NovelToon NovelToon
Kau Dan Aku Selamanya

Kau Dan Aku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Selingkuh / Crazy Rich/Konglomerat / Pelakor / Cinta Seiring Waktu / Suami Tak Berguna
Popularitas:4.8k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Hidup Audy runtuh ketika pengkhianatan dalam rumah tangganya terbongkar. Di tengah luka yang menganga, kariernya justru menuntutnya berdiri tegak memimpin proyek terbesar perusahaan. Saat semua terasa mustahil, hadir Dion—direktur dingin yang perlahan menaruh hati padanya, menjadi sandaran di balik badai. Dari reruntuhan hati dan tekanan ambisi, Audy menemukan dirinya kembali—bukan sekadar perempuan yang dikhianati, melainkan sosok yang tahu bagaimana melawan, dan berhak dicintai lagi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Ruang rapat itu berada di salah satu gedung megah di kawasan iconic Marina Bay Sands. Ruang yang terasa dingin, kontras dengan panasnya cuaca diluar.

Dari jendela kaca yang menjulang, pemandangan dari balik kaca tampak berkilau, laut berkilat ditimpa cahaya matahari, seakan ikut menjadi saksi atas taruhan terakhir yang akan menentukan masa depan perusahaan mereka.

Audy, Dion, dan Yunita tiba satu jam lebih awal. Mereka mulai menata laptop, memeriksa ulang slide, dan menyusun catatan kecil, Audy berusaha menyembunyikan rasa gugup yang semakin lama semakin membesar. Waktu terasa berjalan terlalu cepat, hingga akhirnya tiga puluh menit kemudian, pintu ruang rapat mulai terbuka satu per satu, para investor asing berdatangan dengan setelan jas yang rapi, langkah percaya diri, dan wajah serius.

Tatapan mereka skeptis. Mungkin karena kegagalan presentasi sebelumnya oleh Laura masih melekat, membuat Audy, dan Yunita sedikit salah tingkah.

“Good morning, Sir,” sapa Dion, menunduk sopan.

Salah satu investor, pria berambut perak dengan sorot mata tajam, menatap sekilas lalu menjawab, “Good morning. You know this is your last chance, right?”

Dion tidak goyah. Ia mengangguk, nada suaranya mantap. “Don’t worry, Sir. We’ll give our best today.”

Pria itu hanya mengangguk singkat. “Okay, then let’s begin.”

Audy maju ke depan. Dia menarik nafas panjang sebelum memulai presentasi, suaranya stabil meski dadanya berdegup kencang. Slide demi slide dia paparkan, menjelaskan konsep, strategi, hingga proyeksi keuntungan dengan detail dan keyakinan penuh. Dion sesekali menambahkan penjelasan, sementara Yunita mendukung dari belakang, memastikan semua data berjalan mulus di layar.

Perlahan, perubahan mulai terlihat. Kerutan dahi investor melunak, beberapa bahkan mengangguk kecil. Sesi tanya jawab berlangsung ketat, tapi baik Audy maupun Dion mampu menjawab dengan tenang, argumentasi mereka rapi dan meyakinkan.

Sampai akhirnya, presentasi usai. Ruangan sunyi, hanya suara kursi bergeser ketika para investor berdiskusi serius.

Audy menggenggam tangannya sendiri di bawah meja, berusaha menahan rasa khawatir dan gugup di hatinya. Yunita menunduk, bibirnya bergetar kecil berdoa dalam hati. Dion tetap duduk tegak, meski jantungnya berdegup keras.

Beberapa menit kemudian, salah satu investor berdiri. Suaranya tegas, menggema di ruangan.

“After careful consideration, we have decided… we will invest in your project. We see the potential, and we believe in your team. Congratulations.”

Seakan beban berat itu runtuh dalam sekejap, napas lega terdengar serempak dari Audy, Yunita, dan Dion. Mata Audy langsung berbinar, pipinya memerah karena tak mampu menahan senyum bahagia.

“Congratulations. This is what we want,” ucap salah satu investor lain sambil menjabat tangan Dion.

“You have a competent staff here. Good for you,” lanjutnya, pandangan matanya menyorot sekilas pada Audy.

Dion menoleh, menatap Audy. Dan saat mata mereka bertemu, ada sesuatu yang berdesir halus, samar tapi bisa mereka rasakan, menjalari ruang kosong di antara mereka. Audy tersenyum lebar, mengangguk tulus, penuh kebanggaan.

“Thank you, Sir,” jawab Dion, suaranya kali ini sedikit berbeda—ada nada hangat yang bahkan dia sendiri sulit sembunyikan.

...***...

