“Sudahlah, jangan banyak alasan kalau miskin ya miskin jangan hidup nyusahin orang lain.” Ucap istri dari saudara suamiku dengan sombong.
“Pak…Bu…Rafa dan Rara akan berusaha agar keluarga kita tidak diinjak lagi. Alhamdulillah Rafa ada kerjaan jadi editor dan Rara juga berkerja sebagai Penulis. Jadi, keluarga kita tidak akan kekurangan lagi Bu… Pak, pelan-pelan kita bisa Renovasi rumah juga.” Ucap sang anak sulung, menenangkan hati orang tuanya, yang sudah mulai keriput.
“Pah? Kenapa mereka bisa beli makanan enak mulu? Sama hidupnya makin makmur. Padahal nggak kerja, istrinya juga berhenti jadi buruh cuci di rumah kita. Pasti mereka pakai ilmu hitam tu pah, biar kaya.” Ucap istri dari saudara suaminya, yang mulai kelihatan panas, melihat keluarga Rafa mulai maju.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pchela, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Siasat buruk Ratna dan suami
Sudah hampir tiga minggu bu Sri tinggal di rumah Ratna. Setiap hari, ia masih saja di suruh mengerjakan pekerjaan rumah, meski tubuhnya semakin lemah karena komplikasi dan sesak nafas yang sering kambuh.
Ratna, menantunya tidak perduli dia selalu mencari salah agar semua pekerjaan rumah Bu Sri yang urus. Ratna, mencari alasan seolah- olah dia pusing kerena bergadang semalaman menjaga anaknya yang lagi rewel. Kenyataanya, dia asik rebahan di kamar bersama bayinya.
Bu Sri, ingin menolak tetapi ia tidak berani menolak karena tidak enak dengan Herman. Bu Sri melihat Herman sudah susah payah cari kerja, ia masih di butakan kasih sayang pada anaknya dan menantunya itu.
“Bu, cuci piring bekas makan ya. Sama, sapuin juga halaman rumah, halaman depan, daun-daun ya di bakar di belakang rumah nanti.” Ucap Ratna dengan enteng.
Bu Sri masih terdiam, dia menatap menantunya yang tengah memberikan asi pada bayinya. Ratna menatap sinis Bu Sri yang masih diam di tempatnya.
“Ibuk mau nolak? Ibuk, ndak mau bantu menantu ibu! Ya sudah biar aku yang ngerjain, sambil repot bawa anak. Mana, kemarin malam nggak tidur lagi karena bayi rewel.” Sindir Ratna, dia menutup botol susu.
“Bukan begitu, cuma tadi malam ibu ndak dengar anakmu rewel, ibu terjaga semalaman. Tapi, cucu ibu anteng saja, ibu denger.” Sahut Bu Sri, Ratna semakin di buat naik pitam.
“Oh, jadi ibuk nuduh aku bohong? Ibu nuduh aku pura-pura sakit, biar kerjaan rumah Ibu terus yang ngerjain gitu? Ibu berpikir seperti itu pada, menatu ibu sendiri? Bu! Apa salahnya ibu bantu aku? Daripada Ibu cuma rebahan doang, mending bantu aku bu. Itu juga bikin tubuh ibu makin sehat. Dari pada rebahan malah makin sakit.” Sahut Ratna, dengan nada sinis.
Bu Sri mengambil piring yang masih di berserakan di atas meja. Bu Sri juga memungut sisa nasi yang ada di atas meja makan. “ Herman kemana? Kenapa dari kemarin Ibu tidak melihat Herman?” Tanya Bu Sri lagi.
Ratna mendesah kasar, “Ngak tahu Bu, entah di mana itu anak ibu aku ndak tahu.” Sahut Ratna dengan nada malas.
Ratna sebenarnya tau Herman ada di mana, dia lagi di kampung buat pelunasan pembayaran lahan Adi yang dia jual. Sekitar lagi dua puluh juta yang nunggak.
“Aku, nggak boleh ceplosan soal Herman pergi ke kampung. Kalau si nenek tua ini tahu, dia bisa aja kabur nyusul Herman sendiri. Terus, dia ngadu ke Adi kalau lahanya udah di jual.” Batin Ratna.
................... ...
Malam harinya, Herman datang ke kamar Ibunya. Ia sudah kembali dari kampung dengan uang dua puluh juta, yang sama sekali Bu Sri tidak ketahui.
Uang itu sudah di kekep, dan di hitung sendiri oleh Ratna. “Bu, kalau nanti aku ke kampung aku tinggal di rumah ibu saja ya?” Tanya Herman tiba-tiba.
Bu Sri bangkit dari kasurnya dengan gemetar, ia baru saja istirahat setelah minum obat. “Kamu mau kembali ke kampung?” Tanya Bu Sri balik.
