Original Story by Aoxue.
On Going pasti Tamat.
Ekslusif terkontrak di NovelToon, dilarang plagiat!
Di tengah hujan yang deras, seorang penulis yang nyaris menyerah pada mimpinya kehilangan naskah terakhirnya—naskah yang sangat penting dari semangat yang tersisa.
Tapi tak disangka, naskah itu justru membawanya pada pertemuan tak terduga dengan seorang gadis misterius berparas cantik, yang entah bagaimana mampu menghidupkan kembali api dalam dirinya untuk menulis.
Namun, saat hujan reda, gadis itu menghilang tanpa jejak. Siapa dia sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aoxue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 - Hujan
Sean masih berdiri membeku di ambang pintu. Pakaiannya basah kuyup, tetesan air menetes dari ujung rambut dan mantelnya.
Matanya menatap Liliana, yang kini tersenyum kecil meski tubuhnya masih tampak lemah.
Liliana dengan suara pelan melangkah mendekati Sean dan mulai menggodanya, "Apa kamu menangis, Sean?"
Sean menghindari pandangan Liliana, buru-buru menyeka matanya dengan punggung tangan. Tapi senyumnya sulit disembunyikan.
"Nggak— itu cuma, hujannya aja kebetulan pas." jawab Sean dengan gugup.
Liliana tertawa kecil, senyum cerahnya muncul di tengah wajah yang pucat, tapi kini tampak lebih hidup dari sebelumnya.
Liliana mencondongkan tubuhnya, masih duduk di sofa dan kembali berbicara, "Kamu rindu, ya? Ngaku aja, hujan turun, terus kamu nangis itu sinyal rindu, tahu?"
Sean akhirnya tertawa lirih, langkahnya maju perlahan ke arah Liliana. Dia masih belum percaya gadis yang dia pikir takkan pernah dia lihat lagi kini duduk di hadapannya hidup, nyata, dan menggodanya seperti biasa.
Sean ikut duduk di pinggir sofa, masih tak lepas memandangi wajah Liliana yang kini berada di depannya, "Mungkin iya. Aku rindu, dan kupikir aku nggak akan pernah bisa lihat kamu lagi."
Liliana terkejut dan berkata dengan suara melembut dan penuh kehangatan, "Aku juga, setiap hari berharap hujan datang dan ketika akhirnya datang aku bisa kembali bertemu dengan mu!"
"Entah kenapa, dunia terasa kosong waktu kamu nggak ada." ucap Sean dengan tanpa sadar.
Liliana menggigit bibirnya, menahan senyum, tapi matanya berkaca-kaca, dan tubuhnya sedikit bergetar karena emosi yang terlalu kuat untuk disimpan.
Liliana pun berbisik, "Terima kasih karena sudah merindukanku."
Dia memejamkan mata sejenak, lalu mengulurkan tangannya. Sean langsung menyambutnya, menggenggam erat seolah takut kehilangan lagi.
Hujan terus turun di luar jendela.
Tapi kini, di dalam apartemen kecil itu, dua dunia yang seharusnya terpisah telah bertemu kembali.
Liliana menatap Sean yang duduk di hadapannya, pakaian masih meneteskan air, rambut basah menempel di dahinya. Seketika itu juga, wajah Liliana berubah ekspresinya cemas.
"Sean! Kamu basah kuyup! Cepat ganti baju! Mau sakit, ya!?" bentak Liliana dengan suaranya yang tinggi.
Sean terkejut, lalu tertawa kecil, tak menyangka gadis dari dunia lain bisa sepeduli dan sekeras itu menegurnya.
Sean tersenyum geli, "Iya, iya,Tuan putri, saya siap laksanakan perintah!"
Liliana mengerucutkan bibirnya, tapi matanya tetap serius memperhatikan Sean sambil bergumam sendiri, "Kalau kamu sampai demam aku nggak tahu harus balik ke dunia ini gimana?"
Sean pun segera bangkit, berjalan ke kamarnya sambil masih tertawa kecil. Ia melepaskan jaketnya yang berat karena air, lalu berteriak dari balik pintu, "Kamu benar-benar seperti seseorang yang sangat penting buatku, tahu nggak?"
Liliana terdiam, kata-kata itu menusuk lembut ke dalam dadanya, sebuah kehangatan mengalir bersama sisa hujan yang terdengar dari jendela.
"Aku juga ngerasa kamu penting, lebih dari yang bisa aku pahami, tapi kenapa?" batin Liliana merasa bingung.
Liliana duduk bersandar di sofa, menyelimuti tubuhnya dengan selimut tipis yang Sean berikan tadi dan matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan acara berita cuaca dadakan.
"Fenomena cuaca tak biasa terjadi malam ini. Hujan intens yang seharusnya tidak muncul di musim kemarau, diperkirakan akan terus berlangsung selama satu minggu penuh tanpa henti—"
Liliana terbelalak, bibirnya sedikit terbuka, dan matanya membulat serta napasnya tercekat.
"Satu minggu penuh?"
"Aku bisa tetap di sini?" bisik Liliana dengan bersemangat.
Suara televisi yang agak keras membuat Sean dari dalam kamarnya ikut mendengarnya, karena penasaran, dia membuka pintu dengan tergesa tanpa sadar bahwa dia belum benar-benar berpakaian.
