 
                            Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Di rumah dinasnya, Jhonatan sedang menikmati hari liburnya. Ia duduk di ruang kerja, larut dalam desain konsep kafe yang ia rencanakan bersama Alvino — impian masa depannya di luar dunia militer. Sayangnya, proyek itu belum bisa dimulai karena cuti mereka belum disetujui.
Saat sedang fokus, ponselnya yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering nyaring. Nama sang Papa muncul di layar.
“Tumben Papa nelpon,” gumam Jhonatan heran. Biasanya sang ayah hanya mengirim pesan singkat.
Begitu panggilan diangkat, suara lantang ayahnya langsung memenuhi telinga.
“Jhonatan! Datang ke rumah sekarang juga! Tidak ada alasan! Ada hal penting yang harus kamu jelaskan — sekarang!”
Sambungan terputus begitu saja.
Jhonatan menatap ponselnya, napasnya berat. Jika ayahnya sudah menggunakan nada perintah seperti itu, berarti masalah besar sedang menanti. Ia menutup laptop, menghela napas panjang, lalu bergegas berganti pakaian dan berangkat.
Masih di jalan kompleks asrama, ia sempat berpapasan dengan Alvino yang sedang mengendarai motor.
“Mau ke mana, Jo? Buru-buru amat,” tanya Alvino.
“Ke rumah bokap, Vin. Nanti gue kabarin,” jawabnya singkat.
“Oke, hati-hati,” balas Alvino, menatap khawatir.
Tapi nasib berkata lain. Di tengah perjalanan, ban mobilnya bocor. Ia terpaksa berhenti dan menggantinya sendiri. Ponselnya berdering berkali-kali — dari ayahnya — tapi tak ia hiraukan. Begitu selesai, ia langsung tancap gas menuju rumah orang tuanya.
****
Di rumah, suasana ruang tamu terasa tegang. Ayah, ibu, dan kakaknya sudah menunggu. Di sisi lain, duduk anggun Dokter Sella — dengan senyum tipis yang membuat darah Jhonatan langsung mendidih.
“Duduk, Jhonatan!” perintah sang ayah.
“Ada apa, Pah? Aku sedang libur,” jawab Jhonatan, menahan diri.
Ayahnya melempar sebuah map ke meja.
“Baca itu! Jelaskan kenapa kamu menolak perjodohan keluarga demi wanita rendahan!”
Jhonatan membuka map itu. Matanya langsung menyipit. Ini data palsu. Ia tahu, seseorang sengaja menaruh umpan, dan Sella — “si bodoh ini” — langsung memanfaatkannya.
Ibu Jhonatan ikut bicara, suaranya bergetar penuh kekecewaan.
“Wanita seperti itu tidak pantas jadi pasanganmu, Jhonatan! Kami ingin yang terbaik — seperti Sella!”
Sella tersenyum puas.
Jhonatan menutup map itu keras-keras.
“Kalian tidak berhak ikut campur urusanku! Siapa pun yang aku pilih, itu hakku!”
“Tidak berhak?!” raung ayahnya. “Ini harga diri keluarga kita, Jhonatan! Kamu harus akhiri semua ini! Kamu harus terima Sella! Besok lusa kalian berdua ke Bandung, bicarakan pernikahan — itu perintah!”
Tanpa sepatah kata pun, Jhonatan berdiri. Wajahnya dingin. Ia melangkah keluar, meninggalkan teriakan ayahnya yang menggema di belakang.
****
****
Pagi itu di apartemen Vero, suasana jauh berbeda. Aresa duduk di meja makan bersama Arian dan Vero.
“Dek, nanti kamu kerja pakai laptop yang Mas siapin,” ujar Arian serius.
"Di situ sudah ada beberapa proyek kerja sama, tapi jangan kaget kalau sudah banyak yang dibatalkan sejak kemarin."
“Iya, setup-nya udah gue buat bareng Azzam,” timpal Vero. “Wanita yang ngintilin lo udah dapet data palsu, dan sekarang dia bakal ganggu kerjaan lo. Jadi mainin peranmu baik-baik.”
“Iya, iya, tinggal ikutin permainan, kan?” keluh Aresa. “Tapi kesel banget, gara-gara si Kapten itu aku enggak bisa nikmatin liburanku!”
“Sabar, Dek. Nanti juga berlalu,” hibur Arian.
“Iya, tenang aja, ada kita,” tambah Vero.
“Jadi, dia langsung bergerak, Mas?” tanya Aresa.
“Iya, langsung,” jawab Arian singkat.
“Setakut itu sama aku, ya? Padahal aku biasa aja tuh sama Kapten Jhonatan,” celetuk Aresa sambil tertawa kecil.
“Hahaha, iya, Dek. Udah, makan dulu. Jangan lupa obatnya,” ujar Arian.
“Iya, iya, Mas,” jawab Aresa malas.
Setelah sarapan selesai, Vero dan Arian langsung berangkat ke kantor. Aresa membuka laptopnya bingung. Aresa adalah seorang ahli telemetri yang terbiasa dengan angka, bukan gambar. Ia benar-benar tidak paham.
“Desain grafis? Ya ampun, aku kan bukan desainer. Udah lah, males. Mending keluar aja,” gumamnya.
Ia berganti pakaian: set panjang, kardigan, jilbab pashmina tanpa peniti, dan sandal jepit Swallow. Penampilan yang sangat sederhana — cocok dengan citra “wanita biasa” yang diharapkan Sella. Ia berjalan santai menuju taman danau dekat apartemen, duduk di bawah pohon, menikmati angin. Sesekali jilbabnya berantakan tertiup angin.
Menjelang siang, Aresa mampir ke supermarket untuk membeli camilan. Tapi saat hendak mengambil botol minuman, ia tak sengaja mengambil botol yang sama dengan seseorang.
****
Sementara itu, di rumah orang tua Jhonatan, suasana masih panas.
Ayahnya duduk murka, Jessica hanya bisa diam, sedangkan Sella masih duduk manis dengan wajah penuh kepura-puraan.
Jessica hanya bisa menatap punggung adiknya. Ia tahu betul Jhonatan adalah batu. Sekali menolak, ia tidak akan pernah luluh.
"Adikku benar-benar keras kepala," batin Jessica.
Sella, yang duduk anggun, tiba-tiba memecah keheningan. "Wanita itu sudah membuat Jhonatan menjadi pembangkang, kan, Tante?"
Jessica meliriknya tajam. Dalam hati ia muak dengan arogansi Sella. Ia mulai menyesal pernah memperkenalkan wanita ini pada adiknya.
"Seandainya saja wanita di supermarket beberapa hari lalu yang menjadi pasangan Jhonatan," pikir Jessica dalam hati. "Wanita yang sederhana dan polos itu. Pasti Jhonatan tidak akan menolak."
Ibu Jhonatan memecah lamunannya.
“Betul, Nak Sella. Jhonatan makin berani sekarang.”
“Iya, Tan. Aku akan bantu pisahkan mereka,” ucap Sella dengan nada manis penuh pura-pura.
“Terima kasih, Nak,” balas sang ibu.
Setelah berbasa-basi, Sella pamit.
“Aku pamit dulu ya, Om, Tante, Kak.”
“Iya, hati-hati,” jawab mereka.
Tak lama kemudian, Jessica pun berpamitan, membawa pikirannya yang penuh pertanyaan — tentang siapa sebenarnya wanita yang bisa membuat adiknya berubah sedalam itu.
 
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                     
                    