Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Fitnah
...•••Selamat Membaca•••...
Karena kesal mendengar tawa Rayden, Maula mendorong pria itu hingga terjungkal dari motor dan mengambil alih motor tersebut.
“Tertawa saja sampai mampus di situ, aku mau pulang, dasar pria tua.” Maula melajukan motor menuju rumahnya dan meninggalkan Rayden sendiri di tepi jalan.
“Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran dia, dasar Piccola,” ujar Rayden dengan sisa tawanya dan menghentikan taksi.
Maula memarkir motor itu di halaman depan lalu memasuki rumah dengan penuh omelan tentang Rayden. Sofia yang sedang mengerjakan tugas di ruang tengah jadi takut menyapa temannya itu.
“You oke?” tanya Sofia dengan nada lembut.
“No. Pria tua, siluman rubah ala Spanyol mix Italia itu sudah membuat aku kesal. Dia menertawakanku,” geram Maula.
“Relax oke. Aku masak makanan untuk kamu, makanlah dulu.”
“Nanti saja, nungguin dia dulu. Oh iya, kotak obat yang kamu pakai semalam di mana?” Sofia kembali mengingat.
“Aku taruh di lemari itu.” Maula mengikuti arah tunjuk Sofia dan mengangguk, dia langsung masuk ke kamar untuk mandi dan ganti baju.
Rayden datang ke sana untuk mengambil motor setelah makan malam. Maula sampai ketiduran di ruang nonton menunggu dia.
“Tidak usah dibangunkan, aku hanya mau ambil motor saja.” Sofia mengangguk setelah membukakan pintu untuk Rayden.
Sofia kembali menutup dan mengunci pintu setelah Rayden meninggalkan rumah itu. Hingga pagi datang, Maula menggeliat dan kaget.
“Aku ketiduran, Sofia.” Sofia yang baru keluar kamar menghampiri Maula. “Semalam Rayden ke sini?” tanyanya lagi.
“Iya tapi dia ke sini hanya mau ambil motor dan pergi lagi.”
“Hah? Kenapa nggak bangunin aku?”
“Aku udah mau bangunin tapi dia ngelarang, katanya nggak boleh ganggu kamu tidur.” Maula merungut kesal lalu ke kamarnya, membanting kotak obat itu hingga isinya berserakan.
Suasana hatinya ke sekolah hari ini cukup rumit, panggilan dan pesan dari Rayden tak satupun dia balas.
...***...
Isabella duduk dengan elegan di sofa, dengan cangkir kopi di tangan lalu tatapan tajam.
“Jadi anak haram itu semakin dekat dengan Maula? Ini tidak bisa dibiarkan, aku perlu bicara dengan Leo.” Isabella sudah merencanakan hal yang bisa membuat Rayden menjauh dari Maula.
Archer baru saja pulang dari kantor, pekerjaan hari ini cukup berat baginya.
“Archer, duduk dulu.” Archer melonggarkan dasi dan duduk di hadapan ibunya.
“Ada apa Mom? Kalau masalah pulang ke Rusia, kita akan pulang tiga hari lagi, pekerjaanku masih banyak.” Isabella menaruh cangkir kopi di atas meja.
“Bukan itu, kita di sini saja dulu, lagian Mommy masih ingin berlama-lama di rumah ini.” Archer hanya mengangguk.
“Jadi? Mau bicara apa?”
“Bagaimana dengan hubunganmu dan Maula?”
“Dia tidak mencintaiku dan Victory sangat mencintai dia. Aku mendekati Maula hanya untuk membuat Victory bergerak cepat untuk mengungkapkan isi hatinya. Tapi, anak itu seperti memiliki rencana lain. Aku sempat bertengkar dengannya, susah sekali disadarkan.” Isabella terlihat kesal.
“Kenapa kau menyerah secepat ini?”
“Aku tidak bisa memaksa seseorang untuk menikah denganku. Victor menyukainya, tidak mungkin aku akan merebut gadisnya.”
“Tapi Archer, cinta itu butuh perjuangan.”
“Iya, aku mengerti tapi ini bukan hal yang tepat. Aku tidak mau lagi membahas hal ini Mom, aku lelah dan butuh istirahat.” Isabella terlihat begitu emosi, Archer tidak bisa dia andalkan sama sekali.
...***...
Dua minggu berlalu, Leo datang bersama dengan Maureen dan Thalia sedangkan Marlo tinggal bersama Eliza di rumah. Kegiatan sekolahnya cukup banyak dan tidak bisa ditinggalkan.
Di bandara, Isabella sudah menyambut Leo terlebih dahulu daripada Rayden. Dengan sikap ramah dan elegan, Isabella mengulurkan tangannya. Hal itu membuat Maureen dan Leo merasa janggal.
“Saya ibunya Victory dan Archer, saya sengaja menyambut kalian di sini atas permintaan Victory.” Leo mengangguk karena memang kedatangannya itu hanya diketahui oleh Rayden.
“Terima kasih karena sudah menyambut kami.”
“Ayo.”
Leo dan Maureen mengikuti langkah Isabella, Thalia sedari tadi tidur pulas dalam gendongan Leo.
