Nama Ethan Cross dikenal di seluruh dunia sihir sebagai legenda hidup.
Profesor pelatihan taktis di Hogwarts, mantan juara Duel Sihir Internasional, dan penerima Medali Ksatria Merlin Kelas Satu — penyihir yang mampu mengendalikan petir hanya dengan satu gerakan tongkatnya.
Bagi para murid, ia bukan sekadar guru. Ethan adalah sosok yang menakutkan dan menginspirasi sekaligus, pria yang setiap tahun memimpin latihan perang di lapangan Hogwarts, mengajarkan arti kekuatan dan pengendalian diri.
Namun jauh sebelum menjadi legenda, Ethan hanyalah penyihir muda dari Godric’s Hollow yang ingin hidup damai di tengah dunia yang diliputi ketakutan. Hingga suatu malam, petir menjawab panggilannya — dan takdir pun mulai berputar.
“Aku tidak mencari pertempuran,” katanya menatap langit yang bergemuruh.
“Tapi jika harus bertarung… aku tidak akan kalah dari siapa pun.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zikisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 1 – Ethan Cross & Kekuatan Super
Awal Juli 1980, London, Inggris
Udara malam di London terasa lembap. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah dan jalanan yang masih mengilap di bawah sinar lampu jalan. Dari jendela tua yang cat putihnya mulai mengelupas, cahaya redup menembus tirai tipis, menari-nari pelan karena hembusan angin.
Di balik tirai itu, seorang anak laki-laki berdiri di depan cermin.
Wajahnya pucat, rambutnya berantakan, namun matanya—tajam dan dalam—memantulkan sesuatu yang lebih dari sekadar anak berusia sebelas tahun.
“Ugh… aku tidak tahan,” gumamnya pelan.
Ia menatap bayangannya sendiri, mengangkat tangannya perlahan, membuka dan menutup jemarinya seolah mencoba menggenggam sesuatu yang tak tampak.
Setiap gerakan terasa penuh perhitungan.
Setiap napas disadari dengan tenang.
Sebelas tahun.
Itulah usia Ethan Cross saat ini—sebelas tahun hidup di dunia yang terasa asing. Sejak pertama kali membuka mata di panti asuhan Gereja Ellens, hidupnya seolah berhenti di satu titik waktu.
Bangunan tua berlantai kayu itu berdiri di antara rumah-rumah bata merah di pinggiran kota London, dikelilingi taman kecil yang selalu basah oleh embun pagi.
Tanpa komputer, tanpa televisi berwarna, apalagi ponsel.
Bagi seseorang yang pernah hidup di masa jauh lebih modern—seperti yang samar-samar ia ingat—semua ini terasa seperti hukuman.
Ketukan keras di pintu memecah lamunannya.
“Kenapa berisik banget? Kamu nggak takut ketahuan begadang?” suara berat terdengar dari balik pintu, diikuti dengan langkah tergesa.
Ethan membuka pintu. Seorang remaja berusia sekitar enam belas tahun berdiri di sana, memeluk kardus besar dengan napas tersengal.
Kemejanya kusut, rambutnya acak-acakan, namun senyumnya… senyum itu selalu sama—lebar dan ceroboh.
“Maaf, bos. Kardusnya berat banget, jadi agak telat,” ujarnya sambil terkekeh.
Ethan menghela napas, setengah kesal setengah geli.
“Kevin, kamu pulang larut begini, ada masalah lagi sama orang-orang Distrik Utara?”
Kevin mengangkat bahu. “Ah, nggak kok. Sejak kau ‘mendidik’ mereka, nggak ada yang berani nyentuh kami lagi.”
Ia menyeringai bangga, lalu menarik beberapa lembar uang dari sakunya. “Ini, bagianmu minggu ini.”
Ethan menerimanya tanpa banyak bicara. “Kerja bagus. Sekarang pergi tidur sebelum Ibu Asrama tahu.”
Namun Kevin tetap berdiri di sana, matanya berbinar dengan ekspresi khas anak nakal.
“Ada apa lagi?” tanya Ethan malas, sudah hafal gelagat itu.
“Hehe… karena masih pagi, gimana kalau kita—”
“Main mahjong lagi, ya?” potong Ethan cepat. Ia menunduk, menarik kotak kayu dari bawah tempat tidurnya, dan melemparkannya ke arah Kevin. “Tapi ingat, jangan berjudi. Kalau ketahuan, Ibu Asrama bakal menyitanya.”
Kevin tertawa kecil sambil menangkap kotak itu. “Santai, bos! Aku janji nggak bakal ketahuan!”
