NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8

Risa duduk di ruang tamu, memandangi halaman depan yang mulai diterpa cahaya matahari.

Laptopnya sudah tertutup. Naskah novelnya rampung satu bab, dan untuk pertama kalinya ia tidak tahu harus melakukan apa.

“Apa lagi yang aku lakukan sekarang…” gumamnya sambil bersandar.

Lalu ide itu datang begitu saja.

"Masak ayam bakar, kenapa tidak?"

Ia bangkit, melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan bumbu seperti ketumbar, Kunir, bawang putih, kecap, dan cabai merah. Tangannya cekatan, ingatan akan resep kesukaan Kirana membimbingnya.

Tak butuh waktu lama, aroma ayam bakar menyebar ke seluruh rumah. Risa memotret hasil masakannya dan memposting di media sosial serta platform jualannya:

“Ayam bakar homemade, baru matang. Siapa cepat dia dapat.”

Tak lama setelah postingan itu naik, notifikasi pesanan berdatangan.

@ Mbak Risa, saya pesan dua porsi, ya!

@ Saya repeat order tiga.

@ Bisa kirim jam makan siang, nggak?”

Risa tersenyum. Tangannya sibuk membalas pesan, tapi hatinya terasa hangat.

“Sepertinya ini bisa jadi kesibukan baru…”

Ayam bakar hari ini bukan hanya makanan, tapi juga awal dari semangat baru.

Baru saja Risa selesai mengemas beberapa porsi ayam bakar untuk pelanggan tetap, suara motor berhenti di depan rumah. Tak lama kemudian, suara ketukan pintu terdengar.

Tok! Tok!

Risa membuka pintu dan terkejut.

“Stefanus?”

“Hai. Aku lihat postingan kamu. Ayam bakarnya bikin aku ngiler,” ucap Stefanus sambil tertawa kecil.

Risa ikut tersenyum. “Masuk, dong.”

Stefanus masuk dan duduk di ruang tamu, aroma ayam bakar langsung menyambutnya.

“Langsung aja ya, aku mau pesan 100 ayam bakar untuk acara di kantor polisi besok. Bisa?”

Risa terperanjat. “100…? Kamu serius?”

“Serius. Aku pengen bantu kamu juga. Tapi yang utama, ayam bakar kamu emang enak. Warga kantor pasti suka.”

Risa masih mematung sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan, matanya berbinar.

“Baik, aku usahakan. Tapi butuh waktu dan persiapan. Aku nggak mau asal-asalan.”

“Itu yang aku suka dari kamu,” jawab Stefanus sambil tersenyum hangat.

Setelah percakapan itu, Stefanus pamit. Tapi langkah kakinya meninggalkan jejak semangat baru di hati Risa.

****

Pagi masih basah oleh embun ketika Risa melangkah keluar rumah dengan tas belanja di tangan.

Hari ini dia punya misi besar: mempersiapkan 100 porsi ayam bakar untuk pesanan Stefanus.

Ia menyusuri pasar tradisional dengan cekatan, menyapa beberapa penjual langganannya.

“Mbak Risa, banyak banget belanjanya hari ini,” ujar ibu penjual ayam sambil tertawa.

“Iya, ada pesanan khusus. Bismillah, semoga kuat masaknya,” balas Risa sambil tersenyum.

Ayam, bumbu rempah, kecap, cabai, dan berbagai bahan lain masuk dalam daftarnya.

Setelah semua bahan utama lengkap, ia berjalan ke sudut pasar yang menjual jajanan dan makanan ringan.

Matanya langsung tertuju pada satu gerobak kecil.

"Es buah kesukaanku… "

Tanpa ragu, Risa membeli satu porsi es buah dengan potongan melon, semangka, kelapa muda, dan sirup merah segar yang menggoda.

Ia duduk sebentar di bangku dekat gerobak, menikmati es buah sambil mengumpulkan energi.

Langit cerah, dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa hidupnya mulai terisi kembali.

“Terima kasih, Kirana,” bisiknya pelan. “Aku akan terus melangkah.”