“Iya, tapi tidak sekarang. Aku masih harus jualan saos di kota Bu. Nanti, semisalnya aku pulang ke kampung lagi? Aku boleh kan tinggal di rumah Ibu saja? Biar lahan, Adi aku jadiin tempat usaha?” Ucap Herman.
“Boleh, boleh… Ibu sudah ke Pak Rt, dan minta dia untuk menjadi saksi bahwa rumah itu sudah jatuh ke tangan kamu. Adi, biar dia cari rumah sendiri. Karena, saat ini kamu harus pontang-panting cari yang di kota, sementara kakak kamu santai menerima rumah dari Ibu begitu saja. Ibu tidak tega sama kamu, biarkan saja Adi dia punya uang sendiri buat beli rumah.” Jelas Bu Sri panjang lebar.
Pupil mata Herman membesar. Hal yang tadi menyulitkannya terasa mudah begitu saja. “Beruntung banget hidupku, kalau kayak gini kan aku tidak perlu pusing-pusing buat beli rumah di kampung lagi.” Batinnya tersenyum bangga.
“Bu, terimakasih sekali ibu sudah perduli dengan ku. Aku minta maaf ibu harus hidup seperti ini di kota. Maaf juga, kalau ibu harus bantu-bantu aku dan Ratna karena anak kita sering rewel akhir-akhir ini bu. Jadi Ratna, dia nggak bisa tidur malamnya.” Bohong Herman.
Setelah mendengar penuturan anaknya Bu Sri jadi semakin tidak marah dengan perlakuan Ratna justru dia bertekad mulai besok akan bangun lebih awal. Biar, dia saja yang mengurus rumah, dan membiarkan Ratna mengurus anaknya saja.
Tanpa Bu Sri tahu, anak dan menantunya tengah mengibul dirinya. Mereka, sejatinya tidak setulus Adi dan Lastri dalam mengurus ibunya mereka.
................... ...
“Gimana mas?” Tanya Ratna, saat Herman masuk ke dalam kamar mereka. Herman menujukan jari jempolnya, lantas menarik tangan Ratna untuk masuk ke dalam rumah.
“Ibu kamu setuju?” Tanya Ratna lagi, dia belum puas dengan Jawaban bahasa isyarat jadi suaminya itu.
“Iya, ibuk setuju.” Sahut Herman singkat, Ratna dibuat kaget, “Hah? Ibu kamu langsung setuju begitu saja? Atau kamu harus melas-melas dulu? Apa? Ibu, kamu ngasih syarat ke kita? Apa, syaratnya mas? Kalau nyulitin aku, aku sih ogah.” Kesal Ratna.
“Duh, adik manis jelita ini, jangan cemburut gitu bibir kamu jadi maju tiga centi.” Goda Herman, yang membuat satu pukulan melayang di lengan kanannya. Pukulan keras, hingga rasanya seperti tulangnya retak.
“Akkk…” pekik Herman, ia tidak berani protes soalnya Herman tipe suami takut istri. “Sayang, jangan kdrt. Udah, aku jelasin. Ibu kasih rumah cuma- cuma. Tanpa drama, syarat, dan tanpa aku minta. Jadi, Ibu sudah ngasih rumah itu dari dulu, memang buat aku. Ada saksinya Pak Rt.” Jelas Herman.
Ratna menatap tidak percaya. “Jadi, rumah itu milik kita dong?” Herman mengangguk. “Iya, nanti kalau sampai usaha kotor kita ke bongkar. Kita tinggal kabur saja ke rumah ibu, lagian orang-orang kan nggak tahu asli kita dari mana.” Tutur Herman.
“Ibu kamu gimana? Kita bawa kabur juga?” Tanya Ratna. Herman terdiam sejenak, “Ngak usah, orang-orangnya ngak mungkin nyakitin ibu, paling mereka bakalan bawa ibu ke panti jompo.” Jelas Herman dengan santai.
Dia sama sekali tidak menunjukkan rasa sayang pada Bu Sri, padahal Ibu Sri adalah ibu kandungnya sendiri.
“Tapi mas, pokoknya sebelum kita kabur ke kampung lagi, kita harus udah ngambil keuntungan banyak dari jual saos sambal busuk ini. Pokoknya, mulai besok kita eksekusi dari cabai yang paling busuk, dan murah biar untung kita banyak. Dan kita bisa bawa pulang uang yang banyak, aku masih dendam sama Adi dan Lastri, pokoknya sampai kapanpun aku tidak sudi melihat ekonomi mereka berada di atas kita lagi! Titik!!” ucap Ratna dengan menggebu-gebu.