Gagal menikah!One night stand dengan pria asing yang tak dikenalnya.
Anggun terancam dijodohkan oleh keluarganya, jika dia gagal membawa calon suami dalam acara keluarga besarnya yang akan segera berlangsung.
Tapi secara tak sengaja berpapasan dengan pria asing yang pernah bermalam dengannya itu pun langsung mengajak si pria menikah secara sipil.Yang bernama lengkap Sandikala Mahendra.Yang rupanya Anggun tidak tahu siapa sosok pria itu sebenarnya.
Bukan itu saja kini dia lega karena bisa menunjukkan pada keluarga besarnya jika dia bisa mendapatkan suami tanpa dijodohkan dengan Darma Sanjaya.
Seorang pemuda playboy yang sangat dia benci.Karena pria itu telah menghamili sahabat baik Anggun tapi tidak mau bertanggung jawab.Pernikahan asal yang dilakukan Anggun pun membuat dunia wanita itu dan sekaligus keluarga besarnya menjadi berubah drastis dalam sekejap.
Akankah pernikahan Anggun berakhir bahagia?Setelah mengetahui siapa sosok pria itu sebenarnya?Atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mitha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Kala dan Anggun duduk dalam diam di dalam mobil, terjebak di tengah kemacetan akibat kecelakaan di persimpangan utama. Hujan deras mengguyur kota, menciptakan suara ritmis di atas kap mobil dan kaca jendela. Wiper terus bergerak, berusaha memberi mereka pandangan yang lebih jelas ke depan, tapi jalanan tetap penuh sesak dengan kendaraan yang hampir tidak bergerak.
Anggun menyandarkan kepalanya ke jendela, napasnya panjang dan berat. Acara amal tadi menguras energinya, dan sekarang kemacetan ini semakin membuatnya lelah. Tanpa sadar, matanya mulai tertutup, tubuhnya perlahan merosot di kursi.
Kala menoleh, memperhatikan wajah istrinya yang tertidur dengan damai. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar memperhatikan setiap detail dari wanita yang kini berstatus sebagai istrinya. Garis-garis halus di wajahnya yang lembut, bulu matanya yang panjang, dan bibirnya yang sedikit terbuka saat dia bernapas teratur.
Kala menghela napas panjang, mengalihkan pandangannya ke depan. Tapi matanya kembali tertarik ke arah Anggun. Ada sesuatu dalam dirinya yang mengusik. Sebuah perasaan asing yang tak pernah dia izinkan untuk masuk ke dalam hatinya.
Tanpa sadar, tangannya terulur, hendak menyelipkan rambut Anggun yang jatuh menutupi wajahnya. Tapi sebelum dia bisa menyentuhnya, Anggun bergerak dalam tidurnya dan kepalanya bersandar ke bahu Kala.
Kala terdiam.
Kejadian ini terasa terlalu intim. Padahal, pernikahan mereka bukanlah pernikahan yang didasari oleh cinta. Tapi kenapa sekarang dia merasa nyaman dengan kehadiran Anggun? Bahkan, ada keinginan dalam dirinya untuk tetap seperti ini lebih lama.
Hujan terus turun, membuat suasana di dalam mobil semakin tenang. Kala bisa merasakan hangatnya tubuh Anggun yang bersandar padanya. Pikirannya kacau. Haruskah dia membangunkannya? Atau membiarkan saja?
Tepat saat dia masih dalam dilema, Anggun menggumam pelan dalam tidurnya. Kala menajamkan telinganya, berusaha mendengar dengan jelas.
"Jangan pergi..." bisik Anggun dengan suara lirih.
Kala mengernyit. Kata-kata itu terdengar samar, tapi cukup jelas untuk membuatnya penasaran. Siapa yang Anggun maksud? Radit?
Sebuah perasaan tidak nyaman kembali menyelinap ke dadanya.
Kala menarik napas dalam, berusaha menekan perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya. Dia bukan pria yang mudah terbawa perasaan, tapi untuk pertama kalinya, dia merasa tersaingi.
Mobil di depan mereka mulai bergerak perlahan. Kala menegakkan tubuhnya dan menggoyangkan bahu Anggun pelan. "Bangun, kita akan segera jalan."
Anggun mengerjapkan mata beberapa kali, masih terlihat mengantuk. "Hmm...?"
"Kita hampir sampai di rumah," ujar Kala datar.
Anggun meregangkan tubuhnya, lalu menyadari bahwa dia bersandar pada bahu Kala. Dengan cepat, dia menjauh, wajahnya sedikit memerah. "Maaf... aku tertidur."
Kala meliriknya sekilas. "Tidak apa-apa."
Anggun menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan rasa canggung yang tiba-tiba muncul. "Hujannya masih deras, ya?"
"Iya," jawab Kala pendek.
Keheningan kembali mengisi mobil, hanya suara hujan yang terdengar. Kala masih bisa merasakan sisa kehangatan di bahunya tempat Anggun tadi bersandar. Rasanya aneh, tapi tidak sepenuhnya buruk.
Kala mengarahkan pandangannya ke jalanan yang mulai terbuka. Namun, pikirannya masih tertuju pada wanita di sampingnya.
Mungkin, hanya mungkin...
Dia mulai menyukai istrinya.
Derasnya hujan mengguyur atap mobil, menciptakan ritme yang monoton di tengah kemacetan yang tidak kunjung terurai. Lampu-lampu kendaraan di depan mereka tampak seperti barisan kunang-kunang yang enggan bergerak. Kala menekan jemarinya di kemudi, ekspresi wajahnya tak terbaca, sementara di sebelahnya, Anggun bersandar dengan mata terpejam, tubuhnya terlihat lelah.
