NovelToon NovelToon
Istri Bayangan

Istri Bayangan

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh
Popularitas:4.1k
Nilai: 5
Nama Author: Seroja 86

Nindya adalah wanita empatik dan gigih yang berjuang membesarkan anaknya seorang diri. Kehidupannya yang sederhana berubah ketika ia bertemu Andrew, pria karismatik, mapan, dan penuh rahasia. Dari luar, Andrew tampak sempurna, namun di balik pesonanya tersimpan kebohongan dan janji palsu yang bertahan bertahun-tahun.

Selama lima tahun pernikahan, Nindya percaya ia adalah satu-satunya dalam hidup Andrew, hingga kenyataan pahit terungkap. Andrew tetap terhubung dengan Michelle, wanita yang telah hadir lebih dulu dalam hidupnya, serta anak mereka yang lahir sebelum Andrew bertemu Nindya.

Terjebak dalam kebohongan dan manipulasi Andrew, Nindya harus menghadapi keputusan tersulit dalam hidupnya: menerima kenyataan atau melepaskan cinta yang selama ini dianggap nyata. “Istri Bayangan” adalah kisah nyata tentang pengkhianatan, cinta, dan keberanian untuk bangkit dari kepalsuan yang terselubung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Ini bukan sekadar gosip, pikir Nindya. Seseorang benar-benar ingin menjatuhkan aku.

Malam itu, ia duduk sendiri di meja, membuka catatan manual yang masih ia simpan. Ia menuliskan ulang data satu per satu, memastikan tidak ada yang salah. Saat menyerahkannya kembali ke Andrew, ia menatap lurus tanpa ragu.

“Pak, ini data asli. Ada yang sengaja mengutak-atik laporan sebelum sampai ke Anda. Dan saya akan cari tahu siapa.”

Andrew meneliti lembaran itu, lalu mengangguk pelan.

“Saya percaya kamu tapi ingat, di kantor seperti ini, bukti lebih penting daripada kata-kata kamu harus hati-hati.”

 Keesokan harinya, Nindya sengaja menyimpan salinan data di dua tempat berbeda, lalu memasang password pada file. Ketika ia memergoki ada pegawai lain mencoba membuka file tanpa izin, ia langsung menegur.

“Kalau butuh data minta baik-baik. Jangan mencoba diam-diam. Saya tidak segan melaporkan.”

Pegawai itu terperangah, lalu buru-buru pergi.

Di dalam hati, Nindya tahu satu hal dunia korporat lebih keras daripada hotelier.

Gosip bisa jadi racun, tapi sabotase bisa membunuh karier. Namun, ia juga tahu dirinya bukan tipe yang akan menyerah.

Kalau mereka pikir bisa menjatuhkan aku, mereka salah orang, gumamnya.

Setelah insiden laporan bulan lalu, suasana kantor perlahan tenang kembali. Andrew tidak pernah lagi menyinggung masalah itu, tapi sikapnya jelas: ia mempercayai Nindya. Kepercayaan itu membuat gosip mereda, meski tidak hilang sepenuhnya.

Nindya memilih fokus pada pekerjaannya. Ia datang lebih awal, pulang tepat waktu, tidak memberi celah untuk omongan miring.

Namun, di sela kesibukan, ia sesekali menangkap tatapan Andrew—bukan tatapan atasan pada bawahan, melainkan sesuatu yang lebih personal, meski selalu ditutup dengan sikap profesional.

Suatu sore, setelah rapat mingguan, Andrew menahan langkahnya ketika semua orang sudah bubar.

“Kerja bagus, Nindya. Saya tahu bukan hal mudah beradaptasi di lingkungan seperti ini.”

Nindya hanya mengangguk.

“Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik, Pak.”

Andrew tersenyum samar.

“Kamu tidak perlu terlalu kaku kadang, jeda di luar kerja justru membuat kita lebih tahan menghadapi tekanan.”

Nindya terdiam sejenak, mencoba menangkap maksudnya.

