Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4: Di Antara Debu dan Kilau
Nayla menatap layar ponselnya dengan kening berkerut. Pesan dari Adit itu seolah menjadi bom waktu kecil di tengah jam kerjanya yang padat. Saya yang datang ke tempat Mbak.
Kalimat itu sederhana, tapi efeknya luar biasa bagi Nayla. Ia membayangkan mobil mewah parkir di depan rumah kontrakannya yang sempit, di mana jemuran pakaian dalam tetangga sering melambai-lambai tertiup angin. Atau lebih parah lagi, Adit datang ke kantornya. Kantor Nayla bukanlah gedung bertingkat kaca, melainkan sebuah ruko tiga lantai di kawasan pergudangan yang penuh debu truk kontainer.
Nayla mengetik balasan dengan cepat, jempolnya menari di atas layar yang sudah retak seribu di pojok kiri atas.
Nayla:
Jangan, Pak. Maaf, saya tidak bisa menerima tamu di rumah saat malam. Dan kantor saya bukan tempat yang nyaman untuk Bapak. Begini saja, kalau Bapak memaksa, kita bertemu di lobi gedung Graha Pena di seberang ruko tempat saya kerja jam 12 siang nanti. Hanya 10 menit, Pak. Saya tidak punya banyak waktu.
Nayla menekan send dengan perasaan campur aduk. Ia memilih lobi gedung sebelah karena tempatnya lebih layak dan ber-AC, setidaknya ia tidak akan terlalu malu jika ada rekan kerjanya yang melihat.
Adit:
Baik. Saya akan ke sana jam 12 tepat. Sampai ketemu.
Nayla menghela napas panjang, memasukkan ponselnya ke saku, dan kembali mengangkat tumpukan faktur.
Tepat pukul 12.00 siang, matahari Jakarta sedang garang-garangnya. Panasnya seolah mampu melelehkan aspal. Di kawasan pergudangan Jakarta Timur itu, debu beterbangan setiap kali truk besar lewat.
Sebuah Mercedes-Benz Maybach hitam membelah kemacetan jalanan industri itu bagaikan ikan paus yang tersesat di sungai keruh. Mobil itu begitu mencolok, mengkilap tanpa noda, kontras dengan truk-truk kusam di sekelilingnya.
Adit duduk di balik kemudi, matanya menyipit di balik kacamata hitam aviator-nya. Ia sedikit menyesali keputusannya menyetir sendiri tanpa sopir. Jalanan ini semrawut. Namun, rasa penasarannya terhadap wanita bernama Nayla ini mengalahkan kenyamanannya.
Ia memarkirkan mobilnya di pelataran Graha Pena. Satpam gedung itu buru-buru berlari membukakan pintu, sikap hormat yang berlebihan terlihat jelas hanya karena melihat logo mobil Adit.
Adit turun. Ia mengenakan kemeja biru muda yang digulung hingga siku dan celana bahan navy. Jam tangan Rolex Submariner melingkar di pergelangan tangannya. Ia melangkah masuk ke lobi, hawa dingin AC langsung menyambutnya.
Matanya menyapu lobi yang cukup ramai oleh karyawan yang hendak makan siang.
"Pak Adit?"
Sebuah suara lembut menyapanya dari arah samping.
Adit menoleh. Dan di sanalah wanita itu berdiri.
Nayla.
Jika sebelumnya Adit hanya membayangkan dari deskripsi ibunya, kini ia melihatnya dengan jelas. Wanita itu mengenakan seragam kemeja putih dengan logo perusahaan distributor di dada kiri, dipadukan dengan celana bahan hitam yang warnanya sudah sedikit memudar. Rambutnya diikat satu ke belakang dengan rapi namun sederhana. Wajahnya polos tanpa makeup tebal, hanya bedak tipis dan lipstik warna nude.
Ada gurat lelah di bawah matanya, namun tatapannya tajam dan jernih.
"Mbak Nayla?" tanya Adit memastikan.
Nayla mengangguk sopan, menjaga jarak aman. "Benar, Pak. Maaf membuat Bapak jauh-jauh datang ke daerah berdebu seperti ini."
"Panggil saya Adit saja," koreksi Adit, lalu mengulurkan tangan. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu."
Nayla menyambut uluran tangan itu sebentar—hanya ujung jarinya yang bersentuhan—lalu segera menariknya kembali. Tangan Adit terasa halus, tangan seorang yang memegang pena, bukan tangan kasar pekerja seperti dirinya.
"Silakan duduk sebentar, Pak... eh, Mas Adit," Nayla menunjuk kursi tunggu di lobi.
Mereka duduk berhadapan. Jarak sosial di antara mereka terasa begitu lebar meski fisik mereka hanya terpisah meja kaca kecil.
"Langsung saja ya, Mas. Waktu istirahat saya tidak banyak," ujar Nayla to the point. Ia merasa tidak nyaman dengan beberapa mata resepsionis yang curi-curi pandang ke arah Adit.
Adit tersenyum tipis melihat ketegasan wanita ini. Ia mengeluarkan sebuah amplop tebal berwarna cokelat dari saku celananya, serta sebuah paper bag kecil berlogo toko kue terkenal.
"Ini titipan dari Mama," Adit meletakkan amplop itu di meja, lalu mendorongnya pelan ke arah Nayla. "Mama bilang, ini tidak seberapa dibandingkan keselamatan nyawanya semalam. Di dalam ada sedikit uang tunai sebagai tanda terima kasih dan pengganti pulsa atau bensin Mbak semalam."
Nayla menatap amplop itu. Tebal. Sangat tebal. Mungkin isinya jutaan, atau bahkan belasan juta. Jumlah yang bisa melunasi tunggakan SPP Nando, membayar kontrakan tiga bulan ke depan, atau membeli sepatu baru.
