Kalau nggak suka, skip saja! Jangan kasih bintang satu! Please! 🙏🙏
Gara-gara sebuah insiden yang membuatnya hampir celaka, Syahla dilarang keluarganya untuk kuliah di Ibukota. Padahal, kuliah di universitas itu adalah impiannya selama ini.
Setelah merayu keluarganya sambil menangis setiap hari, mereka akhirnya mengizinkan dengan satu syarat: Syahla harus menikah!
"Nggak mungkin Syahla menikah Bah! Memangnya siapa yang mau menikahi Syahla?"
"Ada kok," Abah menunjuk pada seorang laki-laki yang duduk di ruang tamu. "Dia orangnya,"
"Ustadz Amar?" Syahla membelalakkan mata. "Menikah sama Ustadz galak itu? Nggak mau!"
Bagaimana kisah mereka selanjutnya? Apakah pernikahan mereka akan baik-baik saja?
Nantikan kelanjutannya ya🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Sah!
Esoknya, keluarga Ustadz Amar benar-benar datang melamar. Prosesnya terjadi begitu cepat, karena seminggu setelah lamaran, Syahla dan Ustadz Amar menikah. Selama proses itu, Syahla sudah tidak ingat lagi apakah dia makan lewat mulut atau hidung, masih merasa tidak percaya.
"Serius nih aku bakalan menikah sama Ustadz Amar?" Kesadaran Syahla baru kembali saat ia mematut dirinya di depan cermin tepat di hari pernikahannya. Acara pernikahan mereka memang tidak diselenggarakan dengan mewah, lantaran waktunya yang terlalu mendadak. Namun karena kolega Abahnya yang banyak, tamu yang datang cukup ramai juga.
"Syahla!" Tak disangka, Laksmi datang. Syahla membelalakkan mata dan langsung memeluk sahabatnya itu.
"Laksmi! Aku kangen banget! Kok bisa kamu ada di sini?"
"Bisa lah, kan Abah Ridwan mengajak aku!"
Abah Ridwan adalah nama pengasuh dari Ponpes Al-Raudhah. Beliau turut hadir karena Ustadz Amar adalah santri kesayangannya. Sebenarnya, Abah Ridwan sangat ingin menjadikan Ustadz Amar sebagai menantu, sayangnya beliau tidak punya anak perempuan.
"Kamu sih, nggak kabar-kabar kalau mau nikah! Waktu dikasih tahu sama Abah Ridwan, aku kaget setengah mati tahu!"
Syahla meringis. Bagaimana ia bisa memberikan kabar kepada Laksmi, kalau dirinya sendiri saja tidak bisa membedakan apakah ini mimpi atau nyata?
"Tunggu deh. Kalau Abah Ridwan tahu, Jangan-jangan para santri juga—"
"Semua orang sudah tahu La! Soalnya Abah Ridwan secara khusus minta doa buat kalian saat semua santri berkumpul. Sekarang kalian berdua sedang jadi trending topik di sana!"
"Astaga.." Syahla memijit-mijit kepalanya. Untunglah dirinya sudah keluar dari pondok, jadi tidak terlalu malu berpapasan dengan orang-orang yang ia kenal.
"Berarti bisa dibilang kamu itu jilat air ludah sendiri ya La?" ucap Laksmi dengan nada mencibir. "Dulu aja bilangnya Ustadz Amar itu rese, Sok ganteng, sok keren! Eh tidak tahunya sekarang jadi calon suami!"
Syahla tersenyum kikuk. Duh, bagaimana cara menjelaskannya pada Laksmi?
"Jadi, Laksmi, sebenarnya—"
"Dek," Hafsa membuka pintu kamar Syahla. "Sudah siap belum? Aduh, cantiknya adeknya Mbak,"
Syahla langsung membungkam mulutnya.
"Siap-siap yuk, sudah mau dimulai."
Syahla sontak menggenggam erat tangan Laksmi di sebelahnya. Jantungnya berdegup cepat dan telapak tangannya berkeringat dingin.
...----------------...
"Saya terima nikah dan kawinnya Syahla Nafisa Binti Baharuddin Ahmad dengan maskawin tersebut dibayar tunai!"
"Bagaimana para saksi, sah?" Pak Penghulu bertanya pada Abah Ridwan dan Abah Ali yang bertugas menjadi saksi.
"Sah!"
"Alhamdulillah.."
Perlahan, Hafsa dan Laksmi menuntun Syahla keluar dari dalam rumah menuju tempat resepsi. Syahla berjalan dengan hati-hati, ia masih tidak percaya saat ini sudah menjadi istri seseorang.
Syahla duduk di kursi yang sudah disiapkan. Menandatangani beberapa dokumen dan berfoto bersama. Setelah selesai, fotografer mengarahkan agar Ustadz Amar mencium kening Syahla.
Syahla melotot, memberi kode pada Ustadz Amar.
"Ingat perjanjian kita kan, Ustadz?" bisik Syahla memperingatkan.
Ustadz Amar menganggukkan kepala. "Tenang saja,"
Syahla memejamkan mata saat Ustadz Amar mendekatkan wajahnya. Dia sudah bersiap kalau-kalau lelaki itu benar-benar menciumnya. Namun dugaannya salah. Ustadz Amar mencium puncak kepala Syahla yang tertutup jilbab, otomatis mereka tidak bersentuhan secara langsung.