“Kalau kamu tidak keberatan,” lanjut Andrew, “Bagaimana kalau kita bicara santai di luar kantor? Sekadar makan malam, bukan urusan pekerjaan.”

Pertanyaan itu menggantung. Nindya tahu benar risiko dari kedekatan yang melewati batas. Namun, cara Andrew mengatakannya terdengar tenang, tanpa paksaan.

“Apa tidak sebaiknya kita tetap menjaga jarak, Pak?” tanyanya hati-hati.

“Di kantor, ya Itu aturan,” jawab Andrew cepat.

“Tapi di luar… kantor tidaka bisa mengintervensi.”

Ada jeda panjang sebelum Nindya menjawab. “Saya akan pikirkan.”

Malam itu, di kamar kecilnya, Nindya termenung lama. Di satu sisi, ia tahu Andrew punya karisma dan perhatian yang bisa melemahkan pertahanannya.

Di sisi lain, ia ingat luka masa lalunya—dari Armand masih membekas di relung hatinya.

Ia mengusap rambut anaknya yang sudah tertidur, lalu berbisik, Aku harus hati-hati. Jangan sampai salah langkah lagi.

Namun, jauh di dalam hati, ada bagian kecil yang diam-diam penasaran Bagaimana rasanya jika kali ini aku tidak menolak?

Restoran itu tidak terlalu mewah, tapi cukup tenang untuk percakapan pribadi. Lampu kuning temaram membuat suasana hangat, jauh berbeda dari dinginnya ruang rapat atau hiruk pikuk kantor.

Andrew memilih tempat di sudut, menghadap jendela besar yang menampakkan kerlip lampu kota Batam.

Nindya datang beberapa menit setelahnya. Ia mengenakan blus sederhana berwarna biru tua, dipadukan dengan celana panjang hitam. Tidak ada dandanan berlebihan—ia ingin memastikan pertemuan itu tetap terjaga kesederhanaannya.

“Terima kasih sudah datang,” sapa Andrew sambil berdiri, menarikkan kursi untuknya.

“Saya yang seharusnya berterima kasih karena sudah di undang,” jawab Nindya jujur, menunduk sejenak.

Andrew tersenyum tipis.

“Tidak perlu formal begitu dong, ini di luar kantor kamu bisa panggil Andrew saja."

"Baik."

Mereka memesan makanan, lalu hening sejenak. Hanya denting sendok garpu dari meja lain yang terdengar. Andrew memecah kesunyian.

“Kamu tahu, sudah lama saya tidak makan malam begini. Biasanya hanya dengan rekan bisnis, dan itu pun penuh basa-basi.”

Nindya menatapnya sekilas.

“Dan menurut Anda, ini bukan basa-basi?”

Andrew terkekeh.

“Bukan , tapi lebih dari sekedar basa basi, disini kita bisa sharing tentang apapun perjalanan hidup misalnya.” Ucap Andrew sambil tertawa kecil

Nindya menaruh sendoknya, menarik napas pelan.

“Cerita hidup saya tidak menarik, saya seorang ibu tunggal yang mencoba bertahan itu saja”

“Tapi itu justru menarik,” balas Andrew tenang.

“Kamu berbeda dari orang-orang di sekitar saya kamu hebat.”

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Nindya terdiam. Ia meneguk air putihnya, mencoba menepis gejolak kecil di dadanya.

“Andrew,” katanya hati-hati

"Saya butuh pekerjaan ini, dan saya tidak mau campur aduk urusan pribadi.”

Andrew mencondongkan tubuh, suaranya melembut.

“Aku mengerti. dan aku tidak akan memaksa. Aku hanya ingin kita bisa bicara seperti ini, tanpa topeng.”

Malam berlanjut dengan percakapan ringan. Tentang makanan favorit, tentang kota Batam yang terus berkembang, tentang anak Nindya yang mulai lancar berbicara. Andrew mendengarkan dengan perhatian yang jarang ia tunjukkan di kantor.

Ketika mereka berpisah di pelataran restoran, Andrew hanya berkata,

“Terima kasih untuk waktunya semoga ini bukan yang terakhir. Saya antar?”