Dan seperti biasa, ia langsung kabur sebelum Ethan sempat menegur lebih lanjut.
Begitu pintu tertutup, keheningan kembali menguasai ruangan.
Ethan hanya menggeleng pelan. “Aku menyesal ngajarin mereka main mahjong,” gumamnya.
Ia berbalik, pandangannya tertuju pada kardus besar di lantai. Tangannya mengusap sisi kardus dengan lembut, seperti memperlakukan benda berharga.
“Hehe, akhirnya lengkap juga,” katanya lirih. “Kecap asin, pasta wijen, cuka, anggur masak…”
Senyumnya merekah lebar. “Kalau harus makan makanan Inggris terus, aku bisa gila.”
Kardus itu memang bukan barang biasa. Kevin membelikannya dari Chinatown atas permintaan Ethan—bumbu-bumbu dari Timur yang entah bagaimana membuatnya merasa… pulang.
Ya, pulang.
Kata itu selalu menggema di pikirannya.
Karena entah bagaimana, Ethan tahu bahwa ia bukan anak biasa.
Ada fragmen ingatan samar—tentang kehidupan lain, tentang bela diri, tentang disiplin dan peperangan. Ia tak tahu apakah itu mimpi, reinkarnasi, atau sekadar khayalan aneh di kepalanya. Tapi ia percaya… pernah menjadi seseorang yang jauh berbeda.
Sejak kecil, ia sudah menunjukkan ketenangan dan ketegasan yang tak lazim.
Anak-anak lain di panti mungkin lebih tua, tapi tak satu pun berani melawannya.
Ia pernah mengalahkan mereka semua saat berumur sembilan tahun—sekali pukul, sekali jatuh.
Tinju militer, Wing Chun, Tai Chi, Muay Thai… semua seolah telah tertanam dalam tubuhnya, mengalir bersama darahnya sendiri.
Kini, di bawah arahannya, Kevin dan teman-temannya menjalankan “bisnis kecil” di luar panti.
Kadang Ethan sendiri tertawa kecil. “Kalau begini terus, aku bisa jadi ketua geng yang hidup dari uang keamanan,” katanya pada diri sendiri.
Namun di balik tawa itu, tersimpan rahasia yang jauh lebih besar.
Ia mengunci pintu rapat-rapat, menutup tirai, lalu menatap sudut kamar.
Di sana, barbel besi seberat sepuluh kilogram tergeletak diam.
Ethan menatapnya tajam.
Udara di sekelilingnya mendadak hening.
Angin berhenti.
Cahaya lampu terasa menegang.
Dan perlahan—barbel itu terangkat.
Tanpa sentuhan, benda berat itu melayang di udara, berputar perlahan di atas kepala Ethan seperti planet mengorbit bintang. Tak ada suara, tak ada getaran—hanya energi aneh yang terasa menekan dinding kamar.
Ethan menarik napas dalam, lalu duduk di kursi sambil membuka buku catatan lusuh.
Ia membaca dengan tenang, sementara barbel terus berputar tanpa ia sentuh.
Bukan latihan fisik—ini latihan pikiran.
Dulu, saat berusia delapan tahun, ia pertama kali menyadari kekuatan itu.
Ia haus sehabis latihan, ingin mengambil gelas di meja.
Sebelum sempat bergerak… gelas itu melayang sendiri ke arahnya.
Sejak hari itu, dunia tak lagi sama.
Ia menamai kekuatan itu “Superpower.”
Nama sederhana, tapi cukup untuk menandai sesuatu yang hanya dimilikinya seorang.
Dan ia tahu betul—jika rahasia ini sampai bocor ke pihak gereja, hidupnya bisa berakhir tragis.
Bertahun-tahun ia berlatih diam-diam.
Ia menemukan pola-pola tertentu: semakin ia tenang, semakin kuat kekuatannya.
Meditasi, pernapasan, postur bela diri—semuanya terhubung.
Ia menyebutnya keadaan kosong, saat tubuh dan pikiran berada dalam keseimbangan sempurna.
Kini, ia mampu menggerakkan benda-benda besar tanpa berkeringat sedikit pun.
Namun dalam diamnya, Ethan tahu… ini belum semuanya.
Kekuatan itu seperti samudra luas, dan dirinya baru belajar menyentuh permukaannya saja.
Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat—menunggu untuk bangkit dari kegelapan pikirannya.
Dan malam itu, di kamar sempit sebuah panti asuhan tua, seorang bocah berusia sebelas tahun menatap benda melayang di depannya…
Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan:
takut, penasaran, dan sedikit—sangat sedikit—antusiasme akan masa depan yang belum ia mengerti.