Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Hari itu udara di luar aula begitu dingin. Langit terlihat menjadi mendung, lampion-lampion sihir berderet di sepanjang jalan masuk, menyinari pintu megah tempat semua orang tua murid baru masuk dengan penuh hormat.
Tapi Elara hanya duduk di tangga batu, memeluk lututnya, enggan masuk.
Apa gunanya aku di sana? Orang tuaku nggak datang juga… pikirnya, menatap kosong ke depan.
Tiba-tiba, langkah anggun terdengar. Dua sosok berjubah hitam pekat mendekat, aura mereka begitu berat sampai udara seakan menekan dada.
“Elara,” suara seorang perempuan terdengar. Dalam balutan jubah hitam, wajahnya dingin tapi menawan.
Elara mendongak, bingung. “Ibu… tahu aku?”
Perempuan itu tersenyum tipis, namun matanya tajam. “Tentu saja. Kamu Elara Sherapina bukan?”
Elara mengerutkan dahi. “Sheraphine, Bu. Nama aku Sheraphine, bukan Sheraphina.”
Muncul senyum samar di wajah perempuan itu, tapi suaranya tetap menusuk. “Sherapina atau Sheraphine,,,,… nama hanyalah nama. Yang penting adalah darah yang mengalir di tubuhmu.”
Jantung Elara berdegup aneh. “Ibu… dari Klan Iblis?” tanyanya hati-hati.
Perempuan itu menegakkan tubuh. “Ya. Aku Seraphina Noctyra, ibu dari Arsen.”
Elara menelan ludah. “Kenapa… tatapannya dingin banget, Bu? Aku salah apa?”
Seraphina menyipitkan mata. “Kenapa? Kamu takut?”
Elara menarik napas panjang, lalu menjawab tegas, “Gak terlalu.”
Sosok laki-laki berjubah hitam yang berdiri di samping Seraphina akhirnya angkat bicara. Suaranya dalam, berat, seakan mengguncang tanah. “Seraphina, lihatlah gadis ini baik-baik. Ternyata Arsen sudah menandainya sejak lama. Gadis kecil ini bahkan tidak menyadarinya.”
Elara terbelalak. “Ha?! Menandai apaan? Aku kayak kucing aja dikasih tanda..”
“Diam.” suara laki-laki itu membuat udara bergetar. Ia adalah Kaelen Noctyra, ayah Arsen, pemimpin klan iblis dengan aura gelap yang menelan cahaya di sekitarnya. Tatapannya menusuk lurus ke mata Elara. “Ya, dia sudah bagian dari kita. Lebih tepatnya… menantu kita.”
Elara hampir tersedak ludahnya sendiri. “Ha?! Menan ,, apa?? Menantu?!!”
Seraphina menoleh ke suaminya. “Anak itu… kapan Arsen melakukannya?”
Kaelen menjawab pelan, tapi dingin. “Mungkin saat ia pergi ke dunia sebelah. Energinya menyatu dengan gadis ini. Itu tak bisa dibatalkan.”
Elara hanya melongo, wajahnya canggung luar biasa. “Eh… aku nggak ngerti satu pun dari kata-kata kalian. Sumpah.”
Seraphina tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan. “Ayo masuk bersama kami.”
Elara buru-buru menggeleng. “Gak, Bu! Aku bukan bagian dari ini semua. Aku nggak mau jadi bahan tontonan.”
Seraphina menatapnya tajam, suaranya meninggi. “Kamu adalah bagian dari kita, Elara. Sadarilah itu!”
Tiba-tiba suara berat Kaelen menggema. “Arsen!”
Dalam sekejap, sosok Arsen muncul di samping Elara, membuatnya terlonjak kaget. Aura dinginnya membuat bulu kuduk meremang.
“Jaga dia. Ajak dia masuk ke dalam nanti” titah Kaelen.
Arsen hanya melirik Elara tanpa sepatah kata. Matanya dingin, tapi samar ada gejolak yang ia sembunyikan.
