Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.
Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.
Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.
Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.
Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.
Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. BICARA
Hari itu, matahari sudah merangkak tinggi ketika Emily, pengasuh kecil Cassandra, mendatangi ruang kerja Davian dengan langkah hati-hati. Ruangan itu sunyi, hanya denting halus arloji di dinding yang mengisi keheningan. Davian, yang tengah menekuni laporan bisnisnya, menoleh ketika ketukan pelan terdengar di pintu.
"Masuk," ucapnya singkat, suaranya dalam dan penuh wibawa.
Emily masuk dengan wajah ragu, seolah menyimpan sesuatu yang cukup penting. Tangannya menggenggam erat sisi rok seragamnya. "Sir ..." ia membuka suara dengan nada lirih. "Saya ingin melapor tentang Miss. Olivia."
Nama itu membuat Davian mengangkat alis. Sejak hari-hari terakhir, perhatian lelaki itu memang sering terikat pada sosok wanita yang dianggap oleh semua orang sebagai 'gila', namun di mata wanita itu, ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa ia abaikan.
"Ada apa dengannya?" tanyanya dengan nada tenang, meski sorot matanya menajam penuh perhatian.
Emily menarik napas sejenak. "Seharian ini Miss. Olivia tidak mau keluar dari kamar kecil Miss. Cassandra. Dia menjaga bayi itu, bermain dengannya, bahkan menidurkannya berkali-kali. Tapi ...." Emily menggantung kalimatnya, ragu-ragu melanjutkan.
"Tapi apa?" desak Davian.
"Dia menolak makan, Sir," jawab Emily lirih. "Sejak pagi hingga sekarang, setahu saya tidak ada makanan yang menyentuh bibirnya. Saya sudah membujuk, tapi dia hanya menggeleng. Katanya, dia tidak ingin meninggalkan Cassandra walau sesaat pun."
Kening Davian berkerut tipis. Ada rasa kesal yang samar, bukan kepada Olivia, melainkan kepada sikap keras kepala wanita itu yang seolah mengabaikan dirinya sendiri. Namun ada pula sesuatu yang lain, sesuatu yang menyerupai kekaguman terselubung, sebab meski tampak rapuh, Olivia mampu menyalurkan seluruh kasihnya pada bayi kecil itu.
Davian menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursi kerjanya. "Baik, aku yang akan mengurusnya," ucapnya mantap.
Emily menunduk hormat. "Baik."
Dengan langkah tegap, Davian meninggalkan ruang kerja. Ia memberi instruksi singkat kepada pelayan untuk menyiapkan makanan hangat. Beberapa menit kemudian, nampan berisi semangkuk sup ayam, sepotong roti hangat, dan segelas air putih ia bawa sendiri. Tidak ia serahkan pada pelayan. Untuk alasan yang tak ia ungkapkan, Davian merasa bahwa hal ini harus ia lakukan dengan tangannya sendiri.
Lorong menuju kamar Cassandra hening. Setiap langkah Davian terdengar bergema ringan di lantai marmer. Pintu kamar itu setengah terbuka, dan dari celahnya ia melihat pemandangan yang membuat dadanya terasa hangat: Olivia sedang duduk di kursi goyang, memeluk Cassandra yang tertidur di dadanya. Rambut hitam panjangnya terurai, sebagian menutupi wajah pucatnya. Namun sorot matanya berkilau lembut ketika menatap bayi kecil itu.
Davian terdiam sejenak di ambang pintu. Ada sesuatu yang menohok hatinya, pemandangan itu begitu indah, begitu murni. Seolah Olivia bukan lagi wanita yang selama ini disebut 'rusak' atau 'gila'. Seolah ia hanyalah seorang ibu muda yang utuh, yang seluruh hidupnya terikat pada senyuman dan tangis seorang bayi.
Pelan, ia mengetuk pintu. "Olivia?"
Wanita itu mengangkat wajahnya. Matanya bertemu mata Davian, dan hanya itu. Ia tidak menjawab. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya tatapan diam yang entah kenapa membuat Davian merasa diselidiki hingga ke dasar jiwanya.
Davian masuk, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak membangunkan Cassandra. Ia meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang, lalu berdiri di depan Olivia. "Kau belum makan," katanya datar, namun suaranya lembut.
Olivia hanya memeluk Cassandra lebih erat. Tatapannya tak bergeser.
"Aku bilang, kau belum makan?" ulang Davian, kali ini sedikit lebih tegas.
Wanita itu menggeleng perlahan. Gerakan kecil, nyaris seperti anak kecil yang keras kepala menolak perintah orang tua.