Dapur rumah Risa mendadak ramai pagi itu. Panci-panci besar berjejer di atas kompor, wajan sibuk menggoreng ayam yang sudah dibumbui semalaman. Aroma rempah memenuhi udara.

Risa mengikat rambutnya ke atas, wajahnya sedikit berminyak tapi semangat terpancar dari matanya.

“Ris, bumbu yang ini sudah aku aduk rata. Ayamnya tinggal dimasukin,” ucap Bu Ratmi yang dengan cekatan membantunya di dapur.

“Makasih banyak ya, Bu. Kalau sendirian, bisa gempur aku.”

Bu Ratmi tertawa sambil mengelap tangan di celemek nya.

“Eh Ris, suami kamu nggak pulang? Nggak bantu masak nih?”

Risa berhenti sejenak, lalu menjawab sambil tetap mengaduk sambal:

“Mas Aditya masih ada di London, Bu. Katanya penerbangannya padat.”

Bu Ratmi mengangguk, walau gurat keheranan terlihat jelas.

“Wah, suami pilot ya gitu… sering nggak di rumah. Tapi kamu kuat ya, Ris. Hebat lho kamu.”

Risa hanya tersenyum. Senyum yang disisipi rindu, namun ditutupi dengan kesibukan.

“Saya cuma berusaha jalanin semuanya, Bu. Yang penting tetap waras.”

Keduanya tertawa, lalu kembali ke dapur. Di balik kepulan uap dan aroma sedap, ada perjuangan seorang istri yang mencoba tetap kuat, meski kesepian sering datang diam-diam.

Menjelang siang, ketika ayam bakar mulai masuk ke proses akhir pemanggangan, suara mobil berhenti di depan rumah.

Risa mengintip lewat jendela dan tersenyum kecil saat melihat Stefanus turun dari mobilnya sambil membawa kotak pizza besar.

Tok tok tok!

“Wangi banget dari luar,” ucap Stefanus begitu Risa membukakan pintu.

“Tapi aku bawain ini duluan buat kamu, biar nggak kelaparan.”

Risa tertawa kecil. “Kamu serius bawa pizza ke rumah yang lagi penuh ayam bakar?”

“Ya siapa tahu kamu bosan makan ayam. Ini buat kamu dan Bu Ratmi juga kalau mau.”

Dari dapur, Bu Ratmi langsung menyahut, “Bu Ratmi pasti mau!”

Semua tertawa.

Stefanus duduk di meja makan, Risa membawakan piring, dan Bu Ratmi datang dengan cepat sambil mengelap tangannya.

“Wah, anak muda baik banget. Pizza? Sudah lama Ibu nggak makan beginian.”

Stefanus mencicipi ayam bakar buatan Risa, dan matanya langsung membesar.

“Ris, ini enak banget! Serius. Bumbu dan kematangannya pas banget. Kantor pasti senang.”

Risa tersenyum malu-malu, merasa senang mendapat pujian tulus.

Mereka makan bersama sambil ngobrol santai, dan untuk sesaat, rumah itu terasa hangat penuh tawa, aroma makanan, dan percikan harapan.

Setelah semua ayam bakar selesai dimasak dan didinginkan, Stefanus berdiri dari kursinya dan menatap hasil kerja keras Risa dan Bu Ratmi.

“Ris, aku sudah minta anak buahku buat bantu ngepak semuanya. Kamu istirahat dulu aja,” ujarnya sambil tersenyum.

Tak lama, dua anggota polisi datang membawa kardus dan perlengkapan pengemasan.

Dengan sigap mereka membantu mengepak ayam bakar satu per satu, rapi dan siap didistribusikan.

Risa menatap mereka dengan mata berbinar. Rasanya seperti mimpi bisa menyelesaikan semuanya.

Stefanus menyodorkan amplop tebal berwarna cokelat muda.

“Ini bayaran kamu. Terima kasih ya, Ris. Rasanya semua pasti puas.”

Risa menerimanya dengan sedikit ragu.

“Kamu nggak perlu bayar sebanyak ini, Stef.”

