Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Teman Lama
Anita meneruskan tujuannya menuju pom pengisian bahan bakar, wanita itu kehabisan bensin ditengah perjalanannya menuju tempat kerja.
Namun Anita kebingungan ketika harus mengisi bensin sendiri, dia tak menemukan SPBU yang dilayani oleh operator disekitar sini. Hanya SPBU self service yang Anita dapatkan. Kalau dia mencari lagi Anita khawatir mobilnya akan mogok di jalan.
Dengan penuh kebingungan Anita keluar sambil menatap linglung dispenser bensin yang tidak mencantumkan langkah-langkah pengisian.
Sontak hal itu membuat mobil di belakangnya antri panjang.
"Aduhhh... Bagaimana ini, apa aku boleh cari tahu dulu di internet? Tapi disini kan tidak diperbolehkan untuk menghidupkan ponsel" gumamnya berperang di dalam hati.
Tiba-tiba seorang lelaki turun dari mobil dan menghampiri Anita, pria itu menepuk pundak sang wanita untuk menawarkan bantuan.
"Permisi, Nona. Ada yang bisa saya bantu?"
Mendengar seseorang berseru di belakang, Anita lantas berbalik badan. Dia mendapati seorang pria berkemeja putih disana, Anita tak menyadari jika pria tersebut terkejut melihatnya.
"Begini Tuan, saya tidak mengerti cara mengisi bahan bakar ini. Apakah anda bisa--"
"Anita?"
Mendengar pria itu menyebut namanya seketika ia langsung menatap lekat wajah si lawan bicara, tetapi dia tidak bisa mengenali siapa lelaki ini.
"Maaf, apa anda mengenali saya?" Tanya Anita.
Lelaki itu pun melepas kacamatanya, lalu menunjuk wajahnya sendiri.
Satu detik
Dua detik
Tiga detik
Seketika Anita terbelalak kala menyadari siapa sosok tersebut.
"Baim?!!"
Si pemilik nama pun langsung tersenyum lebar saat Anita mengenalinya, tanpa bisa dicegah dia spontan memeluk wanita itu sebelum Anita bisa mencegahnya, dekapan tersebut menandai betapa rindunya dia pada sang teman lama.
"Jadi benar kau Baim? Astaga, aku hampir tidak mengenalimu!" Imbuh Anita tak menyangka.
"Hahaha.... Aku memang sangat berbeda sekarang, lebih tampan bukan?" Tanggapnya menaikkan satu alis ke atas.
Anita refleks memukul pelan sobatnya ini, kejahilan baim memang tidak pernah musnah meski dimakan usia.
"Bagaimana kabar mu?"
"Aku sangat baik, dan kau?"
"Sepertinya yang kau lihat aku juga baik" jawab Anita.
Percakapan penuh kerinduan itu harus terjeda saat mobil yang lain mengklakson mereka berdua.
"Tolong bantu aku dulu, aku kesulitan menggunakannya"
"Tentu, biar aku yang urus"
Baim pun menekan pilihan yang tertera pada layar monitor kemudian mengeluarkan kartu debitnya untuk melakukan pembayaran.
"Eh, pakai yang aku saja"
"Tidak usah, ini hanya bensin"
"Tapi kau mengisinya sampai 500 ribu!"
"Sstttt.... Jangan cerewet! Dasar betina" timpal Baim mengatai.
Anita pun mendengus meski dia tahu Baim cuma bercanda, tapi Anita tetap tak bisa apa-apa, baim tetap tak menerima uangnya.
Seusai kendaraan Anita diisi penuh wanita itu menunggu mobil Baim terlebih dahulu, barulah keduanya memutuskan untuk mampir ke salah satu kafe terdekat.
Sesampainya disana Baim maupun Anita berbincang sedikit sebelum masuk ke dalam kafe.
"Kau sungguh tidak sedang sibuk?"
"Santai saja, aku masuk siang"
"Sungguh? Kau tidak berbohong hanya karena ingin bertemu denganku kan?" Tatap Anita memicingkan mata.
"Haisss untuk apa aku sampai sebegitunya? Kau sendiri bekerja?"
"Ya, tapi tidak masalah jika masuk agak siangan. Aku juga baru pulang dari rumah saudara"
"Aku kira kau pengangguran sekarang" celetuk Baim.
"Mana ada, aku juga wanita karir tau!"
"Ya ya ya, ayo kita masuk"
Dan sepasang manusia itu pun meneruskan obrolannya di sana ditemani dengan segelas kopi dan roti.
Di dalam kafe yang cukup nyaman itu, Baim dan Anita duduk di sudut ruangan yang sedikit tersembunyi. Suasana tenang dengan alunan musik jazz membuat perbincangan mereka terasa hangat.
Baim menatap sahabat lamanya itu dengan senyum mengembang. Bagaimanapun, ia tidak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan Anita dalam situasi tak terduga seperti ini. Dulu, di masa sekolah, Anita adalah sahabat perempuan terdekatnya, bahkan sempat menjadi seseorang yang lebih dari sekadar teman dalam diamnya.