Seraphina mendesah. “Kalau kau tidak mau, suruh Dorion.”
“Siap, Kapten!” Dorion muncul entah dari mana, langsung menepuk bahu Elara.
Elara melonjak kaget. “Ishhh! Setan laknat!!”
Dorion menaikkan alis, pura-pura tersinggung. “Heh! Cewek, siapa yang kau panggil setan laknat?”
“Reflek,” jawab Elara cepat.
Dorion terbahak. “Reflek yang bagus. Aku suka.”
Kaelen dan Seraphina berjalan masuk lebih dulu, aura mereka membuat semua orang di aula spontan terdiam dan menunduk hormat.
Semua orang tahu , jika orang tua Arsen Noctyra hadir, berarti bukan sekadar undangan biasa melainkan kedatangan tetua tertinggi Klan Iblis.
Sementara itu, Elara hanya bisa menatap nanar ke arah pintu aula. Apa-apaan sih ini? Menantu? Ditandai? Aku bahkan nggak ngerti apa-apa…
Dan di sampingnya, Arsen berdiri kaku, tatapannya lurus ke depan, tapi jemarinya mengepal kuat.
Elara berdiri di samping Arsen, tangan gemetaran sebentar saat ia menatap sosok dingin di depannya. Meski Arsen sama sekali tidak menanggapi, Elara tetap mendumel tanpa henti, mulutnya bergerak cepat seolah harus mengeluarkan semua kebingungannya sekaligus.
“Siapa yang mau jadi menantu? Bagaimana kalau anaknya lebih tua? Apalagi klan iblis umurnya tua-tua? Eh, bukannya kalian dari klan iblis, tahu gak Arsen siapa?"
Arsen tetap menatap lurus ke depan, wajahnya datar sempurna, tak sedikitpun bereaksi. Sedangkan Dorion hanya memperhatikan Elara yang tidak sadar bahwa arsen ada disampingnya.
Dorion, berdiri beberapa langkah di belakang, menoleh sambil menahan tawa kecil, matanya menyorot Arsen. “Kamu gak tahu?”
“Kalau aku tahu, aku nggak akan nanya,” jawab Elara, suaranya setengah kesal, setengah bingung, sambil menyipitkan mata.
Dorion mencondongkan tubuh, berseru, “Tanya Arsen!”
Elara menoleh perlahan, menatap Arsen. Tapi tatapannya hanya bertemu sosok kaku dengan ekspresi kosong, aura dingin mengalir darinya seperti es membeku di udara.
Ia menunduk sebentar, lalu berbisik pelan, hampir pada dirinya sendiri, “Dia terlalu menghayati peran sampai ekspresi wajahnya sangat datar. Eh, tadi siapa namanya ? Arsen ?!"
Tiba-tiba, suara Dorion terdengar di telinga Elara, menanggapi dengan nada ringan tapi penuh ejekan: “Ya, dia memang Arsen dan wajahnya sangat datar."
Elara mengerjap, lalu mendesis frustasi. “Sialan…!”
Meski suasana di sekeliling mereka tegang karena kedua orang tua Arsen berdiri tidak jauh, tatapan mereka tajam Elara tetap tak bisa berhenti berceloteh. Suara kecilnya bercampur dengan degup jantungnya sendiri, rasa takut dan penasaran, tapi juga sedikit geli karena dirinya berani bicara terus di depan sosok yang membuat orang lain kaku ketakutan.
Arsen tidak bergerak sama sekali, hanya jemarinya yang sedikit mengepal di sisi tubuh, menahan sesuatu yang tidak tampak. Dorion terus mengamati, senyum tipis menghiasi wajahnya, seakan menikmati ketegangan yang dibuat Elara.
Elara, meski frustasi, perlahan menurunkan bahu dan menarik napas panjang. Tapi matanya tetap menempel ke Arsen, seolah bertekad untuk “mengeluarkan” reaksi darinya, meski tahu itu mustahil.