"Jangan pernah berharap ada cinta dalam hubungan ini, Ndu." - Wisnu Baskara Kusuma.
"Aku bahkan tidak berharap hubungan ini ada, Mas Wisnu." - Sewindu Rayuan Asmaraloka.
*****
Sewindu hanya ingin mengejar mimpinya dengan berkuliah di perantauan. Namun, keputusannya itu ternyata menggiringnya pada garis rumit yang tidak pernah dia sangka akan terjadi secepat ini.
Di sisi lain, Wisnu lelah dengan topik pernikahan yang selalu orang tuanya ungkit sejak masa kelulusannya. Meski dia sudah memiliki kekasih, hubungan mereka juga masih tak tentu arah. Belum lagi Wisnu yang masih sibuk dengan masa dokter residen di tahun pertama.
Takdir yang tak terduga mempertemukan kedua anak manusia ini dalam satu ikatan perjodohan.
Pernikahan untuk menjemput ketenangan hidup masing-masing. Tanpa cinta. Hanya janji bahwa hati mereka tak akan ikut terlibat.
Akankah perjanjian yang mereka buat dalam pernikahan ini dapat ditepati? Atau malah membawa mereka jatuh ke dalam perasaan masing-masing?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amerta Nayanika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria Tempo Hari
Aroma lezat dari asap tipis masakan Ibu menguar ke seluruh sisi dapur. Sepiring udang asam manis dan tumis kangkung menjadi pilihan menu makan malam keluarga ini.
Romo masih berbincang dengan Pak Tomo — supir keluarga, sejak beberapa waktu yang lalu. Dari lembayung hangat sore hari masih bergelayut di langit, sampai bintang-bintang bertaburan di atas sana. Entah apa yang mereka bicarakan.
“Makan dulu, Mas!” panggil Ibu dari ambang pintu rumah yang dibiarkan terbuka. “Pak Tomo juga, makan dulu sebelum pulang.”
Kedua pria yang duduk lesehan di teras, menoleh saat mendengar suara Ibu. Romo lebih dulu beranjak dari tempatnya. Tangannya menepuk pelan bahu Pak Tomo, meminta pria kepercayaannya itu untuk menyantap makan malam bersama mereka.
Tak perlu meja makan yang terlalu luas untuk merasakan hangatnya makan bersama. Romo menarik salah satu kursi yang ada di sana, mendudukkan dirinya di depan masakan yang masih menguarkan asap tipis.
“Sewindu mana? Nggak ikut makan?” tanyanya begitu melihat satu kursi yang masih kosong.
Ibu yang sedang mengambikan nasi di atas piring milik Romo itu menggeleng. “Nanti saja katanya. Masih mau belajar dulu.”
“Panggil saja, Bu! Suruh ikut makan bareng, bilang saja kalau Romo mau bicara,” timpal Romo.
Mendengar itu, Pak Tomo langsung menoleh. Dia tentu tahu apa yang akan dibicarakan Romo pada anaknya itu. Karena, Romo juga sempat membicarakan hal itu dengannya di teras tadi.
Seperginya Ibu dari sana, Pak Tomo mengurungkan pergerakannya yang hendak mengambil nasi. “Kalau begitu saya pamit dulu,” katanya.
Romo menoleh, dia menggeleng pada Pak Tomo yang hendak beranjak. “Makan dulu saja, Pak. Saya tidak akan membicarakan hal itu sekarang.”
“Saya hanya mau tahu, bagaimana pandangan Sewindu tentang dia,” lanjut Romo.
Pak Tomo bukanlah orang asing bagi keluarga ini. Dia adalah orang pertama yang dipercaya Romo untuk bekerja sebagai supir keluarga. Tak hanya itu, ada sebuah rahasia keluarga yang dia genggam rapi di dalam tangannya.
Suara langkah Sewindu dan Ibu terdengar semakin dekat. Derak pelan ikut menyambut begitu gadis itu menarik kursi di depan Pak Tomo. Dia juga tersenyum pada Pak Tomo sebelum akhirnya duduk di sana.
Matanya yang semula tampak malas dan mengantuk langsung berbinar begitu melihat menu makan malam yang menggiurkan di hadapan mereka. Tak sia-sia dia meninggalkan meja belajarnya malam ini.
Sewindu melirik pada Romo yang sedang menikmati suapan kesekian dari piringnya. “Romo mau ngomong apa?” tanyanya.
“Makan dulu saja, Ndu. Kamu dari siang belum makan,” sahut Romo tanpa repot-repot menoleh.
Mendengar itu, Sewindu menoleh pada Ibu yang duduk di sampingnya. Sama seperti Romo, Ibu memintanya untuk menyantap makan malamnya terlebih dahulu.
Denting sendok yang bersentuhan dengan permukaan piring memecah keheningan. Begitu pula dengan televisi yang dibiarkan menyala dan menyiarkan berita malam dalam volume suara sedang.
Tidak ada yang tahu, salah satu isi kepala yang ada di sana sedang berisik bukan main. Tak kalah berisik dari suara berita yang tersiarkan dari ruang keluarga.
Romo berdiri dari tempatnya, berjalan menuju wastafel dapur bersama piring bekasnya. Suara aliran air saat dia mencuci piring sepertinya cukup membantunya untuk berpikir lebih jernih lagi.
“Siapa yang telepon tadi siang, Mas?”
