NovelToon NovelToon
Pria Dari Belgia

Pria Dari Belgia

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Hasya

"Aku sudah lama tidak pernah merindukan siapapun. Karena aku tahu, rindu itu cukup berat bagiku. Tapi sekarang, aku sudah mulai merindukan seseorang lagi. Dan itu kamu..!"

Maarten tahu, hidupnya tak pernah diam. Dia bekerja di kapal, dan dunia selalu berubah setiap kali ia berlabuh. Dia takut mencintai, karena rindu tak bisa dia bawa ke tengah laut.

"Jangan khawatir, kupu-kupumu akan tetap terbang.
Meski angin membawa kami ke arah yang berbeda,
jejak namamu tetap tertulis di sayapnya"

Apakah pria dari Belgia itu akan kembali?
Atau pertemuan kami hanya sebatas perjalanan tanpa tujuan lebih?

(Kisah nyata)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Hasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HOTEL JAKARTA

Lampu-lampu klub mulai meredup perlahan. Musik pelan menggantikan dentuman keras yang sejak tadi mengiringi malam kami. Satu per satu orang mulai keluar. Beberapa masih tertawa, sementara yang lain tampak kehilangan keseimbangan karena terlalu mabuk. Aku melirik ponsel. Sudah lewat tengah malam. Bahkan mungkin hampir pukul tiga.

“Ya ampun... Udah malem banget...” gumamku sambil mengucek mata.

Maarten menoleh, lalu menatapku serius.

“Kamu nggak mungkin pulang sekarang. Terlalu larut.”

Aku mengangguk pelan, tanda setuju. Jalanan Jakarta di dini hari bukan tempat yang aman untuk perempuan pulang sendirian.

“Kalau kamu nggak keberatan, istirahat saja di hotelku. Tempatnya aman, dan lokasinya juga tidak jauh dari sini. Kamu bisa istirahat dengan tenang.”

Aku menatapnya. Sejujurnya, aku sempat ragu. Tapi dari caranya berbicara, tidak ada tekanan. Tidak ada maksud tersembunyi. Hanya tawaran tulus dari seseorang yang tahu batas dan menghargai ruang.

Akhirnya, aku mengangguk.

“Boleh. Tapi janji… Jangan nakal, ya.”

Maarten tersenyum kecil.

“Aku janji. Aku lebih suka bicara, daripada memaksa.”

Kami memesan taksi. Jalanan sudah jauh lebih lengang. Jakarta tampak seperti kota yang sedang tidur, menyisakan lampu jalan yang temaram dan beberapa kendaraan yang melintas pelan. Hotel tempat Maarten menginap ternyata cukup mewah, namun suasananya tenang, tidak mencolok. Begitu masuk, kami langsung naik ke lantai atas. Kamar itu menyambut kami dengan cahaya lembut dan aroma sabun hotel yang khas.

Aku duduk di sisi tempat tidur, melepas sepatu pelan-pelan. Maarten duduk di sisi lainnya, membuka jaketnya dan menggantungkannya di kursi. Sejenak kami diam, menikmati keheningan.

“Aku belum pernah sejauh ini sama orang yang baru aku kenal,” kataku pelan.

Maarten tersenyum hangat, menoleh padaku.

“Aku juga. Tapi kadang, hal yang paling bermakna justru datang dari hal-hal yang tidak direncanakan.”

“Maarten… Kamu selalu terlihat tenang.”

“Tenang di luar. Tapi kalau kamu bisa lihat isi pikiranku, kadang penuh kebisingan.”

Aku tersenyum, mendengarkannya dengan saksama.

“Dan kamu… kamu punya sesuatu yang tidak semua orang miliki. Ada sesuatu di dirimu yang membuatku ingin terus mengenalmu.”

Aku terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Maarten mendekat sedikit, tidak terlalu dekat, tapi cukup membuatku mendengar napasnya.

“Aku orang yang romantis, Kelly. Tapi aku juga tahu batas. Aku tidak ingin jadi seseorang yang datang sebentar lalu pergi meninggalkan luka. Selama kamu bersamaku, kamu akan baik-baik saja. Dan aku pastikan, kamu aman.”

Aku menatap matanya. Matanya tak hanya jujur, tapi juga penuh perhatian. Dan di momen itu, aku percaya padanya.

