Menjelang pernikahan, Helena dan Firdaus ditimpa tragedi. Firdaus tewas saat perampokan, sementara Helena diculik dan menyimpan rahasia tentang sosok misterius yang ia kenal di lokasi kejadian. Kematian Firdaus menyalakan dendam Karan, sang kakak, yang menuduh Helena terlibat. Demi menuntut balas, Karan menikahi Helena tanpa tahu bahwa bisikan terakhir penculik menyimpan kunci kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Blades helikopter berputar kencang di atas reruntuhan rumah yang masih berasap tipis. .
Angin kencang dari baling-baling membuat debu dan daun kering beterbangan ke udara.
Juliet sudah berada di luar, berdiri di tanah lapang yang dulunya adalah halaman belakang rumah.
Ia memberi isyarat dengan lampu suar ke helikopter tempur berwarna hitam matte yang melayang rendah.
Dion turun terlebih dahulu dari bunker sambil menggendong tas perlengkapan dan beberapa dokumen penting.
Ia berjalan cepat menuju badan helikopter, lalu berhenti sejenak di tempat teduh dan mengeluarkan ponselnya.
""Sinta. Ganti lokasi. Jangan ke rumah Bu Rara. Pergi ke titik yang pernah aku tunjuk di peta darurat. Gunakan rute aman. Aku akan menyusul. Jangan balas."
Pesan terkirim.
Beberapa detik kemudian, muncul satu pesan masuk.
"Aku percaya kamu. Aku menunggu."
Dion memejamkan mata sesaat sebelum menyimpan ponsel dan kembali memasang wajah dinginnya.
Helena keluar dari bunker bersama Karan yang masih setengah lemah.
Salah satu tangan Karan memegang bahu Helena untuk penopang, sedangkan tangan lainnya masih gemetar karena efek chip yang belum sepenuhnya mati.
Juliet langsung turun tangan, menyodorkan tangannya untuk membantu menaikkan Karan ke dalam helikopter.
“Cepat. Kita nggak tahu apakah mereka punya tim cadangan,” serunya pada Helena.
Bi Fia menyusul dari belakang sambil membawa tas kecil, wajahnya pucat tapi tekadnya bulat.
“Aku ikut. Aku sudah terlalu tua untuk lari sendiri,” gumamnya.
“Bi…” Helena menatapnya haru.
“Ayo cepat! Saya masih bisa goreng tempe di udara!” bentak Bi Fia sambil menyeret dirinya masuk helikopter.
Dion masuk paling akhir dan duduk di pintu, menjaga dengan senapan otomatis di tangan. Juliet duduk di posisi co-pilot, mengecek radar dan komunikasi.
Helikopter mulai naik pelan. Rotor semakin kencang.
Dari kaca helikopter, rumah besar itu tampak mengecil. Dinding-dindingnya hancur. Atapnya ambruk.
Seolah seluruh masa lalu mereka ikut terbakar bersama api dan peluru.
Helena menggenggam tangan Karan erat.
Karan menatap reruntuhan itu lama, lalu berbisik,
“Rumah itu, bukan lagi tempat kita.”
Helena menoleh, matanya berkaca.
Karan menatapnya dalam-dalam.
“Karena sekarang, rumahku ada di sini.”
Ia menyentuh dada Helena lembut.
Helena terisak pelan dan menyandarkan kepalanya ke bahu suaminya.
Juliet melirik mereka dari depan.
“Tch… romantis banget sih. Aku sampai lupa kita lagi dikejar musuh.”
Dion menahan senyum kecil sambil tetap siaga di pintu helikopter.
Karan menatap Juliet sekilas.
“Mulai sekarang kamu keluarga kami. Tapi jangan harap aku panggil kamu ‘adik’.”
Juliet tertawa pendek.
“Heh. Bagus. Panggil aku Juliet aja. Atau kalau mau keren…bodyguard favoritmu.”
Helena mendecak geli.
“Jangan keterlaluan.”
Helikopter mulai menjauh dari kota, terbang menuju lokasi rahasia yang hanya Karan, Dion, dan Helena ketahui.
Langit perlahan berubah warna, dari jingga menuju biru kelabu malam.
Di kejauhan, cahaya bintang-bintang mulai bermunculan.
Helikopter mendarat perlahan di tengah hutan pinus yang sunyi.
Dari atas, lokasi itu terlihat seperti dataran kosong biasa, namun begitu baling-baling berhenti, tanah di sisi kanan bergerak otomatis.
Sebuah platform baja terbuka dari bawah tanah menjadi jalan masuk ke fasilitas rahasia milik Karan.
Lampu-lampu neon biru menyala di sepanjang lorong bawah tanah yang perlahan terbuka.
Dion turun lebih dulu, sigap membantu memastikan area aman.
Juliet turun berikutnya, senjata masih di tangan, matanya menyapu area lebat hutan di sekeliling mereka.
Helena turun sambil memapah Karan. Nafasnya sedikit berat, luka di lengannya belum sepenuhnya pulih.
Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh…
Tubuh Helena tiba-tiba goyah.
“Hel?”
Karan menoleh cepat, namun terlambat. Tubuh Helena merosot jatuh.
“HELENA!”
Karan langsung menangkapnya sebelum tubuh istrinya menyentuh tanah.
Nafas Helena terengah-engah, wajahnya pucat.
“Hel! Helena! Lihat aku!” Karan mengguncangnya panik.
“Ya Allah, Nyonya!”
Juliet segera berlutut di samping mereka dan memegang pergelangan tangan Helena, memeriksa denyut nadinya.