Davian menahan helaan napas. "Olivia," panggilnya sekali lagi, nada suaranya kini sarat kesabaran. "Jika kau terus begini, tubuhmu akan jatuh sakit. Cassandra tidak membutuhkan seorang wanita yang sakit untuk menjaganya."
Namun Olivia kembali hanya diam. Matanya jernih, tetapi keras kepala.
Davian akhirnya mengambil keputusan. Perlahan, ia menunduk dan meraih Cassandra dari gendongan Olivia. Wanita itu sempat menahan, tetapi Davian lebih kuat. Cassandra berpindah ke lengannya, tidur dengan tenang tanpa terusik.
Mata Olivia membesar, wajahnya memucat, seolah dunia di sekelilingnya runtuh dalam sekejap. "Tidak ...," bibirnya bergerak tanpa suara, hanya sebuah lirih nyaris tak terdengar.
Davian menatapnya dalam-dalam. "Makanlah," ucapnya pelan namun penuh penekanan. "Jika kau tidak makan, maka aku tidak akan mengizinkanmu menggendong Cassandra lagi."
Sorot mata Olivia berubah seketika. Dari diam penuh keteguhan, kini tampak seperti anak kecil yang dipaksa menyerahkan mainan kesayangannya. Wajahnya menegang, bibirnya mengerucut, matanya berkilat kesal. Namun di balik semua itu, jelas ia tidak berdaya.
"Olivia," ulang Davian dengan suara rendah. "Makanlah."
Dengan wajah masam, Olivia akhirnya bangkit. Langkahnya berat menuju meja kecil. Ia duduk, meraih sendok, dan mulai menyuapkan sup hangat itu ke mulutnya. Gerakannya lambat, penuh enggan, dan sepanjang waktu matanya tidak pernah lepas dari Cassandra yang kini berada di gendongan Davian.
Davian berdiri bersandar di dekat ranjang, mengayun Cassandra perlahan, matanya sesekali melirik ke arah Olivia. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya melihat wanita itu makan sambil melirik marah, seolah takut bayinya diambil orang.
"Tenanglah," ucap Davian lembut, seakan menjawab kegelisahan dalam sorot mata Olivia. "Cassandra tidak akan kemana-mana. Tidak ada seorang pun yang akan mengambilnya darimu lagi."
Kata-kata itu membuat tangan Olivia yang memegang sendok terhenti sejenak. Matanya berkaca, tetapi kali ini bukan karena amarah, melainkan karena rasa lega yang samar. Ia menelan suapan sup, lalu melanjutkan makan.
Davian tersenyum tipis. Dalam diam, ia merasa bahwa ada sesuatu yang baru saja tumbuh di antara mereka, sesuatu yang tak bisa ia namai, tapi begitu hangat.
Suapan demi suapan masuk ke mulut Olivia. Meski wajahnya masih menampilkan guratan enggan, Davian dapat melihat bagaimana wanita itu perlahan mulai menyerah pada kebutuhan tubuhnya sendiri. Aroma sup ayam yang hangat memenuhi udara kamar, bercampur dengan wangi lembut bedak bayi dari tubuh Cassandra yang tertidur di lengannya.
Davian berdiri tak jauh dari meja, menggendong Cassandra dengan tenang. Tangannya kokoh menopang tubuh mungil itu, sementara jemarinya kadang mengusap pelan punggung sang bayi. Pemandangan itu nyaris membuat Olivia kehilangan konsentrasi. Ia terus melirik, seperti takut kehilangan sesuatu yang amat berharga.
Ketika tatapan mereka akhirnya beradu, Davian hanya mengangkat alis dengan ekspresi nyaris menggodanya. "Aku tidak akan menjatuhkannya, Olivia. Kau menatapku seperti aku tidak tahu cara menggendong bayi."
Olivia membuang wajah, kembali menunduk pada mangkuk supnya. Tapi jelas terlihat rona merah samar merayap di pipinya. Seolah ucapan lelaki itu menusuk sisi hatinya yang paling dalam.
Davian tersenyum tipis. Ada kehangatan aneh yang menjalari dadanya melihat ekspresi polos itu—ekspresi yang jarang sekali ia lihat dari seorang wanita yang begitu rapuh namun keras kepala.
Waktu seakan melambat di kamar itu. Olivia melanjutkan makan, walau kadang mendengus kesal seperti anak kecil yang dipaksa menghabiskan sayur. Davian, yang berdiri sambil mengayun Cassandra, memandangnya dengan sabar.
"Supnya enak, bukan?" tanyanya pelan.
Olivia tidak menjawab. Hanya menyendok lagi dengan wajah masam.
"Kalau kau mau, aku bisa meminta Emily menambahkan keju atau roti panggang untuk menemani supmu," lanjut Davian, kali ini nadanya lembut, nyaris seperti seorang suami yang tengah membujuk istrinya.