Godaan itu nyata. Setan di kepalanya berbisik untuk mengambilnya. Ambil saja, Nay. Orang kaya ini tidak akan miskin kalau kamu ambil.
Tapi kemudian, wajah Nenek terbayang. Didikan keras neneknya yang selalu bilang, "Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Harga diri kita bukan untuk dijual."
Nayla menarik napas, lalu mendorong balik amplop itu ke arah Adit.
"Maaf, Mas Adit. Saya tidak bisa menerimanya," tolak Nayla tegas namun halus.
Adit tertegun. Alisnya terangkat satu. "Kenapa? Ini bukan uang haram, Nayla. Ini murni rasa terima kasih Mama."
"Saya tahu. Dan saya menghargainya. Tapi saya menolong Ibu semalam karena kemanusiaan, bukan karena saya mengharapkan amplop ini. Kalau saya terima uang ini, rasanya ketulusan saya semalam jadi ada harganya. Dan bagi saya, nyawa dan keselamatan Ibu Mas Adit itu tidak ternilai harganya."
Adit terdiam. Ia menatap lekat-lekat mata Nayla, mencari kebohongan atau taktik jual mahal. Tapi yang ia temukan hanya kejujuran yang keras kepala.
"Tapi Mama akan sedih kalau kamu menolak," Adit mencoba strategi lain.
"Sampaikan salam saya buat Ibu. Bilang saja saya sudah terima ucapan terima kasihnya. Itu sudah cukup," Nayla tersenyum. Senyum yang membuat wajah lelahnya terlihat manis seketika. "Doakan saja rezeki saya dan anak saya lancar dengan cara lain, Mas."
Adit merasa tertampar. Di dunia bisnisnya, semua orang punya harga. Semua jasa ada tagihannya. Tapi wanita di depannya ini, dengan pakaian kerjanya yang sederhana dan sepatu pantofelnya yang ujungnya sedikit lecet, baru saja menolak uang jutaan rupiah dengan senyuman.
Adit menarik kembali amplop itu dengan canggung. Ia merasa kerdil.
"Baiklah kalau itu prinsip kamu. Saya tidak berani memaksa," Adit kemudian menyodorkan paper bag kue. "Tapi tolong, terima yang ini. Ini bukan uang. Ini cuma cookies cokelat kesukaan Mama. Mama buat sendiri tadi pagi khusus buat... siapa nama anakmu?"
"Nando," jawab Nayla otomatis. Matanya berbinar mendengar kata 'cokelat'.
"Nah, buat Nando. Kalau kamu tolak uangnya, oke. Tapi kalau kamu tolak rezeki makanan buat anakmu, itu namanya mubazir, Nayla," Adit tersenyum, kali ini senyumnya lebih tulus dan hangat, menghilangkan kesan angkuh di wajahnya.
Nayla tertawa kecil. Pertahanannya runtuh oleh nama anaknya. "Kalau makanan, saya nggak bisa nolak. Nando pasti senang. Terima kasih banyak ya, Mas. Sampaikan juga terima kasih saya ke Ibu karena sudah repot-repot buatkan."
Nayla mengambil paper bag itu. Wangi mentega dan cokelat menguar dari dalamnya.
"Sama-sama," jawab Adit.
Nayla melirik jam dinding lobi. 12.15 WIB.
"Aduh, saya harus balik ke kantor, Mas. Absen masuk jam setengah satu," Nayla bangkit berdiri dengan tergesa.
Adit ikut berdiri. "Boleh saya antar ke kantor kamu? Mobil saya di depan."
"Nggak usah!" tolak Nayla cepat, lalu menyadari nadanya terlalu tinggi. "Maksud saya... kantor saya cuma di seberang jalan kok. Nggak perlu pakai mobil. Malu dilihat teman-teman."
Adit mengangguk mengerti. "Baiklah. Sekali lagi terima kasih, Nayla. Senang bertemu denganmu."
"Sama-sama, Mas Adit. Hati-hati di jalan."
Nayla membungkuk sopan, lalu berbalik dan berjalan cepat keluar lobi, menembus panas matahari, menyeberang jalan menuju ruko tuanya sambil memeluk paper bag kue itu erat-erat.
Adit masih berdiri di lobi, memandangi punggung Nayla yang menjauh. Ia melihat bagaimana wanita itu berlari kecil menghindari motor yang ngebut, bagaimana rambutnya bergoyang, dan bagaimana sepatu hitamnya yang solnya sedikit miring menapak aspal panas.
Ada rasa aneh yang menyusup di dada Adit. Rasa penasaran yang belum tuntas.
"Nayla..." gumamnya pelan.
Adit berjalan keluar menuju mobilnya. Saat hendak membuka pintu, matanya menangkap pemandangan di seberang jalan.
Di depan ruko kantor Nayla, ada gerobak pedagang batagor. Nayla berhenti di sana. Adit melihat wanita yang baru saja menolak amplop tebal darinya itu, mengeluarkan uang receh dari dompet kecilnya, membeli sebungkus batagor seharga sepuluh ribu rupiah, lalu memakannya dengan lahap sambil berdiri di pinggir jalan sebelum masuk ke kantor.
Hati Adit mencelos.
Wanita itu lapar. Wanita itu butuh uang. Tapi wanita itu punya harga diri setinggi langit.
Adit masuk ke dalam mobilnya yang dingin dan mewah, membanting pintu sedikit lebih keras dari biasanya. Ia melempar amplop cokelat itu ke jok samping dengan perasaan frustrasi yang tak ia pahami.
"Kita lihat seberapa kuat kamu bertahan, Nayla," bisiknya pada diri sendiri, sambil menyalakan mesin mobil yang menderu halus.
...****************...
Bersambung.....
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️