Matanya menyipit tajam.
“Denyutnya cepat. Tekanan darahnya turun dan sepertinya sia bukan cuma kelelahan.”
Karan menatap wajah Juliet penuh kecemasan.
“Apa maksudmu? Luka tembaknya kambuh?”
Juliet menggeleng perlahan. Ia lalu menempelkan telapak tangannya ke perut bagian bawah Helena dengan lembut.
Ia mengangkat kepala, menatap Karan lurus-lurus.
Suaranya datar, tapi penuh makna.
“Dia hamil.”
Karan membeku.
“A-apa…?”
Dion yang mendengar dari jauh bahkan sampai berhenti bergerak, matanya membesar.
Bi Fia langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, air mata mengalir tanpa sadar.
“K-kk… Kak Helena…” panggil Juliet
Juliet mengambil napas dalam-dalam.
“Keadaan tubuhnya dipaksa bertarung dengan luka terbuka, ditambah tekanan fisik dan mental akibat chip-mu yang aktif dan tubuhnya nggak kuat. Dia melindungi kalian semua sambil membawa dua nyawa.”
Karan memeluk Helena erat, matanya membara campuran syok dan rasa bersalah.
Tangannya gemetar.
“Kenapa dia nggak bilang…?”
Juliet menatap Karan tajam.
“Mungkin karena dia tahu, kalau kamu tahu… kamu akan menyuruhnya berhenti bertarung.”
Juliet melanjutkan, suaranya lebih lembut, meskipun tetap tegas.
“Kak Helena adalah agen. Tapi sebelum itu, dia istrimu. Dan sekarang, dia adalah ibu dari anakmu.”
Karan menunduk, tangannya mengusap wajah Helena yang tertidur lemah di pelukannya.
“Hel, kenapa kamu bahkan melindungi aku sampai seperti ini…”
Juliet berdiri, memberi ruang.
“Bawa dia masuk. Kita harus pastikan kandungannya aman. Aku akan atur ruangan medis sekarang juga.”
Dion langsung bergerak cepat membuka pintu lorong bawah tanah menuju fasilitas rahasia itu.
Karan mengangkat Helena dengan hati-hati, seolah takut sentuhannya terlalu keras.
Dengan langkah pelan namun tegas, Karan membawa istrinya masuk ke markas perlindungan baru mereka.
Lampu putih terang menyinari ruangan medis bawah tanah yang serba steril. Bau antiseptik menyengat samar.
Helena terbaring di atas ranjang otomatis, tubuhnya kini dibalut selimut hangat. Wajahnya pucat, namun napasnya sudah mulai stabil.
Juliet berdiri di samping ranjang, dengan sarung tangan lateks dan ekspresi serius.
Perlahan, ia menusukkan jarum infus ke pergelangan tangan Helena dengan ketelitian seorang profesional.
Cairan intravena bening mulai mengalir melalui selang, menstabilkan tubuh kakaknya.
“Tekanannya masih rendah, tapi jantungnya stabil,” ucap Juliet tanpa mengalihkan pandangan.
Di sisi lain ranjang, Karan duduk di bangku besi membungkuk ke depan sambil menggenggam tangan Helena erat.
Tangannya besar dan kuat, tapi kini tampak gemetar.
Ia menatap wajah istrinya lama sekali. Seolah takut jika ia berkedip, Helena akan menghilang.
“Hel,” bisiknya lirih.
Tidak ada jawaban.
Karan menunduk, bahunya bergetar halus.
“Aku minta maaf.”
Juliet berhenti sejenak, melirik sekilas tapi tidak berkata apa-apa.
Ia pura-pura fokus pada monitor detak jantung untuk memberi ruang.
Karan menempelkan dahinya ke tangan Helena.
“Aku bahkan tidak bisa menjagamu dan kamu masih menyelamatkanku.”
Suaranya serak. Mata yang biasanya dingin sekarang basah.
Juliet menarik napas perlahan sambil melepas sarung tangannya, lalu mendekat ke sisi ranjang lainnya.
“Kak Helena wanita terkuat yang kukenal,” ucapnya pelan tapi mantap.
“Tapi bahkan wanita terkuat pun boleh istirahat.”
Karan mengangkat kepalanya, menatap Juliet.
Juliet menatap balik, kali ini tanpa senyum, tanpa sarkasme. Hanya ketegasan dan kejujuran.
“Kalau kamu mau menebus semua ini…” Juliet mencondongkan tubuh sedikit ke arah Karan.
“Mulai sekarang, kamu yang jaga dia.”
Karan mengepal tangannya di atas selimut.
Lalu mengangguk pelan.
“Mulai sekarang kiy tidak akan ada yang menyentuhnya. Bahkan aku pun tidak akan membuatnya terluka lagi.”
Juliet tersenyum tipis—senyum bangga seorang adik yang mempercayakan kakaknya.
Ia menepuk pundak Karan sebelum berdiri.
“Aku akan pastikan markas ini steril dari ancaman. Kamu jangan tinggalkan dia.”
“Aku tidak akan ke mana-mana,” jawab Karan mantap.
Juliet berjalan menuju pintu, namun sebelum keluar, ia menoleh sebentar.
“Oh, satu lagi…”
Karan mendongak.
Juliet mengangkat satu alis sambil menyeringai kecil.
“Jaga baik-baik keponakanku.”
Untuk pertama kalinya sejak masuk ruangan itu… Karan tersenyum.
Meskipun samar, tapi tulus.
Ia kembali menunduk, mengecup punggung tangan Helena.
“Aku di sini, Hel.'