Ketika takdir bisnis mengikat mereka dalam sebuah pertunangan, keduanya melihatnya sebagai transaksi sempurna, saling memanfaatkan, tanpa melibatkan hati.
Ini adalah fakta bisnis, bukan janji cinta.
Tapi ikatan strategis itu perlahan berubah menjadi personal. Menciptakan garis tipis antara manipulasi dan ketertarikan yang tak terbantahkan.
***
"Seharusnya kau tidak kembali," desis Aiden, suaranya lebih berbahaya daripada teriakan.
"Kau datang ke wilayah perang yang aktif. Mengapa?"
"Aku datang untukmu, Kak."
"Aku tidak bisa membiarkan tunanganku berada dalam kekacauan emosional atau fisik sendirian." Jawab Helena, menatap langsung ke matanya.
Tiba-tiba, Aiden menarik Helena erat ke tubuhnya.
"Bodoh," bisik Aiden ke rambutnya, napasnya panas.
"Bodoh, keras kepala, dan bodoh."
"Ya," bisik Helena, membiarkan dirinya ditahan.
"Aku aset yang tidak patuh."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hellosi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Setelah sesi belajar yang intens, ada jeda keheningan yang nyaman.
Aiden kembali membuka laporan keuangannya, sementara Helena sedang merapikan catatannya.
Helena menyadari ada noda kecil di ujung lengan kemeja Aiden, bekas tumpahan minuman Misa tadi siang.
Itu adalah noda cokelat yang kontras dengan kemeja putih mahal yang Aiden kenakan.
"Tunggu sebentar, Kak," bisik Helena.
Dia mengambil tisu yang ada di mejanya, membasahinya sedikit dengan air minumnya, dan perlahan mengusap noda di lengan Aiden.
Aiden sontak terdiam. Gerakannya terhenti, laporannya menggantung di udara.
Dia terbiasa dengan pelayan yang merawat segala kebutuhannya, tetapi sentuhan lembut Helena terasa sangat berbeda.
Sentuhan itu adalah kepedulian tanpa label, bukan tugas atau keharusan.
"Lenganmu," jelas Helena pelan, tanpa mengangkat pandangannya dari noda.
"Kau itu tampan dan sempurna."
"Ingat Kak, kau itu Aiden Aliston, tunanganku yang luar biasa. Noda kecil ini tidak cocok dengan citramu." Ungkap gadis itu usil sambil terkekeh pelan.
Aiden menatap tangan Helena yang menyentuh pergelangan tangannya.
Noda itu tidak terlalu terlihat, tetapi Helena membersihkannya dengan sangat teliti.
Jarak di antara mereka terasa hilang.
Aroma lembut sabun Helena menyentuh indranya, seperti wangi lily of the valley yang samar, bersih, dan segar, kontras dengan udara dingin ruang belajar.
"Aku bisa mengurusnya sendiri," kata Aiden, suaranya sedikit serak, tetapi dia tidak menarik lengannya.
Otaknya, yang biasanya bergerak cepat, terasa kosong, hanya fokus pada tekanan hangat jemari Helena di kulit pergelangan tangannya.
"Aku tahu, tapi ini lebih cepat," balas Helena, akhirnya puas dengan hasilnya.
Dia tersenyum tipis, lalu kembali ke mejanya seolah tidak terjadi apa-apa.
"Nah, sekarang kita bisa melanjutkan."
Aiden hanya menatap lengan kemejanya yang bersih, lalu ke arah Helena yang sudah kembali fokus dengan buku-bukunya.
Dia merasakan sesuatu yang asing dan cepat menyebar di dadanya. Itu bukan perhitungan bisnis, bukan pula amarah.
Itu adalah kehangatan, sisa dari malam tahun baru yang kini hadir di ruang sunyi itu.
Dia kembali membuka laporannya, tetapi pikirannya tak lagi sepenuhnya fokus pada angka-angka di hadapannya.
Untuk pertama kalinya, perhatian Aiden beralih dari analisis keuntungan dan risiko, menuju sebuah perasaan yang tidak bisa dia hitung atau kontrol.
Lengan kemeja itu bersih, tetapi di dalam dirinya, ada kekacauan yang manis.
***
Di kelas, Helena selalu mencari perlindungan di dekat Reyhan.
Lebih dari sekadar tunangan kakaknya, Reyhan adalah bantalan empuk yang pasrah terhadap kenakalan Helena.
Helena suka menggoda Reyhan yang penurut, terkadang mencoba membuatnya marah, tapi tidak pernah berhasil.
Reyhan hanya akan membalas dengan senyum kecil yang mengatakan,
"Aku sudah terbiasa."
Tak lama kemudian, sebuah proyek studi sosiologi diberikan kepada siswa tingkat mereka.
Tujuannya adalah mendorong empati melalui observasi langsung.