Kali ini Isabella membawa Leo dan Maureen ke rumah megahnya, dia disambut dengan sangat hangat.
Mereka kini duduk saling berhadapan, Thalia tetap tidur dalam gendongan Leo tanpa terusik sama sekali. Pembicaraan ringan terjadi di antara mereka sampai Isabella mengutarakan betapa berbahayanya Rayden bagi Maula.
“Bukannya dia sudah berhenti menjadi mafia?” Isabella menggeleng.
“Belum Leo, dia masih menjadi bagian dari kami. Kehadiran Victory dalam organisasi ini sangat penting, tidak mungkin kami bisa melepaskan dia dengan mudah.” Leo mengepalkan tangannya, Isabella tersenyum melihat reaksi Leo.
“Mana dia? Saya ingin bertemu.”
“Oh dia sekarang sedang di kantor, bekerja. Bisnis bersih itu hanyalah sesuatu untuk menutupi bisnis gelap kami. Kalian tahu kalau Maula pernah ditembak bukan? Itu semua ulah dari musuh kami. Saya membawa kalian ke sini sekalian untuk meminta maaf karena telah membuat putri kalian terlibat.” Maureen terlihat gelisah, Leo paling tidak bisa melihat istrinya begitu.
Pembicaraan itu berakhir dengan makan bersama, sepanjang berada di rumah Isabella. Kondisi hati Maureen dan Leo tidak tenang, pikirannya terus berputar pada Maula dan Rayden.
...***...
Seperti biasa, Maula dijemput oleh Rayden pakai motor. Rayden benar-benar meluangkan waktu untuk Maula agar dia selalu ada di setiap hari gadis itu.
“Aku punya kejutan untukmu,” ujar Rayden, Maula menaruh dagunya di bahu kanan Rayden dan memeluk pria itu dari belakang.
“Apa?”
“Nanti saja.”
“Oke deh.”
Motor Rayden di ikuti oleh beberapa motor di belakang, seperti segerombolan geng motor. Mereka ada enam motor dan yang boncengan memegang tongkat besi.
Rayden dan Maula tidak menyadari hal tersebut, mereka asyik bicara dan saling tertawa. Ketika jalanan mulai sepi, mereka memacu dan menyamakan posisi dengan Rayden lalu memukul tongkat tersebut ke kepala Maula hingga motor itu oleng dan akhirnya terjatuh.
Rayden tidak diberikan kesempatan untuk berdiri, mereka menyuntikkan narkoba dosis tinggi sehingga Rayden limbung. Keduanya diseret saling menjauh, Rayden masih bisa melihat apa yang mereka lakukan pada Maula.
Maula berusaha melawan tapi tidak bisa sepenuhnya karena dia melawan begitu banyak pria. Tubuhnya terus dipukuli menggunakan tongkat besi hingga dia muntah darah.
Pandangan Rayden semakin mengabur lalu dia tak sadarkan diri. Maula terus dipukuli hingga dirinya terluka parah dan sebelum pergi, mereka menyuntikkan narkoba dengan dosis yang sama seperti Rayden pada Maula.
Lalu mereka berdua dibiarkan begitu saja di tepi jalan.
Cukup lama pertolongan datang, ada sekitar satu setengah jam.
Leo dan Maureen berlari di lorong rumah sakit ketika mendapatkan kabar kalau Maula kritis di rumah sakit. Thalia dijaga oleh Sofia di rumah, Maureen mulai pucat dan tak hentinya menangis.
Di balik kaca kecil pintu putih itu, Leo dan Maureen bisa melihat bagaimana Maula tidak berdaya di atas brankar. Begitu banyak alat terpasang.
“Bagaimana kondisi putri saya?” tanya Leo pada dokter yang baru keluar dari ruangan Maula.
“Dia mengalami pendarahan di kepala, cukup serius. Tangan, kaki serta tulang rusuknya patah. Kita berdoa saja supaya dia bisa keluar dari masa kritis ini. Obat yang dia konsumsi sangat fatal juga, dia menggunakan narkoba dengan dosis tinggi.” Maureen yang tadinya berusaha tegar, langsung jatuh pingsan. Untungnya cepat disambut oleh Leo.
Kondisi Rayden tidak terlalu parah, karena memang dia tidak dipukuli seperti Maula.
Isabella datang dengan wajah yang dia buat khawatir. Dia mendekati Leo terlebih dahulu, dan berkali-kali meminta maaf atas apa yang terjadi. Leo hanya diam dalam emosi yang teredam dalam dirinya.
“Seharusnya ini tidak terjadi, kami benar-benar tidak menyangka kalau Victory berkendara di bawah pengaruh narkoba. Musuh selalu mengintai kami, Leo.” Leo memalingkan wajah dan menghapus air matanya.
“Apa Rayden sering mengkonsumsi narkoba?” tanya Leo dengan suara berat.
“Itu bisnis kami, jelas dia menggunakannya.” Leo tak tahan lagi, jika Rayden di depannya, mungkin dia akan membunuh pria itu. Perih yang Leo rasa ketika melihat putrinya terbaring tak berdaya seperti itu.
...•••Bersambung•••...