“Tolong cabut paku di kepala kami! Tolong! Argh sakit!”
“Tolong aku! Paku ini menusuk otak hingga menembus batang tenggorokan ku! Tolong!”
Laila baru saja dimutasi ke wilayah pelosok. Dia menempati rumah dinas bekas bidan Juleha.
Belum ada dua puluh empat jam, hal aneh sudah menghampiri – membuat bulu kuduk merinding, dan dirinya kesulitan tidur.
Rintihan kesakitan menghantuinya, meminta tolong. Bukan cuma satu suara, tetapi beriringan.
Laila ketakutan, namun rasa penasarannya membumbung tinggi, dan suara itu mengoyak jiwa sosialnya.
Apa yang akan dilakukan oleh Laila? Memilih mengabaikan, atau maju mengungkap tabir misterius?
Siapa sebenarnya sosok bidan Laila?
Tanpa Laila tahu, sesungguhnya sesuatu mengerikan – menantinya di ujung jalan.
***
Instagram Author ~ Li_Cublik
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tolong : 32
Ular hitam itu berdiri tegak dengan kepala bak Cobra, bersiap hendak mematuk leher Laila.
‘Mati kau!’ Tangan Laila lebih cepat, menancapkan jarum suntik beracun bisa Ular Cobra penyembur khatulistiwa – tepat menusuk leher Ular hitam.
Laila membuang begitu saja jarum suntik yang tabungnya sudah kosong. Tangan kanannya mencekik batang leher Ular hitam. Saat belum puas, sebelah tangan kirinya ikut mencengkram badan Ular mulai lemas itu, memelintir layaknya memeras kain basah. Kemudian melempar ke dasar tubuh panjang tidak lagi bernyawa.
Dia mengetahui kalau hewan melata itu asli bukan jelmaan makhluk jadi-jadian. Ular berbahaya tersebut masuk ke dalam karung mayat korban terakhir setelah bidan Juleha sekitar tiga - empat bulan yang lalu.
Kemudian Laila kembali berenang ke dasar, kakinya menginjak lumpur, mulai berjalan di sela-sela karung berserak. Dia membuka lebar keistimewaannya, mencari dimana jasad berupa kerangka kelima korban kekejian Karsa serta sekutunya.
‘Itu Dia!’ Kembali ia berenang, berpegangan dari ujung karung ke karung lainnya, sampai mencapai pembungkus mulai lapuk – tanpa perlu menggunakan belati bisa ditarik tali yang berserabut.
‘Ajiz,’ katanya, setelah mengenali lewat aura tertinggal. Laila menarik karung jaring bercela kecil yang biasa untuk menampung bawang merah maupun putih.
Tanpa takut, jijik, maupun diserang rasa mual – sang bidan memungut tulang rusuk, tangan, tengkorak dan anggota tubuh lainnya, memasukkan ke dalam wadah yang dipegang tangan kiri. Terakhir mengambil paku ulir dan jimat dililit kawat tembaga warna emas yang lentur.
‘Dimana lagi lainnya?’ Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, dia harus cepat sebelum oksigen dalam tabung habis, dan juga mencemaskan keadaan Mia.
Tanpa diduga, tali pengikat karung terlepas, melayang ke atas seolah ada yang membuka dan membuangnya.
Netra Laila berbinar, ia dapat merasakan kehadiran Juleha, Wanti, Suli, Ineke dan Ajiz. ‘Terima kasih.’
Saatnya naik ke permukaan. Karung berisi kerangka manusia diikat pada punggung, talinya dikalungkan pada leher. Laila berenang ke tepian sebelum menyembulkan kepalanya ke permukaan.
Sayup-sayup terdengar seruan, bidan yang biasa mudah panik itu terlihat tenang meskipun badannya menegang. Dia merapat pada tepian sungai bertanah, terlindungi tumbuhan semak belukar yang menjulur ke permukaan air.
“Mia! Sedang apa kau disini?!”
Tubuh Mia menegang, matanya bergerak liar, dan ia menelan kasar air liurnya, menatap pria sebaya sang ayah yang bekerja mencari rumput untuk hewan ternak lurah Karsa, dan salah satu pengikut Mbah Suryo, pemuja Iblis.
“Nunggu Anto, Mang. Dia sedang menggembala Lembunya juragan Pram. Kami nanti hendak pergi menguras rawa-rawa di balik bukit yang airnya mulai mengering,” dustanya masuk akal.
Mamang yang memiliki sorot mata licik, serta akal bulus, menatap tengkuk dan kulit bahu Mia tidak tertutup baju dikarenakan kain cuci pakai itu sudah melar. Lidahnya menjilati bibir, karung berisi rumput masih separuh dijatuhkan beserta Arit.
Mendengar benda jatuh, Mia lantas menatap sosok mulai menurunkan celana kolor bertali sumbu kompor. Matanya terbelalak dan badan menggigil, jelas dirinya ketakutan, gesture tubuhnya seperti saat tengah mau digagahi Iblis Hanoman. “Ma_mang, mau apa?!”