Kabar keberhasilan presentasi di Singapura menyebar di Jakarta. Bahkan sebelum Audy, Dion, dan Yunita sempat menginjakkan kaki di tanah air, kantor pusat di Jakarta sudah riuh oleh bisik-bisik penuh semangat.

Di lantai operasional, para staf yang biasanya sibuk menatap layar monitor kini bersorak kecil, beberapa bahkan menepuk tangan sesama rekan. “Akhirnya! Kalau proyek ini jalan, bonus akhir tahun pasti gede!” seru seorang staf sambil tertawa. Yang lain menimpali dengan wajah penuh harap.

Sementara itu, di sebuah ruangan di lantai paling atas, suasananya jauh lebih tenang. Pak Hutama, sang komisaris utama yang sudah sepuh, duduk di kursinya dengan punggung sedikit bersandar. Matanya menyipit, senyumnya menunjukkan rasa puas yang tidak bisa dia sembunyikan.

“Syukurlah…” gumamnya, suaranya parau namun hangat. “Akhirnya semua berjalan lancar juga.”

Herman, sekretaris sekaligus asisten pribadinya, berdiri di sisi meja dengan map di tangan. “Betul, Pak. Saya sudah mendapat kabar langsung dari Dion. Para investor menyetujui proyek itu tanpa catatan berarti. Tim kita berhasil membuat mereka yakin.”

Pak Hutama terkekeh pelan, nadanya penuh kelegaan bercampur rasa bangga. “Tidak sia-sia aku memaksa cucuku pulang dari London. Aku tahu, Dion selalu punya kepala dingin dan cara bicara yang bisa meyakinkan orang.” Dia mengusap dagunya, menambahkan dengan nada lebih rendah, “Anak itu memang tidak diragukan kemampuannya.”

Herman mengangguk sopan. “Saya setuju dengan anda pak. Dion memang kompeten. Tapi saya juga dengar, Audy cukup bersinar dalam presentasi ini. Katanya, beberapa investor bahkan terlihat terkesan dengan jawabannya.”

Pak Hutama menoleh sejenak, ekspresinya berubah—serius tapi masih hangat. “Audy, ya? Wanita itu memang lain. Dia cerdas, tekun, dan… punya kemampuan yang patut kita banggakan” Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan dengan senyum samar.

Herman pura-pura sibuk menata map agar tak terlihat terlalu ingin tahu. “Benar sekali Pak,” jawabnya hati-hati.

“Ngomong-ngomong, kapan mereka kembali ke Jakarta?” tanya Pak Hutama sambil meraih cangkir tehnya.

“Seharusnya hari ini penerbangan mereka tiba, Pak. Tapi kemungkinan baru besok mereka bisa langsung ke kantor untuk melapor.”

“Bagus.” Pak Hutama mengangguk pelan, lalu mengangkat cangkirnya seolah bersulang dengan dirinya sendiri. “Kalau begitu, besok kita sambut. Aku ingin mendengar cerita langsung dari mereka.”

Herman menunduk, “Baik, Pak. Akan saya siapkan agenda besok.”

...***...

Keesokan harinya, suasana kantor begitu meriah. Begitu Audy, Yunita, dan Dion melangkah masuk, seluruh ruangan langsung bersorak. Tepuk tangan bergemuruh, disusul seruan penuh semangat.

“Selamat atas keberhasilannya Bu Audy, Pak Dion, Yunita”

“Akhirnya kerja keras Bu Audy nggak sia-sia ya”

“Ya lah, siapa dulu dong yang presentasi. Manager kita gitu loh!”

Audy menahan senyum, mencoba tetap tenang meski raut wajahnya tak bisa menutupi rasa gembira dan bangga dihatinya. Yunita bahkan hampir menitikkan air mata haru mendengar sorakan rekan-rekan. "Awww, makasih banyak semua. Aku beneran gugup pas presentasi kemarin. Untung aja semua berjalan lancar"

Di ujung ruangan, Pak Hutama sudah berdiri, menunggu mereka. Sosok tua itu tampak lebih berwibawa dari biasanya, senyumnya hangat namun penuh makna.

“Bagus, bagus sekali…” ucapnya sambil menepuk bahu Dion, lalu menoleh pada Audy dan Yunita. “Kalian bertiga sudah bekerja dengan baik. Kalian bukan hanya menyelamatkan proyek ini, tapi juga mengembalikan kepercayaan investor yang hampir hilang.”

“Terima kasih, Pak,” jawab Dion mantap, sementara Audy dan Yunita menunduk hormat.

Sorot mata Pak Hutama singgah sejenak pada Audy, tatapannya seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi dia tidak berkata apa-apa, hanya tersenyum samar, lalu menoleh ke seluruh staf.

