Rose dijual.
Bukan dalam arti harfiah, tapi begitulah rasanya ketika ayahnya menyerahkannya begitu saja pada pria terkaya di kota kecil mereka. Tuan Lucas Morreti, pria misterius dengan gelar mengerikan, suami dari seratus wanita.
Demi menutup hutang dan skandal, sang ayah menyerahkan Rose tanpa tanya, tanpa suara.
Ia dijemput paksa, dibawa ke rumah besar layaknya istana. Tapi Rose bukan gadis penurut. Ia arogan, keras kepala, dan terlalu berani untuk sekadar diam. Diam-diam, ia menyusup ke area terlarang demi melihat rupa suami yang katanya haus wanita itu.
Namun bukan pria tua buncit yang ia temui, melainkan sosok tampan dengan mata dingin yang tak bisa ditebak. Yang lebih aneh lagi, Tuan Morreti tak pernah menemuinya. Tak menyentuhnya. Bahkan tak menganggapnya ada.
Yang datang hanya sepucuk surat:
"Apakah Anda ingin diceraikan hari ini, Nona Ros?"
Apa sebenarnya motif pria ini, menikahi seratus satu wanita hanya untuk menceraikan mereka satu per satu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GazBiya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua pria
Lucas menuangkan anggur termahal yang ia miliki. Cairan merah berkilau dalam cahaya lilin. Tobias, meski mencoba menahan diri, beberapa kali ia meliriknya.
“Silakan, Tuan Tobias,” ucap Lucas tajam.
Pria bengis itu mengangguk pelan, meraih gelas kristal yang indah. Ia meneguknya, merasakan kenikmatan anggur berusia ratusan tahun, lalu berucap dengan nada penuh selidik.
“Boleh aku bertanya, Tuan Morreti?” tanyanya, melempar tatapan datar. Lucas menatapnya tajam dari balik topeng, tanpa menjawab.
Namun Tobias tetap melanjutkan pertanyaannnya. “Kenapa kau menutupi wajahmu? Bahkan suaramu pun dibuat palsu. Beberapa orang mungkin gentar pada topengmu, tapi aku justru ingin tertawa… itu seperti prilaku pengecut.”
Lucas menatapnya dingin. “Apa hanya untuk itu kau datang? Pertanyaan konyol.”
Tobias tersenyum miring. “Tidak. Itu hanya intermezzo. Aku di sini untuk mengatakan, Pergilah. Waktumu di Motessa sudah habis. Penguasa lama sudah kembali.”
Kata-kata itu bagai tamparan keras. Tapi Lucas sama sekali tak gentar. Ia justru tertawa kecil, getir dan menantang.
“Penguasa? Kau?” Lucas meneguk anggurnya, menatap Tobias dari balik topeng. “Begini saja, karena kita sama-sama pebisnis, mari jujur. Semua pembangunan itu menggunakan uang. Hitung semua uang yang sudah kuhabiskan, kembalikan semuanya, maka aku akan meninggalkan Motessa. Malam ini, bahkan seekor nyamuk Motessa pun berada di bawah atapku, mencicipi hidanganku.”
Tobias membeku. Dadanya bergemuruh, napasnya terputus. Tatapan mereka bertemu, saling menyalakan bara.
Dua lelaki. Dua kemarahan berbeda.
Yang satu menyimpan dendam masa lalu.
Yang satu menyimpan amarah karena singgasananya digeser.
Pesta di bawah bergemuruh dengan tawa.
Namun di atas sana, di balkon sepi itu, dua bayangan berdiri siap menerkam.
Tobias menelan ludahnya pelan. Seumur hidup ia selalu berdiri di puncak, dipuja, ditakuti, dianggap legenda. Namun kali ini… ada sesuatu yang membuatnya bergidik.
Anggur tua, cahaya lilin, dan pria bertopeng di hadapannya, semua memberi isyarat. Ia mungkin kalah dalam satu hal, kekayaan.
Pria itu masih muda. Sombong. Dan kaya raya.
Bukan masalah, pikir Tobias.
Setiap yang muda dan kaya bisa dibentuk. Bisa dijadikan pion. Bisa dijadikan boneka.
Ia meluruskan duduknya, lalu tersenyum seperti singa tua yang menyembunyikan taring. “Baiklah,” ucap Tobias datar. “Aku akui, kau membawa angin segar. Motessa sudah lama beku tanpa penguasa. Kau punya uang, aku punya nama. Kau punya pasukan, aku punya sejarah. Jika kita bersatu, Motessa tak akan tergoyahkan,” ucapnya manis penuh percaya diri, seakan-akan pria muda ini bodoh, padahal dia adalah darah daging nya, yang jelas memiliki pemikiran licik yang sama.
Lucas tidak langsung menjawab. Ia hanya memutar gelasnya perlahan, mendengar suara anggur berputar di kristal.
Dalam kepalanya, kata-kata Tobias bergaung, “aku punya nama, aku punya sejarah.”
Lucas tersenyum samar, namun di balik topengnya matanya berkilat dingin. Nama itulah yang dulu menghancurkan hidup ibuknya. Sejarah itulah yang membuat hidup ibuknya seperti dineraka.
Tatapan mereka bertemu sekali lagi. Tobias melihat seorang pemuda kaya yang bisa ia kendalikan.
Sementara Lucas melihat lelaki tua yang hanya tinggal menunggu waktu untuk dihancurkan dari dalam.
“Aku belum bisa menjawab sekarang,” ucap Lucas pelan, tapi penuh wibawa. “Kerja sama memang terdengar manis. Tapi aku orang yang perfeksionis. Aku tidak suka ada orang lain yang tahu kelemahanku… bahkan untuk hal kecil, seperti bangunan yang retak atau lantai yang kotor.”
Tobias mengangkat alis, mencoba menangkap maksud tersirat dari ucapan itu.
Lucas meneguk anggurnya sekali lagi, kemudian menatap pria itu dari balik topeng. “Untuk kerja sama ini… aku akan membuat pesta di Palazzo. Semua masyarakat Motessa akan menyaksikan. Mereka akan percaya, bahwa sang singa tua akhirnya berjalan seiring dengan bayangan baru. Dan tentu saja… mereka akan menelan mentah-mentah apa yang kita tunjukkan di panggung.”
Tobias tertawa panjang, suara beratnya bergema di dalam ruangan. Ia menepuk-nepuk lutut, merasa tersanjung. “Ha! Anak muda ini rupanya tahu benar caraku merayakan kejayaan. Kau tahu? Pesta selalu menjadi panggung di mana aku merajai Motessa. Lihat saja nanti, tuan Morreti, mereka akan kembali menyebut namaku.”
Sorot matanya berkilat penuh nafsu. Ia membayangkan dentuman musik, gelas anggur yang beradu, serta wanita-wanita cantik yang menari dalam balutan gaun berkilauan. Di kepalanya, pesta berarti pesta pora. Dan ia yakin, anak muda di hadapannya tentu tak kalah gila.
**
Bersambung!
Terima kasih sudah membaca kisah ini. Jangan lupa kasih bintang terbaik dan ulasan manis ya. Setiap komentarmu adalah seperti percikan api yang bikin semangatku menyala untuk terus menulis. Ayo, tulis pendapatmu, teorimu, atau bagian favoritmu_aku baca semuanya, lho!