“Ayolah, Mia. Jangan sok jual mahal, padahal kau barang bekas dan sering dijamah Tuan kita, masa sama saya enggan memberikan kenikmatan, mari sama-sama berbagi desah dan lenguhan.” Dia berlutut, menunduk menatap bangga pada pusaka yang sudah siap tempur.
“Kalau sampai Tuan Iblis tahu, Mamang bisa mati dibunuh dia!” Mia berusaha menakuti, seraya mengambil ancang-ancang hendak melarikan diri. Tidak mungkin berteriak apalagi memanggil Laila, hal tersebut sama saja mengundang bahaya lainnya.
“Ha ha ha ….” tawanya membahana sampai kejantanannya ikut bergetar. “Kau kira dirimu spesial? Tidak sama sekali! Kau hanya salah satu pemuas nafsunya, pemenangnya tetap bukan dirimu. Ibarat kata kau itu gundiknya!”
“Pergi!” Kaki Mia menendang mencoba melepaskan cekalan, kedua sikunya menahan beban tubuh yang setengah berbaring.
“Walaupun kurus, yang terpenting kau berlubang dan bisa memberikan rasa segar layaknya dahaga disiram air kelapa.” Tungkai kaki gadis remaja itu ditarik hingga pahanya menduduki lutut, siap merasai sesuatu lembab ditumbuhi bulu halus.
Cuih!
Mia meludahi pipi Mamang, tangannya menarik tumbuh putri malu, langsung saja duri halus menancap di telapak tangan. Mengesampingkan rasa sakit – dipukulkan batang berduri itu di lengan pria bejat.
Mamang tidak terima, dia mengayunkan tangan mau menampar kemaluan Mia. Tanpa dia tahu, seseorang keluar dari dalam air, dan mengendap-endap mendekatinya.
“Dasar tua bangka bau tanah!”
Jleb!
Arghh!
Pria setengah telanjang itu memekik keras, rasa sakit menyerang bahu belakang.
Laila mencabut belati sepanjang sejengkal tangannya. Saat itu juga kaki Mia menendang dada Mamang hingga terjengkang ke belakang dan menimpa semak-semak.
Wanita berpakaian selam itu lantas berlutut, mengacungkan belatinya dan menusuk tepat di tulang rusuk, lalu menggerakkan benda tajam tersebut seperti sedang menguliti hewan Kambing.
“Ka_u siapa? To_long!”
“Dewi kematianmu!” Ditariknya alat kemaluan pria mengerang kesakitan dan wajah mulai pias, serta sudut mata membasah. “Ini kan yang kau banggakan sehingga tanpa hati sering merusak gadis polos tak berdaya maupun janda miskin!”
Cress.
Arghh!
Hilang sudah bukti keperkasaannya, matanya melotot dengan sorot bergetar ngeri – memandang benda layu berikut dua bulatan sebesar kelereng jumbo sedang diremas-remas oleh wanita bak malaikat pencabut nyawa.
Napas Mamang pendek-pendek, dia kejang-kejang seperti Ayam disembelih, menggelepar di rerumputan, darahnya membasahi kaos, dan paha.
Mia terpaku, dia menahan napas, ada ketakutan pada bola matanya, menatap tak percaya pada sosok yang biasanya ramah, ceplas-ceplos, sedikit ceroboh, kini hilang seperti tak berbekas, seolah sifat dan karakter Laila sebelumnya cuma dongeng belaka.
Yang berdiri berjarak setengah meter dari Mia – sosok lain, matanya lebih hitam bagai awan mendung siap menurunkan hujan badai, aura membunuhnya sangat pekat.
Laila memandang bengis pria yang sudah sekarat, tak bisa bergerak jauh, cuma mampu berguling-guling. Melempar kemaluan dalam genggaman ke sungai.
“To_long!” Tangan Mamang menggapai angin.
“Baik, aku tolong dirimu mempercepat waktu kematian agar segera berkumpul dengan para Iblis di neraka!” Laila tersenyum culas, kakinya menginjak tempat dimana seharusnya ada buah zakar.
Ehek! Uhuk!
Mamang batuk dan muntah darah, badannya setengah terduduk. Dia merintih, menangis meminta pengampunan.
Laila membungkuk, menghujamkan belati di jantung, memutar benda berlumur darah itu agar lebih dalam lagi menembus hingga dada bagian belakang.
Seketika ruh tercabut dari raga, pria tidak bermoral mati ditangan wanita yang baru pertama kali ditemuinya.
“Harumnya.” Dihirup dalam-dalam benda yang baru saja dicabut dari jantung, ada rasa gatal pada kerongkongan, dan nafsu ingin merasai warna merah pekat berbau anyir.
“Ka_kak,” suara Mia seperti burung mencicit, dia yang sedari tadi duduk di atas tumbuhan tubuh putri malu, menatap takut.
Laila memandang lekat, tersenyum miring, belati masih dia pegang. “Tak perlu takut, sudah sewajarnya Iblis membunuh Iblis.”
Srek srek.
Laila yang telinganya sensitif, mendengar dedaunan kering diinjak.
"Siapa itu, Kak?"
.
.
Bersambung.
mampus kauu