Olivia menoleh sejenak, lalu menggeleng cepat. Seolah ia ingin berkata: aku hanya makan karena terpaksa, bukan karena aku menikmatinya.
Davian terkekeh. Suara itu begitu jarang terdengar, dan Olivia tanpa ia sadari, merasakan sesuatu bergetar di dadanya mendengar tawa ringan pria itu. Ia buru-buru menunduk lagi, menyendok makanan dengan lebih cepat, seakan ingin segera menyelesaikan kewajibannya.
Ketika suapan terakhir masuk ke mulut Olivia, Davian mendekat. Ia menunduk sedikit, memastikan mangkuk di meja sudah benar-benar kosong. "Bagus," ucapnya, nadanya seperti pujian tulus. "Sekarang kau bisa menggendongnya lagi."
Olivia mendongak, matanya berbinar seolah mendapat hadiah yang lama dinanti. Ia bangkit tergesa, hampir seperti anak kecil yang tak sabar menerima mainannya kembali. Davian tersenyum kecil melihat itu, lalu dengan lembut menyerahkan Cassandra ke pelukan Olivia.
Wanita tersebut meraih bayi mungil itu dengan hati-hati, lalu langsung menempelkan pipinya ke kepala kecil Cassandra. Tarikan napasnya terdengar dalam, penuh rasa lega. "Cassandra ...," bisiknya lirih, seolah ia takut kehilangan kesempatan berbicara dengan bayi itu lagi.
Davian menatap pemandangan itu dengan hening. Ada sesuatu yang begitu indah dalam cara Olivia memeluk sang bayi. Bukan sekadar kasih sayang seorang ibu, melainkan juga ketakutan mendalam akan kehilangan. Seakan bayi itu adalah seluruh dunianya.
"Olivia?"
Wanita itu mengangkat wajah, menatap Davian dengan mata jernih.
"Tidak ada yang akan mengambilnya darimu lagi," ucap Davian pelan, tapi nadanya penuh ketegasan. "Aku berjanji."
Ucapan itu, sederhana namun sarat makna, membuat Olivia terdiam. Bibirnya bergetar, seolah ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya ia hanya menunduk, memeluk Cassandra lebih erat.
Davian melangkah lebih dekat. Ia meraih kursi goyang, menariknya ke arah meja, lalu duduk di hadapan Olivia. Pandangannya melembut, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam keheningan manis bersama wanita itu.
Suasana kamar terasa berbeda. Bukan lagi sekadar ruang perawatan bayi, melainkan ruang kecil yang dipenuhi kehangatan. Davian menyandarkan tubuhnya, sementara Olivia sibuk membelai lembut rambut tipis Cassandra. Sesekali, bayi itu mengeluarkan suara kecil dalam tidurnya, membuat Olivia tersenyum samar.
Senyuman itu ... memikat.
Davian menatapnya, dan tanpa sadar, jantungnya berdegup lebih cepat. Ada keindahan yang selama ini tersembunyi di balik tatapan kosong Olivia dan kini perlahan muncul ke permukaan.
"Olivia?" panggil Davian sekali lagi, suaranya nyaris seperti bisikan.
Wanita itu menoleh, menatapnya.
"Aku tahu kau keras kepala," lanjutnya. "Tapi tubuhmu juga butuh kekuatan. Cassandra membutuhkanmu sehat. Jangan sakiti dirimu sendiri hanya karena kau takut kehilangan dia."
Olivia mengedip pelan. Tatapannya seakan berusaha memahami, lalu bibirnya bergerak tipis. "Tidak ... akan ada yang mengambilnya?" suaranya serak, nyaris tak terdengar, tapi cukup bagi Davian untuk menangkapnya.
Pria itu mencondongkan tubuh ke depan, menatap dalam-dalam ke matanya. "Tidak. Tidak ada. Selama aku ada di sini, tidak seorang pun akan berani menyentuh Cassandra. Kau bisa mempercayai itu."
Keheningan kembali turun, namun kini berbeda, bukan hening yang berat, melainkan hening yang sarat keintiman. Olivia kembali menunduk, memeluk Cassandra dengan penuh cinta, sementara Davian tetap duduk di depannya, menatap dengan rasa yang semakin sulit ia kendalikan.
Di sudut hatinya, Davian menyadari sesuatu: ada benih kecil yang mulai tumbuh. Benih yang mungkin bisa berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih berbahaya, namun juga jauh lebih indah.
Dan di hadapan tatapan mata polos Olivia, Davian tidak bisa lagi mengingkari bahwa hatinya perlahan-lahan mulai condong padanya.
kau yang berjanji kau yang mengingkari
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi