Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
"Pertunangan?" tanya Maura, kemudian tertawa sumbang sambil menatap piring yang isinya sudah hampir habis, lalu kembali pada wajah Marvel. "Bagus kalau begitu, artinya kita selesai. Pak Marvel tidak punya alasan lagi untuk menahan saya di sini."
"Lalu untuk apa saya jauh-jauh mencari kamu kalau pada akhirnya kita selesai?" Sebelah alis pria itu terangkat.
Bibir Maura sedikit terbuka, lalu ia kembali tertawa sambil mengangguk anggukkan kepala. "Kalau begitu, seharusnya bapak tidak perlu mencari saya, sia-sia saja karena akhirnya ... we're done!" Wajahnya mendadak datar, menatap kesal pria yang duduk di hadapannya.
Marvel hanya tersenyum mendengar perlawanan itu. Mungkin wanita itu lupa kalau ia belum siap bertunangan dengan Jesica, dan yang pasti hubungan mereka tidak akan berakhir begitu saja hanya karena ia bertunangan bahkan menikah sekalipun.
"Jangan membuang-buang waktu untuk melakukan semua ini, sebaiknya kamu beristirahat," ucap pria itu kemudian.
"Pak Marvel mau ke mana?" Maura mendadak panik saat pria itu berdiri. Ia takut Marvel benar-benar meninggalkannya selama lima hari, di rumahnya, sendirian.
"Saya tidak keberatan kalau kamu mau mandi lagi, menemani saya."
Mendengar itu pipi Maura bersemu merah. Ia langsung pura-pura fokus pada nasi gorengnya. Melirik pria itu sekilas, dia sudah berjalan ke dalam kamar. Detik kemudian ia meletakkan sendok ke atas piring dengan kasar disertai dengusan kesal. Dadanya tiba-tiba sakit, sesak seperti tertimpa beban ribuan ton.
"Ini bukan karena pria brengsek itu akan bertunangan, kan?" monolognya, menepuk-nepuk dadanya menggunakan telapak tangan berharap rasa sakit itu bisa hilang.
Selama enam tahun ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk dekat dengan pria lain, kecuali Marvel yang mendominasi hidupnya. Tanpa sadar sudut mata Maura berair, memikirkan kado perpisahan yang cocok untuk pria itu. Bagaimanapun juga, dia sudah menemaninya sangat lama.
Saat rasa sedih hampir menguasainya, Maura mendengar pintu utama terbuka dan menampakkan wajah Sam di sana. Pria berbadan tinggi besar dengan tubuh kekar itu menenteng kantong belanjaan besar di sisi kanan kiri tangannya. Kening Maura mengerut heran melihat Sam berjalan melewatinya begitu saja tanpa menyapa.
"Memangnya aku ini hantu apa!" gerutunya. Karena penasaran ia mengikuti Sam ke dapur dengan membawa piringnya yang sudah kosong. "Itu apa?" tanyanya kemudian.
"Pasokan makanan untuk satu minggu ke depan," jawab Sam.
"Satu minggu?" Maura membeo. "Jadi benar ya, atasanmu itu akan bertunangan?" tanyanya hati-hati.
"Saya kurang tahu," jawab Sam dingin.
Maura mengerucutkan bibir, berusaha menarik perhatian Sam dengan berdiri di sebelah kulkas selagi pria itu memasukkan makanan yang dibawa. Menyandarkan pundaknya di dinding kulkas.
"Ngomong-ngomong, bagaimana keadaan Dave?" tanyanya dengan berbisik.
"Saya tidak tahu." Sam tampak sibuk dengan kegiatannya.
"Memangnya sekarang dia ada di mana?" Maura masih belum menyerah. Ia benar-benar khawatir dengan pria itu, keadaan terakhirnya sangat mengenaskan.
"Saya tidak tahu!" Jawaban Sam masih sama, kali ini ia tampak kesal.
Maura mengerucutkan bibirnya, menatap sinis Sam yang bersikap dingin, padahal biasanya dia sangat murah senyum walau memang tidak banyak bicara. "Aku melihatmu di sana waktu itu, kenapa bisa tidak tahu?" tanyanya lagi, tidak mau mengalah.
Sam diam saja, dan sukses membuat Maura murka. Wanita itu berjongkok mensejajarkan tingginya dengan Sam, menatapnya lekat-lekat. Ia mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan sebelum mulai berbicara.
"Aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan kalau mau memberi tahu. Apa pun. Lagi pula, aku tidak memiliki maksud lain, hanya ingin tahu keadaannya saja!"
Kini Sam memberanikan diri menatap Maura. Wanita yang ia kenal sangat ramah, ceria dan baik itu tampak antusias menunggu jawaban. "Saya tidak tahu. Pekerjaan saya bukan mengurusi Dave!" katanya penuh penekanan.
Pundak Maura mengendur, mendadak lemas. Sedangkan Sam sudah kembali pada pekerjaannya.
"Aku tidak akan mengadukanmu, tenang saja," ucap Maura lesu, menyandarkan kepala di dinding kulkas. Tiba-tiba saja Sam berdiri dan menutup kulkas dengan sangat keras, membuat udara benturan pintu itu menyembur wajahnya hingga ia harus memejamkan mata.
"Saya tidak akan goyah dengan segala taktik itu," ucap Sam kemudian dan beralih ke kulkas lain.
"Terus kenapa Pak Marvel mau ke Bali. Apa pertunangannya di Bali?" Maura mendengar perbincangan Marvel di telpon tadi, dan penasaran kenapa pria itu ke Bali. Seingatnya tidak ada jadwal kunjungan ke sana.
"Kenapa tidak tanya langsung ke orangnya?" Dengan raut kesal Sam melihat ke arah pintu dapur.
Sontak Muara mendongak dan menoleh ke arah kanannya. Ia langsung berdiri begitu mengetahui Marvel berdiri di ambang pintu, sedang melihatnya dengan tatapan tidak bersahabat.
"Tidak cukup dengan hanya menggoda Dave, huh?" tanyanya.
Maura menunduk dengan wajah cemberut, memainkan kakinya seperti anak kecil yang sedang dimarahi ayahnya.
"Kamu ingin menggoda Sam dengan pakaian seperti itu?" Sorot mata tajam Marvel memindai penampilan Maura—hanya memakai kaos oversize dengan panjang setengah paha. "Apa kamu juga sengaja melepas bawahanmu agar Sam melihat semuanya?" Marvel semakin murka, pasalnya wanita itu seperti tidak memakai celana, ia yakin di dalam sana hanya ada celana dalam saja.
Bibir Maura sedikit terbuka, berniat membantah, tetapi ia terlalu malu untuk melakukannya. Karena benar, ia tidak memakai apa-apa kecuali celana dalam. Toh, bajunya panjang dan bisa menutupi asetnya dengan sempurna, pikirnya. Dan juga, ia tidak tahu Sam akan datang.
"Cepat ke kamar dan pakai celanamu!" desis Marvel tajam.
Maura menghentakkan kaki kesal sebelum akhirnya melangkah lebar menuju kamar, sedangkan Marvel mengikutinya dari belakang.
"Jadilah penurut agar saya tidak sering-sering menghukummu. Sekarang saya maafkan, tapi tidak untuk lain kali." Marvel melemparkan celana training berukuran besar ke pelukan Maura. "Pakai itu. Kamu hanya boleh telanjang saat bersamaku!"
Maura mendecih sinis sambil memakai celana itu dengan disaksikan Marvel yang berdiri di hadapannya. Setelah selesai ia berdiri tegak menatap kesal pria itu. "Sudah!" teriaknya.
"Tadi saja bertingkah seperti tidak bisa berjalan, sekarang lincah sekali!" gerutu Marvel yang bisa didengar jelas oleh Maura.
Pipi wanita itu bersemu malu. Sejujurnya masih perih, tapi tidak separah tadi, ia masih bisa menahannya. Pun, ia tidak mau terlihat lemah di hadapan Marvel, jadi sebisa mungkin ia bersikap biasa saja.
"Minum air putih di atas nakas lalu pergi tidur." Marvel memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan pergi meninggalkan Maura.
Akhirnya, wanita itu duduk di pinggir ranjang dan meraih gelas di atas nakas. Namun, matanya tidak sengaja melihat ponsel Marvel yang bergetar di dekat gelas tadi. Ia mengembalikan gelas itu ke meja dan meraih ponsel. Ternyata hanya alarm.
Pandangannya kini mengarah ke pintu, setelah memastikan Marvel tidak akan kembali lagi ia memutuskan untuk membuka ponsel itu. Dengan lincah tangannya berselancar di atas layar, membaca satu persatu kolom chat. Dari penelusurannya, ia tahu pertunangan itu akan diadakan empat hari lagi.
Maura hampir saja menjatuhkan ponsel itu ketika melihat foto-foto Dave yang dikirim oleh seseorang. Terlihat pria itu sedang tergeletak lemah di ranjang rumah sakit dengan wajah babak-belur, kaki dan tangannya dililit perban. "Kami sudah mastikan kaki dan tangannya patah, dan sekarang dia berada di rumah sakit xxxx." Tulis keterangan di foto itu.
"Apa yang kamu lakukan dengan ponselku?"
Mendengar suara itu Maura langsung meletakkan ponsel Marvel ke tempat semula dan menenggak habis air yang ada di dalam gelas. Karena terlalu asik ia sampai tidak sadar kalau Marvel kembali ke kamar.
"Aku tidak sengaja melihat ponsel itu menyala. Jadi, aku membukanya. Ternyata hanya notifikasi dari aplikasi belanja," bohongnya.
Marvel hanya mengangguk dan mengambil alih ponsel itu tanpa curiga.