“Aku suka caramu bicara... Kamu membuatku merasa bukan hanya sebagai perempuan, tapi sebagai seseorang yang benar-benar dihargai.”

Ia menunduk sedikit, mendekatkan wajahnya padaku.

“Kamu layak mendapatkan itu. Bahkan lebih.”

Aku menutup mata sejenak. Lalu merasakan bibirnya menyentuh pipiku. Hangat. Lembut. Tidak menuntut. Aku membuka mata perlahan. Kami saling bertatapan. Lalu bibir kami bertemu sebentar dalam satu ciuman singkat, tenang, penuh makna. Tidak lebih.

Ciuman itu tidak terburu-buru. Seolah berkata, “Aku tidak butuh lebih dari ini. Aku hanya ingin kamu merasa aman.”

Setelah itu, kami tersenyum. Maarten bersandar ke belakang, menarik napas perlahan.

“Aku suka malam ini,” katanya.

“Aku juga,” jawabku.

Dalam keheningan kamar hotel, di bawah cahaya lampu hangat, kami kembali berbicara. Tentang masa kecil, negara asal, mimpi, dan hal-hal kecil yang belum pernah kami bagi kepada siapa pun sebelumnya.

Malam itu, kami tak membutuhkan lebih. Karena yang kami miliki sudah cukup untuk membuat dunia terasa hangat.

Kami duduk berdampingan di tepi tempat tidur. Lampu menyala lembut, memantulkan cahaya kekuningan di dinding. Di luar, kota benar-benar sunyi. Hanya suara AC dan detak jam digital yang terdengar hidup. Aku memegang botol air mineral dari minibar, memainkannya pelan. Sesekali, aku melirik ke arahnya. Maarten lalu memutar tubuhnya sedikit, menatapku, dan berkata, 

“Waktu kita di klub tadi… Aku lihat matamu sangat kosong.”

Aku menoleh, terkejut.

“Tapi kamu selalu tersenyum, berbicara seolah semuanya baik-baik saja. Tapi sorot matamu… tidak bisa berbohong. Aku bisa merasakannya.”

Aku menunduk, menggenggam botol lebih erat. Ia tak berhenti berbicara, tapi juga tidak memaksaku untuk menjawab.

“Aku salah ngomong, ya?” tanyanya lembut.

Aku menggeleng.

“Enggak. Justru kamu sangat peka.”

Ia tersenyum kecil dan mengambil posisi duduk lebih santai.

“Kamu merasa insecure?” tanyanya hati-hati.

Aku menarik napas pelan.

“Sedikit,” jawabku akhirnya.“Di klub tadi... semua perempuan terlihat sempurna. Langsing, percaya diri, seksi. Dan aku... ya begini. Rasanya seperti... aku nggak cocok berada di sana.”

Dia menatapku lama.

“Kamu tahu apa yang aku lihat pertama kali saat masuk ke bar itu?”

Aku menggeleng.

“Hanya kamu. Dari semua lampu, semua orang, semua suara... hanya kamu yang membuatku lupa pada keramaian itu. Kamu tidak berusaha menarik perhatian, dan justru itu yang membuatmu berbeda.”

Aku terdiam.

“Kamu tidak perlu menjadi siapa pun selain dirimu sendiri. Karena saat kamu menjadi dirimu yang sederhana, jujur, dan apa adanya... kamu jauh lebih menarik daripada mereka yang berusaha tampil mencolok.”

Aku mengalihkan pandangan, mencoba menahan hangat yang mulai naik ke pipi. Aku mendongak perlahan, menatapnya. Wajahnya dekat, namun tidak menekan. Tatapannya tenang, seolah ingin memelukku tanpa menyentuh.

“Terima kasih. Karena membuatku merasa cukup.”

Maarten tersenyum lembut. Lalu, dengan perlahan, ia menyentuh pipiku dengan punggung jarinya. Bukan karena ingin, tapi karena peduli.

“Kamu selalu cukup, Kelly. Bahkan saat kamu merasa tidak.”

Beberapa saat kami hanya diam. Tapi keheningan itu bukan kehampaan. Itu adalah keheningan yang bermakna.

