Kamu anak tuhan dan aku hamba Allah. Bagaimana mungkin aku menjadi makmum dari seseorang yang tidak sujud pada tuhanku? Tetapi, jika memang kita tidak berjodoh, kenapa dengan rasa ini...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MUTMAINNAH Innah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 8
Aku kemudian berjalan menuju mobilku. Dia menatapku hingga aku masuk ke dalamnya. Kemudian dia juga pergi ke mobilnya. Setelah dia masuk, mobilku keluar duluan dari parkiran dan di susul olehnya.
Santai saja, mobilku beriringan dengan mobilnya menuju pantai. Karna masih siang, cuaca masih panas. Aku memelankan mobil saat memilih cafe mana yang akan kumasuki di sepanjang pantai itu.
Akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah cafe berlantai dua dibawah pohon rindang. Aku lebih suka dengan suasana alami seperti ini daripada ditempat yang ber-AC. Terlihat mobilnya kini parkir di sebelah mobilku.
"Maaf, aku pilih sendiri tempatnya, nggak apa-apa di sini?" tanyaku setelah aku dan dia turun dari mobil.
"Nggak apa-apa, aku suka," sahutnya tersenyum ke arahku.
Senyuman maut yang selalu menggetarkan hati. Aku cepat-cepat menundukkan pandangan sambil melangkah ke dalam cafe. Dia berjalan di sampingku.
"Duduk di mana?" tanyaku sambil Duduk di mana?" tanyaku sambil memelankan langkah.
"Aku nurut saja," jawabnya.
"Di sana gimana?" tanyaku menunjuk meja paling ujung yang terdekat dengan pantai.
"Boleh," sahutnya.
Kami lalu berjalan ke meja itu. Seorang pramusaji sudah mengikuti.
"Silahkan, Kak. Ini menunya," ucap pramusaji itu sambil memberikan menu padaku.
Aku memilih minuman lebih dulu, setelah itu, kuberikan kertas yang berisikan daftar makanan dan minuman Cafe itu padanya. Sebentar saja, dia sudah memesan minuman pada pramusaji.
Setelah pramusaji pergi, aku dan Jasson beradu pandang beberapa detik. Lalu serentak memalingkan wajah sambil tersenyum. Lagi-lagi kita terjebak dalam suasana yang kaku dan salah tingkah.
"Mm..., Nay," panggilnya kemudian.Ya," sahutku.
Kami kembali beradu pandang. Sepertinya dia mulai serius. Aku grogi tiba-tiba. Apa yang akan dibicarakannya hingga kami harus pergi dari kampus hanya untuk ngobrol.
"Kamu marah?" tanyanya.
"Tidak," sahutku sambil menyembunyikan sedikit kecewa yang masih tersisa.
"Kecewa?" tanyanya.
Aku terdiam sambil menghela nafas. Apa yang harus kujawab? Jika kuungkapkan kekecewaanku, aku nggak berhak sedikit pun untuk itu.
"Kenapa memangnya?" aku balik bertanya.
"Aku ingin minta maaf," ucapnya tertunduk, nggak ada lagi senyum yang biasanya diperlihatkan padaku di bibir tipis itu.
"Untuk apa?" tanyaku masih pura-pura nggak tau agar aku tak terkesan kecewa di matanya.Karna aku berbohong soal agama padamu. Dan akhirnya kamu tau dengan cara seperti tadi, aku benar-benar minta maaf," ucapnya sambil mengangkat kepalanya lagi.
Pandangan kami kembali bertemu.
"Jujur aku memang nggak suka dengan pembohong, dan aku nggak habis pikir, entah untuk apa kamu menyembunyikan semuanya.
Berteman tidak harus seagama 'kan?"
pancingku.
"Karna aku ingin kita lebih dari sekedar teman," sahutnya menggoncangkan jantungku.Maksudnya?" tanyaku seperti orang bodoh.
Sekuatnya kusembunyikan rasa bahagia yang kemudian datang menyerang. Angan-angan menjadi kekasihnya pun kini terasa hampir nyata. Bagaimana ini? Bibirku begitu memaksa untuk bergerak membentuk senyuman, namun hingga detik ini aku masih sanggup menahannya dengan menggigit kuat-kuat salah satu sisi bibirku bagian dalam.
"Maaf, ini terlalu cepat kusampaikan. Harusnya bukan hari ini. Kita baru kenal, dan masih perlu menyesuaikan diri. Aku paham itu. Tapi karna ada kejadian tadi, aku nggak ingin menahan rasa ini terlalu lama. Aku ingin hubungan kita lebih serius dari sekedar teman." Wajahnya begitu serius. Aku kehabisan kata-kata untuk merespon pengakuannya. Dia benar-benar berani menyatakan semua itu secepat ini. "Ya, aku tahu, itu nggak mudah. Tapi aku terlalu takut kehilangan untuk yang kedua kalinya." Sambungnya lagi.
"Kamu pernah kehilangan?" tanyaku disela-sela rasa bahagia yang menggerogoti jiwa. Untung saja ada topik yang bisa kutanyakan padanya dari pada aku hanya diam mematung mereda rasa bahagia.
Aku masih nggak nyangka, lelaki tampan yang diam-diam juga kukagumi ketampanannya ini begitu cepat menyatakan semua itu padaku.
"Ya, dan sakitnya masih terasa," sahutnya. Wajahnya kini berubah sedih.
"Aku tahu rasanya, karna akupun juga masih menyimpan luka dari masa laluku."
Aku pun jadi ingat dengan Gilang. Seseorang yang begitu kupercayakan hatiku padanya, dan ternyata semua sia-sia, setelah aku menantang ajaran umi dan abi bahkan agamaku sendiri. Tapi saat itu aku belum berhijrah. Aku pacaran seperti remaja lain yang ada di lingkunganku. Untung saja umi dan abi tidak mengetahuinya.
Sekarang, ketika aku sudah
memantapkan diri untuk lebih dekat dengan Allah, ujian ini kembali datang. Bahkan dari orang yang tak seiman. Bagaimana mungkin aku bisa menerimanya?