"Jadi, kau bekerja di bidang apa sekarang?" tanya Baim, mengaduk kopinya perlahan.
Anita tersenyum kecil. "Aku punya usaha di bidang kecantikan. Tidak besar, tetapi cukup stabil."
Baim terperangah kagum. "Wah, keren sekali! Aku bangga mendengarnya. Sejak dulu kau memang pintar membuat usaha. Tidak heran kalau kau sukses memiliki brand mu sendiri"
Anita tertawa kecil, cukup senang karena ada yang memuji usahanya. Ia buru-buru menyeruput kopinya untuk menutupi kegugupan yang perlahan muncul.
"Bagaimana denganmu? Dari penampilanmu yang rapi dan tenang ini, aku tebak... kau seorang profesional?" balas Anita, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Baim tersenyum bangga. "Aku seorang dokter sekarang. Spesialis bedah umum di rumah sakit kota."
Anita seketika membelalakkan mata. "Wah, sungguh luar biasa!“ ia sampai menutup mulutnya yang terbuka. “Astaga, Baim... Aku bahkan belum bisa membayangkan kau jadi dokter. Dulu kau nakal setengah mati di sekolah!"
Baim tertawa renyah, tawa khasnya yang dulu sering mengisi hari-hari masa SMA mereka. "Hidup itu harus berubah, Nita. Lagipula itu tidak mudah, butuh proses yang sangat panjang”
“Tentunya, kau hebat bisa melalui itu semua!”
Perbincangan mereka mengalir begitu saja, mengisi kekosongan yang telah lama tercipta di antara mereka. Namun, sesekali Baim menangkap raut wajah Anita yang seolah memendam sesuatu. Seperti ada kesedihan yang berusaha disembunyikan di balik senyumannya.
"Anita..." panggil Baim perlahan.
"Ya?" sahut Anita, meletakkan cangkir kopinya.
"Kau sedang memikir sesuatu? Kau terlihat sedikit berbeda. Kau memikirkan pekerjaanmu ya?" Tebak Baim.
Anita terdiam beberapa detik, lalu menggeleng cepat.
"Tidak ada apa-apa. Hanya lelah saja, mungkin," jawabnya singkat, dengan senyum dipaksakan.
Baim tidak langsung menanggapi. Ia tahu Anita cukup keras kepala dan enggan membuka diri jika belum merasa nyaman. Karena itu, ia memutuskan untuk tidak mendesak.
Mereka melanjutkan obrolan ringan tentang masa lalu, membahas teman-teman lama, kejadian-kejadian lucu di sekolah, hingga impian-impian mereka dulu. Sesekali mereka tertawa lepas, membuat seolah-olah waktu tidak pernah memisahkan mereka.
Namun, saat pembicaraan mulai mengarah pada kehidupan pribadi, Anita mendadak canggung.
"Kau sudah menikah?" tanya Baim dengan nada santai, meski di hatinya ada sedikit kegelisahan yang sulit dijelaskan.
Anita tersenyum, kali ini lebih getir. "Sudah."
"Baguslah," balas Baim, meskipun hatinya terasa berat. "Bagaimana suamimu? Aku belum pernah melihatnya, aku juga tidak tau kalau kau menikah karena kita sudah lama hilang kontak"
Anita menundukkan kepala, bermain-main dengan sendok di piring rotinya. Ia berusaha mencari jawaban yang tepat, namun kebenaran terasa terlalu pahit untuk diucapkan.
"Tidak masalah, aku juga mendapat pesan dari teman kita kalau kau sedang sibuk saat itu" jawab Anita memaklumi. "Namanya Arsen, kami sudah menikah dua tahun lebih"
Ada jeda aneh dalam kata-katanya, yang tidak luput dari perhatian Baim.
"Lalu apa kau sudah punya anak?" tanya Baim lembut.
“Sayangnya belum, dulu aku pernah hamil tapi tiba-tiba saja keguguran karena meminum obat yang diberikan dokter. Hingga saat itu aku belum lagi diberi kepercayaan untuk mengandung” jelas Anita bercerita.
“Astaga, aku turut berdukacita. Tapi kau pasti bisa melalui semua ini karena dukungan suamimu. Benar kan?
Pertanyaan itu membuat Anita membeku sejenak. Ia ingin berkata 'ya', ingin menunjukkan kepada dunia bahwa pernikahannya berjalan sempurna. Tetapi hatinya tidak mampu berbohong.
"Aku berusaha," jawabnya akhirnya.
Baim menatap Anita dalam-dalam, memahami lebih dari apa yang diucapkan wanita itu. Ia tidak menanyakan lebih lanjut, hanya menyentuh tangan Anita di atas meja sebagai bentuk dukungan tanpa kata.
"Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk kalian, kalau kau mau aku bisa mengenalkanmu pada dokter obgyn, dia temanku di rumah sakit sekarang" ucap Baim tulus.
Anita menatapnya sejenak, matanya sedikit berkaca-kaca. Sudah lama sekali ia merasa sendirian, memikul beban rumah tangga yang rapuh tanpa tempat bersandar.
"Terima kasih, Baim," balasnya lirih.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...
maaf y thor gak salah judul y
🤭