Suasana kamar hotel berubah seperti pelukan itu sendiri. Bukan karena tempatnya hangat, tapi karena kami berhenti menjadi orang lain. Hanya dua orang asing yang menemukan rumah satu sama lain.

Aku bersandar di tempat tidur, kakiku ditekuk santai. Maarten masih duduk di tepi kasur. Lalu perlahan, tanpa bertanya, ia merebahkan kepalanya di pahaku. Aku sempat terkejut. Bukan karena risih, tapi karena momen itu begitu jujur.

Ia tidak mencoba mendekat sebagai lelaki. Ia hanya ingin merasa tenang. Dan malam itu, entah mengapa, pangkuanku adalah tempat ternyamannya.

“Kamu nggak marah, kan?” bisiknya pelan, seperti anak kecil yang takut ditolak.

Aku menggeleng sambil tersenyum lembut.

“Enggak. Kalau ini bisa membuatmu nyaman.”

Maarten mengangguk pelan. Kepalanya mulai terasa berat di pangkuanku, tapi juga terasa tenang. Tanganku reflek mengusap rambutnya perlahan. Ia memejamkan mata, jemarinya bermain dengan ujung selimut.

“Begini, ya... rasanya diperhatikan,” gumamnya lirih.

Aku menunduk, menatapnya.

“Kamu nggak pernah merasa diperhatikan?”

Ia membuka matanya setengah, lalu mengangguk kecil.

“Pernah. Tapi sudah lama... Terlalu lama.”

Aku tetap mengusap rambutnya, perlahan. Gerakanku tenang, bukan seperti seorang ibu pada anak, tapi seseorang yang ingin melindungi tanpa menguasai.

Maarten menarik napas panjang, lalu berbisik,

“Kadang aku ingin jadi anak kecil. Bukan karena ingin dimanja, tapi karena aku juga ingin tahu rasanya bersandar tanpa harus terlihat kuat sepanjang waktu.”

Kata-katanya langsung menembus dadaku. Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya membelai pipinya perlahan.

“Kalau kamu lelah, nggak apa-apa jadi anak kecil dulu. Aku siap jadi orang dewasa untukmu.”

Ia tersenyum kecil. Lalu memejamkan mata lagi.

“Kelly… Kalau kamu terus begini, aku takut terlalu nyaman.”

“Kenapa? Takut?”

“Karena kalau aku sudah nyaman… Aku sulit melepaskan.”

Aku terdiam. Tanganku masih mengusap rambutnya. Dan di titik itu, tidak ada niat untuk lebih. Tidak ada nafsu, tidak ada motif tersembunyi.

Hanya dua manusia...

Yang saling menemukan tempat teduhnya di malam yang sederhana.

Aku bisa merasakan napasnya melambat. Tubuhnya mulai benar-benar rileks. Seolah dunia akhirnya diam. Dan dia bisa tertidur, karena tahu ada seseorang yang menjaganya.

Dan aku tahu, meski kami belum lama saling mengenal, malam ini, kami sudah saling percaya....

1
Dewi Ink
syediih ka
Kelly Hasya: sudah baca sampe bab mana nih? hehee
total 1 replies
Kelly Hasya
pengen nangiiissss 😢😢😢
Kelly Hasya
😢😢😢😢😢😔
Kelly Hasya
😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭
Kelly Hasya
😭😭😭😭😭😭
Kelly Hasya
🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹
Kelly Hasya
Maarten pria yang istimewa 🌼🌼🌼
Kelly Hasya
Sedihhh 😭😭😭😭
Kelly Hasya
bikin nangiss 😭😭😭😭😭
Kelly Hasya
oke🌼🌼🌼🌼🌹
Kelly Hasya
mantapp
Kelly Hasya
keren 👍👍
Kelly Hasya
kelasss....
Kelly Hasya
kupu-kupu cantik 🌼🌼🌼
Kelly Hasya
kereeennn 🏆🏆🏆
Kelly Hasya
KEREN 🌼🌼🌼🌼🌼
Kelly Hasya
LUPAKAN MASA LALU 🌹🌹🌹🌹🌹
Kelly Hasya
Maarten dan Kelly cocok bangetttt🏆🍟
Kelly Hasya: 🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼🌼
total 1 replies
Kelly Hasya
mantap
Kelly Hasya
gak bosen bacanya❣️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!