Kala melirik sekilas ke arahnya. Biasanya, dia tak pernah tertarik untuk memperhatikan seseorang dalam diam, tapi kali ini berbeda. Wajah Anggun terlihat begitu tenang dalam tidur singkatnya, kontras dengan sikapnya yang selalu penuh kehati-hatian saat sadar. Beberapa helai rambutnya jatuh di pipi, dan bibirnya sedikit terbuka, napasnya teratur.
“Dia benar-benar lelah…” gumam Kala pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Matanya menelusuri wajah Anggun lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu yang mulai berubah dalam dirinya. Dia tidak tahu sejak kapan, tapi melihat Anggun kini memberinya perasaan yang tak biasa. Wanita ini, yang awalnya hanya bagian dari kesepakatan, kini perlahan mengisi ruang dalam pikirannya tanpa izin.
Kala mengalihkan pandangan ke jalan, mencoba mengusir kegelisahan aneh yang mulai menyelinap dalam dirinya. Tapi saat kilatan cahaya dari mobil lain menerangi kabin, dia bisa melihat dengan jelas bagaimana wajah Anggun semakin dekat. Tanpa sadar, tubuhnya bergerak mendekat, seolah ada magnet yang menariknya.
Namun tiba-tiba, Anggun bergumam pelan, matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka. “Hmm… kita masih terjebak?” tanyanya dengan suara yang sedikit serak.
Kala segera menjauh, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Ya. Sepertinya ada kecelakaan di depan.”
Anggun merenggangkan tubuhnya sedikit sebelum duduk tegak. “Berapa lama kita sudah di sini?”
“Sekitar tiga puluh menit.”
Anggun menghela napas, memijat tengkuknya yang terasa kaku. “Aku tertidur?”
Kala mengangguk. “Sepertinya kau memang kelelahan.”
Anggun tersenyum lemah. “Hari ini memang cukup panjang.”
Kala menatapnya, ada sesuatu dalam senyum lelah itu yang membuat dadanya terasa hangat. Ini pertama kalinya dia benar-benar memperhatikan bagaimana Anggun menjalani peran barunya sebagai istrinya di hadapan publik. Dia tak pernah menyangka bahwa seorang wanita yang dulu ia anggap tak penting bisa begitu menarik perhatiannya.
“Anggun…” panggil Kala tiba-tiba, membuat wanita itu menoleh padanya.
“Hm?”
Kala terdiam sejenak, ragu untuk mengucapkan apa yang ada di benaknya. Tapi entah kenapa, dia ingin tahu jawabannya. “Apa kau menyesal menikah denganku?”
Anggun tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Dia menatap Kala beberapa detik sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Jika kau bertanya pada Anggun yang dulu, mungkin jawabannya iya. Tapi sekarang… aku belum tahu.”
Kala mengernyit. “Belum tahu?”
Anggun mengangguk. “Aku tidak bisa mengatakan aku menyesal, karena dalam banyak hal, hidupku berubah. Aku bertemu dengan orang-orang baru, aku belajar banyak hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Tapi di sisi lain, aku juga kehilangan sesuatu dari diriku.”
Kala mengamati ekspresinya. “Apa yang kau kehilangan?”
Anggun menatap keluar jendela, matanya menerawang. “Kebebasanku.”
Kala terdiam. Dia tahu bahwa pernikahan mereka memang lebih kepada kontrak daripada cinta, tapi mendengar Anggun mengatakan hal itu membuat dadanya terasa sedikit berat. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi sebelum sempat berbicara, ponselnya bergetar di dashboard.
Kala melirik layar, melihat nama Maya terpampang di sana. Dengan ekspresi datar, dia mematikan panggilan itu tanpa pikir panjang.
Anggun memperhatikan itu, tapi memilih diam. Dia tidak tahu sejauh mana hubungan Kala dengan Maya, tapi melihat pria itu menolak panggilan dari wanita lain entah kenapa membuat hatinya terasa lebih ringan.
“Kala…” Anggun akhirnya memecah keheningan. “Aku tahu pernikahan kita bukan berdasarkan cinta. Aku juga tahu bahwa kau tidak harus repot-repot memedulikanku. Tapi… aku hanya ingin kau tahu bahwa aku ingin menjalani ini dengan baik.”
Kala menoleh, menatapnya dalam-dalam. “Apa maksudmu?”
“Aku tidak ingin pernikahan ini hanya menjadi sebuah transaksi.” Anggun menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum melanjutkan. “Aku ingin setidaknya ada kepercayaan di antara kita. Kau tidak harus mencintaiku, tapi aku ingin kau menganggapku ada.”
Kala merasakan sesuatu bergetar di dalam dirinya. Kata-kata Anggun menggema dalam pikirannya, membuatnya sadar bahwa selama ini dia memang mengabaikan perasaan wanita itu. Dia selalu menganggap pernikahan ini sebagai kewajiban, sesuatu yang harus dijalani, tapi tidak pernah dipahami.
Hujan di luar mulai mereda, dan perlahan, mobil-mobil di depan mereka mulai bergerak. Kala menarik napas dalam, lalu mengangguk. “Baiklah.”
Anggun mengerutkan kening. “Baiklah?”
Kala menatapnya sejenak sebelum berkata dengan lebih serius. “Aku akan mencoba. Untuk menganggapmu ada.”
Anggun terkejut mendengar kata-kata itu, tapi perlahan senyum kecil muncul di wajahnya. “Terima kasih, Kala.”
Kala tidak menjawab. Dia hanya menyalakan mesin dan mulai mengikuti arus kendaraan yang kini sudah mulai bergerak. Tapi di dalam hatinya, dia tahu satu hal—perasaannya terhadap Anggun perlahan mulai berubah.