"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
“Tuan, maafkan saya,” ucap Salman sambil membungkukkan badan.
“Aku maafkan. Tapi aku tidak suka kinerja pelayanan seperti ini. Bukankah semua tokoku sudah dilengkapi CCTV? Kenapa bawahanmu menuduh orang sembarangan? Seperti inikah pelayanan pada pelanggan?” Jefri berkata dengan nada dingin, namun penuh intimidasi.
“Mohon maaf atas kelalaian saya, Tuan.” Suara Salman gemetar, tatapannya tajam tertuju pada kasir yang tadi melayani Hana.
“Tuan, maafkan saya… saya tidak tahu kalau Tuan pemilik toko ini.” Kasir itu menunduk, kesombongannya runtuh seketika. Mungkin inilah akhir dari kariernya.
“Ambil gaji terakhirmu hari ini. Kalau tidak suka, silakan laporkan ke polisi.” Nada Jefri datar, hampir tanpa emosi, tapi jelas itu adalah keputusan yang tidak bisa diganggu gugat. Melapor ke polisi? Siapa kasir itu, dan siapa Jefri…
“Baik, Tuan. Terima kasih.” Kasir itu menunduk, mungkin baru kali ini ia mengucapkan terima kasih karena dipecat.
“Maafkan saya, Tuan,” kembali Salman meminta maaf.
“Sudah cukup. Kemasi baju yang diambil ini.” Jefri memberi perintah tegas. Dengan tangan gemetar, Salman mengemasi barang yang dipilih Hana.
Sementara itu, Sinta terpesona melihat Jefri. Keren sekali Om ini… beruntung sekali si Hana itu. Aku harus merebutnya. Sinta kembali bertekad untuk merebut apa pun yang dimiliki Hana. Baginya, Hana harus berada di bawahnya. Penderitaan Hana adalah kebahagiaan baginya, dan kebahagiaan Hana adalah penderitaan baginya.
“Hana, aku nggak nyangka kamu menjadi wanita murahan.” Riko menatap Hana dengan pandangan hina.
“Iya, aku nggak nyangka kamu sekarang jadi simpanan suami orang.” Sinta tak mau ketinggalan untuk memojokkan Hana.
“Hana, ayo kita pergi. Biarkan baju-baju ini dikirim ke rumah kita.” Jefri sama sekali tidak menanggapi ocehan dua bocah ingusan yang menurutnya tidak penting.
“Hey, tunggu! Mau ke mana kau?” Riko menghadang Jefri yang sedang menggenggam tangan Hana, seolah pasangan kekasih yang tak ingin terpisah.
“Minggir.” Jefri berkata dengan nada dingin.
“Hana akan ikut denganku!” Riko masih berdiri menghadang.
“Minggir.” Ucap Jefri lagi, suaranya datar namun penuh tekanan.
“Kembalikan Hana padaku!” Riko keras kepala, tetap berdiri menghalangi Jefri.
Bugh! Sebuah pukulan mendarat telak di rahang Riko. Ia terjungkal, kepalanya terasa berputar-putar. Sementara itu Jefri berjalan tenang sambil menggandeng tangan Hana.
“Keren sekali…” ucap Sinta kagum melihat sosok Jefri.
“Sinta! Kenapa kamu nggak bantu aku?” Riko berusaha bangun dengan tertatih, tangannya menahan sakit di kepalanya
“Kamu kenapa bisa kalah sih? Dia kan lebih tua darimu.” Sinta tampak kesal, sama sekali tidak menunjukkan empati.
“Sialan! Akan kubalas dia!” Riko menggeram, matanya penuh amarah. Ia bertekad untuk membalas lelaki itu.
Brummm… Sebuah mobil Lamborghini melintas di depan Riko. Sepintas ia melihat siluet wajah Hana di balik kaca.
“Apa kamu masih mau berurusan dengan orang seperti itu?” Sinta menatap mobil mewah yang baru saja lewat, suaranya meremehkan sekaligus mengingatkan.
“Alah, paling juga nyewa. Nggak mungkin Hana bisa bahagia kalau jauh dari aku,” ucap Riko penuh percaya diri.
“Kalau menurutku, itu memang mobil miliknya. Lihat saja, toko sebesar itu saja dia bilang kecil. Jasnya Armani, jam tangannya Hublot—harganya bisa sampai tujuh puluh miliar. Jelas dia orang superkaya,” Sinta justru memuji Jefri.
“Kenapa kamu malah muji dia? Apa jangan-jangan kamu suka sama dia?” Riko menatap Sinta dengan wajah kesal.
“Kalau perempuan bilang begitu, artinya kamu harus bisa lebih dari dia,” jawab Sinta, masih terpaku pada Lamborghini yang perlahan menghilang dari pandangan.
Sinta menarik napas berat. “Aku harus mendapatkan dia…” gumamnya, terus memotivasi diri sambil membayangkan Jefri sebagai incarannya.
“Ayo kita pulang,” ucap Riko datar, lalu berjalan meninggalkan Sinta.