“Ini bukan soal uang, Ris. Ini soal menghargai kerja kerasmu. Ayam kamu bukan cuma enak tapi penuh hati.”

Risa nyaris meneteskan air mata. Tapi ia menahannya, dan hanya tersenyum tulus.

Setelah semua selesai, Stefanus pamit dan membawa ayam-ayam itu kembali ke kantor polisi.

Di sana, dengan antusias ia membagikannya kepada rekan-rekan kerja.

“Ini dari temanku, Risa. Dijamin, ayam bakarnya bikin kalian pengen nambah!”

Baru saja Risa merebahkan diri di sofa, melepas penat setelah pagi yang sibuk, notifikasi pesan masuk ke ponselnya.

"Halo Mbak Risa, saya perwakilan dari manajemen RS Harapan Sehat. Kami tertarik dengan ayam bakar buatan Mbak. Apakah bersedia membuka kedai kecil di depan rumah sakit? Kami sediakan tempat dan fasilitas. Bisa kita diskusikan?"

Risa terbelalak, matanya membesar. Tawaran besar ini datang begitu cepat.

Ia bangkit, duduk dengan ponsel di tangan, merenung sejenak. Kedai sendiri. Peluang besar. Tapi… ada satu hal yang tak bisa ia abaikan.

"Aku harus minta izin Aditya… dia suamiku, meski semua ini seperti formalitas semata… "

Risa menulis pesan singkat:

[Mas Aditya, aku baru dapat tawaran untuk buka kedai ayam bakar di depan rumah sakit. Boleh aku ambil kesempatan ini?]

Setelah dikirim, ia menatap layar ponselnya lama. Tak langsung ada balasan.

Tapi dalam hatinya, ia tahu… keputusan ini bisa jadi titik balik hidupnya.

Tak lama setelah pesan itu terkirim, Risa menerima balasan dari Aditya.

[Terserah kamu, Ris.]

Pendek. Dingin. Seolah tanpa makna.

Risa menatap layar cukup lama, berharap ada kalimat tambahan. Tapi tak ada. Hanya itu.

Dengan napas berat, ia mengetik balasan kepada pihak rumah sakit:

[Terima kasih banyak atas tawarannya, tapi untuk saat ini saya belum bisa menerima. Semoga lain waktu ada kesempatan yang lebih baik.]

Setelah menekan tombol kirim, ada perasaan lega—meskipun juga sedikit perih.

Risa tahu ia bisa mengambil keputusan sendiri, tapi di dalam hatinya masih ada pertimbangan… tentang pernikahan yang dijalani atas dasar janji, bukan cinta.

Ia berjalan menuju meja tulis. Membuka laptop. Menatap layar kosong sejenak, lalu jari-jarinya mulai menari di atas keyboard.

Hari ini aku belajar bahwa tidak semua mimpi harus dikejar dengan terburu-buru. Terkadang, diam di tempat bukan berarti menyerah melainkan memberi waktu pada hati untuk memahami arah

Dan sekali lagi, ia membenamkan dirinya ke dalam tulisan. Satu-satunya ruang di mana ia bisa benar-benar menjadi dirinya sendiri.

Suara keyboard memenuhi kamar yang sepi. Risa menulis tanpa jeda, jari-jarinya seolah tak bisa berhenti.

Setiap kalimat yang keluar adalah curahan hati tentang harapan, tentang luka, tentang cinta yang tak pernah sempat tumbuh.

Beberapa kali ia menguap, tapi tetap melanjutkan. Ia ingin menyelesaikan satu bab lagi. Satu paragraf lagi. Satu kalimat lagi.

Tapi mata itu akhirnya menyerah.

Kepala Risa perlahan merebah di atas lengan yang bersandar di meja. Layar laptop masih menyala, dengan kalimat terakhir yang belum sempat disunting:

Kadang cinta datang bukan untuk dimiliki, tapi untuk memberi pelajaran tentang ketulusan.

Dalam diam malam yang sunyi, Risa tertidur pulas. Di antara huruf, mimpi, dan dunia yang tak pernah benar-benar bisa ia kuasai.

1
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!