Mereka harus membentuk kelompok beranggotakan tiga orang dan mengunjungi sebuah institusi sosial.
Helena, tanpa ragu, memilih Reyhan.
Untuk anggota ketiga, Helena memutuskan mengajak Jaden Rowell.
Jaden, anak seorang sekretaris yang mendapatkan beasiswa ketat di Helios, dikenal cerdas, tetapi sifatnya terlalu serius dan selalu langsung ke inti pembicaraan.
Helena mendekatinya di perpustakaan.
"Jaden, kami butuh kamu di kelompok kami untuk proyek sosiologi."
Jaden mendongak dari bukunya, tatapannya tajam dan analitis. Dia merapikan buku teks usangnya di meja.
"Mengapa? Reyhan cukup cerdas. Keterlibatan saya akan meningkatkan nilai rata-rata kelompok sebesar 8,7 persen. Apakah itu tujuanmu?"
Helena, alih-alih tersinggung, tertawa renyah.
"Bukan hanya nilai, Jaden. Kami butuh kejelasan logismu. Selain itu, kamu perlu melihat dunia di luar grafik nilai. Kita akan mengunjungi panti asuhan."
Jaden terdiam sejenak, alisnya sedikit terangkat.
"Panti asuhan. Variabel emosi tinggi, potensi data sosiologis rendah. Saya setuju."
Helena tersenyum menang. Dia tahu, dia telah menemukan seseorang yang tepat.
***
Tujuan kelompok mereka adalah Panti Asuhan Matahari Harapan.
Tempat itu didukung oleh donasi Nelson Corporation, membuat para pengurus sangat menghormati Helena.
Di mata mereka, Helena adalah seorang "Peri Cantik" yang lembut, sesuai dengan citra publik yang dia tampilkan.
Helena sering mengunjungi panti itu, di sinilah dia bebas berbuat baik tanpa ada agenda bisnis.
Kepala panti, Bunda Rosi, menyambut mereka dengan penuh kasih.
"Nona Helena, lama tidak terlihat. Anak-anak merindukanmu," sapa Bunda Rosi hangat, memeluk Helena.
Helena tersenyum ceria, senyum yang hampir sepenuhnya tulus. "Saya juga merindukan mereka, Bunda. Saya membawa teman-teman untuk proyek sekolah."
Begitu masuk, Helena dengan topeng cerianya langsung berinteraksi dengan anak-anak.
Dia tertawa, bermain, dan menunjukkan sisi dirinya yang sangat lembut, sisi yang jarang terlihat di Helios Academy.
Reyhan terkejut melihat kehangatan tulus Helena yang mengalir bebas di sini.
Reyhan, yang canggung dan tertutup, menemukan dirinya tertarik pada sebuah piano tua di sudut ruangan.
Dia duduk dan mulai memainkan melodi yang melankolis namun indah.
Melodi itu memanggil anak-anak panti yang langsung berkumpul mengelilinginya, diam-diam menikmati musik itu.
Reyhan, untuk pertama kalinya, menjadi pusat perhatian tanpa ada tekanan.
Di sisi lain, Jaden berdiri di pinggir. Dia fokus mencatat, clipboard-nya menjadi perisai.
Dia mencatat data observasi.
Tingkat kebahagiaan subjek anak-anak meningkat 40% setelah interaksi dengan Nona Nelson.
Helena menghampiri Jaden, yang sedang mencatat.
"Apa yang kau catat?"
Jaden menurunkan clipboard-nya, tatapannya dingin.
"Tingkat kebahagiaan subjek anak-anak berkorelasi positif dengan perhatian individu. Data valid."
"Itu kesimpulan yang dingin," kata Helena, suaranya mengandung nada menantang.
"Lihat Reyhan."
Jaden menoleh, matanya tertuju pada Reyhan.
"Dia membuang-buang waktu bermain piano. Itu tidak relevan dengan tujuan proyek,"
Komentarnya tanpa emosi, jari telunjuknya mengetuk clipboard.
Helena tersenyum, kali ini senyum menang yang tajam.
"Tujuan proyek ini adalah empati, Jaden. Dan kehangatan di tempat ini tidak bisa dihitung dalam statistik. Itu Relevan bagi kami. Dan bagimu, yang terlalu fokus pada angka, ini adalah pelajaran yang lebih penting daripada nilai tertinggi."
Jaden menoleh kembali pada Helena, tatapannya yang tajam sedikit bergetar.
"Pernyataan itu tidak logis, Helena."
Namun, untuk pertama kalinya, dia tidak segera membantah. Dia memandang Reyhan lagi, membiarkan alunan piano mengisi keheningan yang dia nikmati. Sebuah kerutan muncul di dahinya, seolah logika murninya sedang dihadapkan pada variabel tak terduga: Perasaan.