“Bang, tunggu aku!” Sinta kesal ditinggal saat ia masih larut dalam lamunannya. Ia berlari kecil dengan sepatu hak tinggi, hampir terjatuh sebelum akhirnya berhasil masuk ke mobil.
“Kenapa sih ninggalin aku begitu aja?” Sinta duduk dengan wajah merengut.
“Lihat saja tuh om! Apa kamu juga mau jadi simpanan om-om?” Riko menyalakan mesin mobil dengan emosi. Ia gagal membujuk Hana, kena bogem mentah pula, sementara Sinta sama sekali tak peduli.
Riko mengantar Sinta pulang ke rumah. Di halaman, tampak Handoko sedang mengenakan sarung sambil mengurus burung kenari kesayangannya.
Riko masih dengan wajah masam mengantar Sinta, lalu duduk di teras.
“Eh, Nak Riko…” sapa Handoko sambil membetulkan sarungnya, kemudian ikut duduk berhadapan dengan Riko.
Tak lama, Mirna datang membawakan kopi.
“Nak Riko, kebetulan kamu datang. Ada hal yang ingin Ibu sampaikan,” ucap mirna sambil menatap Riko, yang terlihat masih kesal.
Riko mulai curiga. Menurutnya, sikap mirna—calon ibu mertuanya—pasti ada udang di balik batu.
“Ya, Bu. Apa yang mau disampaikan?” tanya Riko hati-hati.
“Begini, Nak Riko… keluarga Ibu, keluarga Bapak, teman-teman Sinta, dan tetangga di sini jumlahnya sekitar tiga ratus orang. Mereka semua mau hadir ke hotel menyaksikan resepsi kalian.”
“Kenapa banyak kali, Bu?” Riko kaget.
“Itu belum termasuk teman arisan Ibu yang belum memastikan datang,” tambah Mirna tenang.
“Jadi… tiga ratus itu jumlah minimal, Bu?” Riko mulai berkeringat dingin. Kabar itu berarti ia harus menambah jumlah konsumsi. Padahal, jatahnya hanya tiga ratus orang: seratus untuk keluarga dia, seratus untuk keluarga Sinta, dan seratus untuk tamu kehormatan seperti pengusaha dan pejabat.
“Tidak bisa, Bu. Jatah Ibu seratus orang saja,” Riko langsung menolak.
“Ah, tidak bisa begitu, Nak Riko. Semua sudah Tante undang.” Wajah Mirna tampak murung.
“Tenang, Bu… Bang Riko akan menambah jatah.”
Sinta muncul, kini sudah berganti baju dengan daster pendek. Ia berkata sambil memegang perutnya.
Riko langsung menangkap kode itu. Ancaman. Kalau ia menolak, reputasinya bisa hancur di depan keluarga besar.
“Saya usahakan, Bu,” ucap Riko akhirnya, meski kepalanya berdenyut pusing.
“Mereka butuh transportasi juga, jadi Nak Riko harus menyediakan,” tambah mirna menatapnya dalam-dalam.
“Tenang saja, Bang Riko banyak yang bisa diurus,” Sinta cepat-cepat menjawab, seolah ikut mengatur, sementara Riko hanya terdiam. Kepalanya semakin berat.
Dulu, saat bersama Hana, membicarakan konsep pernikahan terasa menyenangkan. Tapi kini, semuanya berubah jadi tekanan yang mencekik.
Riko tak mau berlama-lama. Akhirnya ia pulang, meninggalkan rumah Sinta.
“Mampus… mampus…” gerutunya sambil memegang setir. Sesekali tangannya memukul-mukul kemudi, menyalurkan amarah yang menyesakkan dada.
Keluarganya sama sekali tidak peduli dengan pesta pernikahan mewah, apalagi di hotel. Mereka memang kaya—tanah banyak, kontrakan berderet—tapi tipikal kaya kampung. Mereka lebih suka menggelar hajatan di rumah atau di balai warga, karena bisa menampung banyak orang sekaligus.
Sedangkan Sinta… dari keluarga sederhana, justru menginginkan pesta mewah di hotel.
“Apa aku batalkan saja pernikahan ini?” gumam Riko.
..
Sementara itu, di dalam mobil Lamborghini, Hana dan Jefri duduk dalam diam. Suasana begitu kaku, hanya suara mesin yang terdengar.
“Jangan kira aku peduli,” ucap Jefri akhirnya, nadanya dingin dan acuh.
“Tenang saja, aku juga nggak mau dipeduliin,” balas Hana datar tanpa menoleh.
Jefri menatap jalan lurus ke depan. “Jangan karena kamu dekat dengan Felix, kamu pikir bisa memanfaatkan aku.”
Hana mendengus kecil. “Pecat saja saya, Bos. Aku juga, kalau bukan karena Felix, nggak akan terima pekerjaan kayak gini. Gaji besar tapi bosnya arogan, sombong, dan menyebalkan.”
Jefri hendak membalas, tapi tiba-tiba ponselnya berdering. Ia menoleh sekilas ke layar, wajahnya mendadak berubah.
Suara panik terdengar dari seberang.
“Tuan… Felix kecelakaan!”
secepatnya pasti terkuak dan Andri gak jadi sama Hana deh 😅😅