“Hari ini… kita rayakan keberhasilan ini bersama. Tapi jangan lupa, setelah ini pekerjaan kita yang sesungguhnya baru dimulai.”

Sorak-sorai kembali menggema, sementara Audy berdiri di antara rekan-rekannya, hatinya penuh rasa bangga yang bercampur dengan kegelisahan yang tak bisa dia ceritakan pada siapa pun.

***

Di sebuah restoran yang dipenuhi cahaya lampu gantung kristal yang berkilauan.  Seluruh staf perusahaan sudah berkumpul sesaat setelah jam kerja. Tawa dan obrolan ringan saling bersahutan, menciptakan riuh hangat yang belum pernah mereka rasakan selama berminggu-minggu penuh tekanan.

Dion berdiri di sisi meja, ditemani Audy dan Yunita. Ketiganya menjadi pusat perhatian malam itu. Beberapa staf bahkan tidak segan menyalami Audy dan mengucapkan terima kasih.

“Kalau bukan karena presentasi ibu Audy kemarin, mungkin kita nggak akan duduk di sini sekarang,” ujar salah seorang staf dengan penuh semangat.

"Dan kita bakalan masih lembur" kelakar yang lain.

Sorak sorai segera menyambut ucapan itu. Yunita tersipu, Audy tersenyum sambil menggeleng pelan, sedangkan Dion hanya memberi tatapan penuh kebanggaan kepada timnya.

Tak lama kemudian, Dion, berdiri sambil mengetuk pelan gelasnya. Suasana ruangan langsung hening.

“Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat kepada kita semua,” suaranya berwibawa namun hangat. “Kerja keras kalian akhirnya membuahkan hasil. Dan untuk Audy, serta Yunita—saya berterima kasih karena sudah menjadi rekan yang bisa diandalkan selama presentasi. Kita  akhirnya membuktikan, dalam krisis pun perusahaan ini masih bisa bangkit.”

Tepuk tangan meriah kembali menggema, beberapa staf bahkan bersiul riang.

Pelayan mulai menyajikan hidangan: steak yang matang sempurna, pasta beraroma truffle, hingga deretan dessert manis yang menggoda. Musik live band mengalun lembut di sudut ruangan, menambah nuansa perayaan.

Di tengah riuh itu, Audy sempat melirik sekeliling. Wajah-wajah rekan kerjanya terlihat begitu lega, penuh tawa dan harapan baru. Ada rasa hangat merambat dalam dadanya—bahwa semua perjuangan, semua malam tanpa tidur, ternyata tidak sia-sia.

“Cheers untuk kita semua!” seru Dion sambil mengangkat gelas.

Seluruh staf ikut mengangkat gelas mereka, dan dalam sekejap ruangan dipenuhi suara dentingan riang.

Yunita menepuk bahu Audy pelan. “Dy, lihat deh. Semua orang bahagia. Kamu tahu nggak, semua ini karena kamu nggak pernah nyerah, dan selalu memberikan yang terbaik”

Audy hanya tersenyum, menahan gejolak perasaan yang tiba-tiba menghangatkan sekaligus menusuk hatinya. Sebab dia tahu, di balik sorak sorai dan kilauan cahaya malam ini, ada sisi hidupnya yang masih gelap, menunggu untuk dia hadapi sendirian.

Namun malam ini, mungkin tidak apa-apa membiarkan dirinya larut dalam tawa bersama orang-orang yang percaya padanya.

***

1
Widya Herida
lanjutkan thor ceritannya bagus
Widya Herida
lanjutkan thor
Sumarni Ukkas
bagus ceritanya
Endang Supriati
mantap
Endang Supriati
engga bisa rumah atas nama mamanya audi.
Endang Supriati
masa org penting tdk dpt mobil bodoh banget audy,hrsnya waktu dipanggil lagi nego mau byr berapa gajinya. nah buka deh hrg. kebanyakan profesional ya begitu perusahaan butuh banget. td nya di gaji 15 juta minta 50 juta,bonus tshunanan 3 x gaji,mobil dst. ini goblog amat. naik taxi kwkwkwkwkkk
Endang Supriati
audy termasuk staff ahli,dikantor saya bisa bergaji 50 juta dpt inventaris mobil,bbm,tol,supir,by perbaikan mobil di tanggung perusahaan.bisa ngeclaim entertaiment,
Endang Supriati
nah itu perempuan cerdas,sy pun begitu proyek2 sy yg kerjakan laporan 60 % sy laporkan sisanya disimpan utk finslnya.jd kpu ada yg ngaku2 kerjja dia,msmpus lah.
Syiffa Fadhilah
good job audy
Syiffa Fadhilah
sukur emang enak,, menghasilkan uang kaga foya2 iya selingkuh lagi dasar kadal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!