"Ini tidak melanggar janji kan?" Ustadz Amar tersenyum lebar. Syahla mendengus kesal melihat senyuman lelaki itu, tapi sekaligus juga merasa lega.
"Selanjutnya, kita akan memasuki acara sungkeman. Kepada orangtua kedua mempelai agar menempati tempat yang telah disediakan,"
Umi Zahra, Abah Baharuddin, dan orangtua Ustadz Amar duduk di kursi yang disediakan panitia.
"Terimakasih karena sudah merawat Syahla selama ini Mi," Syahla bersimpuh di kaki Umi Zahra.
Umi Zahra menangis tersedu-sedu, memeluk putrinya erat-erat. "Maafkan Umi yang sering memarahi kamu ya Nduk. Umi melakukan itu karena sayang sekali sama kamu,"
Mereka berpelukan lama sekali. Suasana bahagia itu dalam sekejap berubah menjadi haru. Selanjutnya Syahla bersimpuh di hadapan Abah dan kedua mertuanya.
Selesai sungkeman, Syahla dan Ustadz Amar disandingkan di kursi pelaminan. Semua tamu yang hadir menyalami mereka satu persatu.
...----------------...
Pukul 22:00, Syahla baru bisa merebahkan badannya di atas kasur. Tulangnya terasa copot saking lelahnya.
"Duh, capeknya.." Syahla merentangkan kedua tangannya. "Kasur, aku kangen banget sama kamu.."
Saat matanya mulai terpejam, Syahla mendengar pintu kamarnya terbuka. Ia kira itu adalah Umi Zahra atau Hafsa, jadi ia memilih diam saja.
"Ehem," terdengar suara deheman seorang laki-laki.
"Mas Sahil ngapain sih masuk-masuk kamar Syahla? Sana pergi! Nggak usah ganggu! Syahla capek!" sentaknya tanpa membuka mata.
Ruangan terasa hening sejenak.
"Ini saya,"
Syahla terbelalak. Ia langsung terlonjak dari tidurnya. Ustadz Amar berdiri di samping ranjang dengan wajah kikuk.
Syahla menyadari kalau Ustadz Amar memalingkan pandangan darinya. Ia buru-buru mengecek keadaannya sendiri dan mendapati bagian bawah gaunnya sudah tersingkap sampai lutut.
Syahla langsung bangkit dan berusaha merapikan pakaiannya.
"Ustadz, ngapain sih masuk-masuk kamar saya segala?" tukas Syahla kesal. "Nggak sopan tahu masuk ke kamar cewek malam-malam!"
"Hm.. tapi kan.. Kita ini sudah suami istri.."
Syahla terdiam. Iya juga ya, bukannya mereka sekarang sudah sah?
"Ya tapi kan, setidaknya bisa ketuk pintu dulu!"
"Sudah, tapi mungkin kamu nggak dengar,"
Syahla bersungut-sungut. "Memangnya Ustadz mau tidur di sini?"
"Tentu saja. Menurut kamu saya harus tidur dimana, Syahla? Di dapur?"
Syahla berpikir sejenak. "Yaudah deh, boleh! Tapi, Ustadz tidur di lantai! Saya yang di kasur!"
"Oke!" Ustadz Amar menganggukkan kepalanya. "Tapi, nggak ada bantal.."
Syahla meraih satu bantal dari atas kasur. "Tuh!"
"Tapi, selimutnya bagaimana? Kamu tega membiarkan saya tidur di lantai tanpa selimut?"
Syahla melirik ke arah selimutnya. Iya sih, hawa malam di Darul Quran memang cukup dingin dibandingkan saat di Al-Raudhah. Tapi ia cuma punya satu selimut, dan dia juga tidak terlalu tahan dingin. Tapi, kalau meminta selimut lagi, pasti akan terlihat aneh kan?
"Kalau begitu.." Syahla berkata ragu-ragu. "Ustadz boleh deh tidur di kasur! Tapi!"
Syahla meletakkan bantal guling di tengah-tengah ranjang. "Ini adalah batas tidur kita berdua, jangan sampai ada yang melewati batas ini!"
"Baiklah," jawab Ustadz Amar kalem. "Saya cenderung jarang bergerak saat tidur,"
Syahla memicingkan mata. Memastikan Ustadz Amar berkata dengan jujur. Oke, karena lelaki itu sepertinya tidak bisa bohong, jadi dia akan percaya saja.
"Kalau begitu, siapa yang mau mandi duluan? Saya apa kamu? Atau..kita mandi bersama?" Ustadz Amar sengaja menggoda Syahla untuk memancing reaksinya.
"Ustadz!" Muka Syahla merah padam. "Saya akan mandi di kamar mandi luar, Ustadz di kamar mandi dalam saja!"
Setelah berucap begitu, Syahla buru-buru keluar dari kamar.
Sesaat setelah pintu kamar tertutup, Ustadz Amar sudah tidak bisa menahannya lagi, ia tertawa terbahak-bahak.
"Gemes banget," ucapnya pada diri sendiri.
apalagi suaminya lebih tua