Suara dari balik tubuhnya membuat Romo sedikit terkejut. Pria itu menoleh pada istrinya yang juga sudah berdiri di sana dengan piring kotor miliknya sendiri.
Romo tak langsung menjawab, dia menyempatkan diri untuk membasuh tangannya sebentar dan bergeser dari sana. “Sewindu nggak bilang?”
“Bocah iku mosok mau ikut campur urusan orang lain?” sahut Ibu. Wanita itu mulai membilas piring kotornya.
Romo berdiri di samping Ibu, tubuhnya menghadap ke arah yang berlawanan. Matanya menatap punggung Sewindu yang masih menikmati makan malamnya sambil sesekali bercanda dengan Pak Tomo.
“Brahman,” jawab Romo sambil kembali menoleh ke arah Ibu. “Bagaimana kalau kita titipkan Sewindu ke dia?”
Mendengar itu, Ibu sontak mengerutkan keningnya. Sisa air di tangannya dia percikkan ke wajah suaminya. Seolah ingin menyadarkan Romo saat itu juga.
“Kita ini masih hidup, masih sehat. Kok ngomong kayak gitu, Mas? Sewindu masih punya orang tua kandungnya, kenapa mau kamu titipkan ke temanmu?”
“Maksudnya bukan begitu,” Romo terdiam sebentar sebelum menjauh. “Nanti saja, kita bicarakan lagi.”
Melihat Romo yang berjalan pergi dan kembali duduk di meja makan membuat Ibu mengerutkan keningnya. Detik berikutnya wanita itu menggeleng pelan.
Sementara itu, Romo melihat ke arah Sewindu yang mengunyah suapan terakhirnya. Melihat wajah anaknya sebentar sebelum akhirnya berdeham satu kali.
“Nduk,” panggilnya pelan.
Sewindu mengangkat kepalanya. Dia melihat ke arah Romo, mulutnya tak menjawab karena masih mengunyah. Alisnya naik sebagai gantinya.
“Kamu ingat keluarga teman Romo yang sempat mampir beberapa minggu yang lalu toh?” tanya Romo hati-hati.
Tak butuh lama untuk Sewindu menjawabnya. Gadis itu mengangguk mantap. “Teman Romo yang telepon tadi siang, kan?”
Romo turut mengangguk. Pria itu tak langsung melanjutkan apa yang hendak dia ucapkan malam ini pada Sewindu. Dia menunggu dulu seperti apa reaksi Sewindu begitu dia membicarakan keluarga kawannya itu.
“Kenapa?” tanya Sewindu. Dia tentu sadar tatapan Romo yang sering mengarah padanya. Padahal, di sana ada Pak Tomo yang mungkin lebih enak untuk diajak mengobrol.
“Ingat anaknya, Ndu?” tanya Romo lagi.
Dahi Sewindu tampak berkerut samar. Pandangannya beralih dari Romo, memandang ruang kosong di langit-langit. Gadis itu lantas mengangguk meski ragu.
“Mas-mas yang pakai kacamata itu kan? Tapi, Sewindu sudah lupa namanya.”
“Wisnu namanya, Nduk.” Ibu menyahut dari belakang.
Pak Tomo sontak terkekeh pelan. “Yang diingat kok cuma kacamatanya tok, kamu ini!”
“Baru sekali ketemu, Pak. Wajar kalau lupa.”
Sewindu kembali menyendok udang asam manis yang masih tersisa cukup banyak. Dia menikmati setiap tetes saus buatan Ibu yang tiada tanding lezatnya. Meski begitu, matanya masih sesekali melirik pada Romo.
Sementara, pria berwajah galak itu memainkan sebatang rokok yang baru dia keluarkan dari wadahnya. “Gimana menurutmu?”
Jarak alis Sewindu mendekat, memicu gurat bingung di wajah cantiknya. “Maksudnya gimana, Romo?”
“Ya, Wisnu itu loh. Menurutmu orangnya gimana?”
Sewindu kembali terdiam sambil menyesap sisa saus dari bagian ekor udang. Dia tampak berusaha mengingat sosok Wisnu yang sempat hadir beberapa minggu yang lalu. Tak terlalu banyak kesan yang tertinggal, mereka juga tak banyak bicara hari itu.
“Biasa saja. Kayak orang-orang pada umumnya saja, Romo,” jawab Sewindu lugas. Dia kembali menyesap sisa-sisa saus dari ekor udang yang lain.
Mendengar jawaban yang acuh tak acuh itu, Ibu tersenyum geli. Dia melirik pada suaminya dan melihat wajah kecut yang tak lagi dapat terelakkan.
“Yakin biasa saja, Ndu?” tanya Romo yang menarik perhatian Sewindu lagi.
Gadis berwajah manis itu lagi-lagi mengangguk. Lalu, tanpa repot-repot menjelaskan dengan kata-kata, dia pergi bersama piring kotornya menuju tempat cuci piring.
Baik Ibu maupun Pak Tomo, kini melihat ke arah Romo yang terdiam di tempatnya. Dia menyalakan rokok yang terapit di sela jemarinya. Sepertinya, keputusannya untuk berbicara perlahan dengan Sewindu, gagal.
“Sudah tahu, anakmu itu mirip sama kamu. Cueknya minta ampun!” ujar Pak Tomo sambil tertawa renyah.