengah mateng.”

“Pakai cabai rawit 3 biji.”

“Dan bilang ‘Mie-nya kurang asin, tapi lo cukup.”

“HAHAHA”

“Dan setelah gue pikir-pikir lagi, bentukan cowok yang masuk ke hidup gue tu makin absurd, yang satu manggil gue cabul karena iklan kolor, yang satu flexing kapal pribadi dan ngejek baju gue kurang branded. Apa sih dosa gue di kehidupan sebelumnya? Jadi batu bata illegal?”

“Mungkin lo dulunya peletak paving block yang sering miring.”

“ASTAGA RAHMA, BERHENTI BERCANDA. GUE TAU KENAPA GUE JOMBLO. KARENA STANDAR GUE LUCUNYA UDAH SEPERTI TREN TIKTOK.”

Kami tertawa bareng. Tertawa sambil menangis dalam waktus bersamaan. Yes, nangis ketawa. Kayak anak kecil yang abis dijanjiin es krim, di kasih, terus jatuh. Terus dikasih lagi, tapi yang rasanya rumput laut.

Umur 30 tuh memang aneh. Kalau belum nikah di suruh buru-buru. Kalau udah buru-buru nikah, di bilang gak selektif. Kalau selektif dianggap jual mahal. Kalau juah murah…. ya elah, harga diri gue yang dipertaruhkan.

Aku tarik nafas, menyeruput boba terakhir sampai bunyi sruuuuuuttttt-treeessk!

Boba didasar gelas nyangkut di sedotan.

Aku gigit.

Manis. Tapi agak keras. Kayak hidup. Dan saat itu aku sadar…

“Rahma.”

“Yes?”

“Kayaknya gue kangen cabul-calling itu. Setidaknya dia ngatain gue secara langsung, gak secara halus lewat jam tangan mahal.”

“Jujur ya… gue gak tau siapa jodoh lo nantinya. Tapi gue yakin dia punya satu kemampuan super: sanggup liat lo nangis sambil ngunyah boba dan tetap bilang, lo lucu banget sih’ tanpa niat kabur.”

Aku mewek lagi.

“Jadi… gue lucu, Ma?”

“Lo lucu. Tapi trauma sama kata ‘yacht’ ini kayaknya harus ditangani psikolog spesialis kapitalisme.”

“Lo gak guna.”

“Tapi lucu.”

Kami kembali ketawa bareng.

Hari itu aku pulang dengan mata sembab, dada plong dan mental agak penyok. Dan saat mama nanya bagaimana progres kencan butanya aku langsung bilang gak akan ikut kencan buta ala Tante Wira lagi. Mama cuma diam. Gak kasih komentar.

Tapi se-chaos apapun hidupku, minimal aku gak sendiri. Aku punya Rahma. Dan boba. Dan trauma.

Yang penting bukan yacht.

**

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!