Nindya tersenyum tipis,

"Tidak usah,terima kasih saya naik taxi saja."lalu berjalan menuju taksi. Di balik kaca jendela, ia melihat bayangan Andrew berdiri diam, menatapnya pergi.

Di perjalanan pulang, Nindya bersandar, menutup mata. Ada perasaan campur aduk—antara waspada dan hangat. Ia tahu satu hal: pertemuan malam ini akan sulit ia hapus dari ingatan.

Malam makan bersama Andrew masih membekas di kepala Nindya. Sejak pertemuan itu, ia merasa pikirannya lebih sering melayang.

Bukan karena ia terbuai, tapi karena ada sesuatu yang berbeda. Andrew tidak sekadar atasan—ia membawa energi yang sulit ditebak. Hangat sekaligus berbahaya.

Keesokan harinya, Nindya datang ke kantor lebih pagi dari biasanya. Ia berusaha mengalihkan pikiran, menumpuk pekerjaannya dengan rapi di meja, menulis daftar tugas agar fokus.

Namun begitu Andrew melintas di depan meja, sekilas menyapanya dengan senyum tipis, ia merasakan degup kecil yang membuatnya kesal pada diri sendiri.

Siang itu, ketika hampir semua pegawai sudah beranjak makan, Andrew memanggilnya ke ruangannya.

“Ada yang perlu kita tinjau sebelum rapat sore,” katanya singkat.

Nindya masuk dengan hati-hati. Ruangan itu hening, hanya suara pendingin ruangan yang samar. Andrew duduk dengan kemeja yang lengan atasnya tergulung, tampak lebih santai daripada biasanya. Ia menunjuk kursi di seberangnya.

“Duduklah sebentar tiidak butuh lama.”

Nindya menunggu arahan, tapi Andrew tidak langsung bicara soal kerjaan. Sebaliknya, ia menatapnya sejenak, lalu berucap,

“Terima kasih untuk malam kemarin.”

Nindya sedikit kaget, lalu menegakkan punggungnya.

“Bapak bilang ada yang perlu kita tinjau?”

“Itu trik saya, saya ingin ngobrol dengan kamu” jawab Andrew singkat. Senyumnya samar, tapi matanya serius.

“Sudah lama saya tidak merasa bisa bicara bebas seperti itu.”

Hening sesaat. Andrew lalu menghela napas panjang.

“Tapi pak?,"

1
Uthie
Andrew niiii belum berterus terang dan Jujur apa adanya soal mualaf nya dia sama Ustadz nya 😤
Uthie
Hmmmm.... tapi bagaimana dengan ujian ke depan dari keluarga, dan juga wanita yg telah di hamilinya untuk kali ke dua itu?!??? 🤨
Uthie
semoga bukan janji dan tipuan sementara untuk Nindya 👍🏻
Uthie: Yaaa... Sad Ending yaa 😢
total 2 replies
partini
ini kisah nyata thor
partini: wow nyesek sekali
total 3 replies
Uthie
harus berani ambil langkah 👍🏻
Uthie
Awal mampir langsung Sukkkaaa Ceritanya 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Uthie
apakah Andrew sudah memiliki Istri?!???
Uthie: 😲😲😦😦😦
total 2 replies
Uthie
Seruuuu sekali ceritanya Thor 👍🏻👍🏻👍🏻👍🏻
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏🙏
total 1 replies
sukensri hardiati
mundur aja Nin...
sukensri hardiati
nindya....tagih dokumennya
Seroja86: terimaksih atas kunjungan dan dukungannyanya ... 😍😍
total 1 replies
sukensri hardiati
baru kepikiran...sehari2 yudith sama siapa yaa....
Seroja86: di titip ceritanaya kk
total 1 replies
sukensri hardiati
masak menyerah hanya karena secangkir kopi tiap pagi...
sukensri hardiati
betul nindya...jangan bodoh
sukensri hardiati
mampir
Seroja86: terimaksih sudah mampir🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!