Sean menyeringai, setengah bingung dan bertanya, "Hujan seminggu penuh? Serius!?"
Liliana menoleh dan langsung membeku.
Sean berdiri di ambang pintu kamarnya, hanya mengenakan celana dalam, tubuh bagian atasnya masih lembab, tapi jelas terlihat garis-garis tubuh yang tidak dia duga dari seorang penulis yang tampak tenang dan tertutup seperti Sean. Tubuh yang rapi, tidak berlebihan, tapi jelas terawat.
"Astaga— kenapa dia hanya menggunakan itu!?" panik Liliana di dalam hatinya.
Pipinya langsung memerah hebat, matanya membelalak sebelum buru-buru menunduk, menutup wajah dengan bantal kecil yang ada di sofa.
Liliana berteriak tanpa berani menatap, "Sean!! K-Kenapa kamu keluar begitu saja!? Pakai baju dulu, cepat!!"
Sean baru menyadarinya, dia lalu tertawa kikuk dan beralasan, "Aduh! Maaf, maaf! Aku terlalu fokus sama berita hujan itu!"
Dengan cepat dia berbalik kembali ke kamarnya, tapi suara tawanya masih terdengar samar, sementara Liliana masih menunduk, kedua pipinya terbakar seperti tomat matang.
"Kenapa orang kayak dia harus punya tubuh sebagus itu sih?" gumam Liliana dan langsung memeluk selimut milik Sean.
Sunyi menyelimuti ruang kecil itu, hanya suara hujan yang pelan menetes di balik kaca jendela dan Liliana menarik selimut yang membungkus tubuhnya, menyadari aroma samar yang tertinggal dari Sean terasa hangat dan candu.
Ia menutup matanya sejenak, membiarkan aroma itu membawanya dalam lamunan. Dalam imajinasi lembutnya, dia dan Sean duduk berdampingan di sofa ini, tangannya dalam genggaman Sean, dunia terasa jauh tapi mereka dekat. Tidak ada misteri, tidak ada perbedaan dunia, hanya cinta yang sederhana dan tulus.
"Andai saja aku bisa tetap di sini, andai saja aku dan dia memang ditakdirkan untuk bersama."
Namun, senyum itu perlahan memudar. Liliana membuka matanya dan menatap langit-langit. Rasa ragu menyusup masuk bagai kabut tipis yang menyelimuti hatinya.
Liliana berkata di dalam hatinya secara perlahan, "Tapi, apakah dia benar-benar bisa mencintaiku? Aku bahkan dari dunia lain dan bahkan aku sendiri belum tahu mengapa atau bagaimana ini bisa terjadi."
Tangannya menggenggam selimut lebih erat. Tatapannya kosong sejenak.
"Kalau suatu saat aku harus pergi apakah Sean akan merasa kehilangan? Atau aku hanya akan menjadi kenangan samar di sudut pikirannya?" lirih Liliana berbisik seorang diri.
Kesedihan sempat menggelayut, tapi hanya sebentar. Liliana menarik napas dalam, mencoba mengusir kecemasan itu dan ia kembali tersenyum kecil, walau matanya sedikit basah.
"Tidak apa-apa, selama dunia ini masih bisa terhubung dengan duniaku walau sebentar, meski hanya lewat hujan itu sudah cukup untukku." tegas Liliana dengan lembut pada dirinya sendiri.
Hujan di luar semakin konstan, Liliana menatap jendela dengan sorot mata penuh ketenangan, namun di balik ketenangan itu, ada cinta yang mulai tumbuh diam-diam, dalam diamnya.
Dering telepon memecah sunyi ini, Liliana terlonjak kecil, lalu meraih ponsel yang bergetar di meja. Layar ponsel menyala terang, menampilkan nama pemanggil yang tidak dikenalnya. Ia menatap perangkat itu dengan heran.
"Ini ponselnya? Teknologinya jauh lebih cepat dan jernih dari ponselku di rumah dan bahkan tampilannya luar biasa." batin Liliana bertanya-tanya akan spesifikasi tampilan luar ponsel milik Sean.
Jari-jarinya hampir menyentuh layar hijau saat pintu kamar terbuka.
Sean dengan cepat dan sedikit tergesa merebut ponsel itu dan berkata, "Sorry, itu panggilan penting."
Ia mengambil ponselnya dengan cepat dari tangan Liliana. Liliana hanya bisa mematung saat Sean menerima panggilan itu dan tanpa berkata apa-apa lagi langsung kembali ke dalam kamarnya, menutup pintunya rapat-rapat.
Suara dari balik pintu terdengar samar, tawa ringan suara wanita.
Liliana duduk kembali ke sofa, namun kali ini tubuhnya terasa kaku dan jantungnya berdetak pelan tapi berat.
"Dia punya seseorang, seseorang yang bisa dihubungi dan seseorang yang bisa membuatnya tertawa seperti itu."
Pandangan matanya menunduk, tiba-tiba saja ruangan itu terasa lebih sepi dari sebelumnya dan hangatnya selimut pun tak lagi memberi rasa nyaman yang sama.
Liliana berbisik pelan dengan perasaan cukup kecewa, "Jadi, aku hanya bagian kecil dalam hidupnya sementara bagiku dia sudah menjadi duniaku?"
Dia memeluk lututnya di sofa, membiarkan perasaannya tenggelam dalam hujan yang masih turun perlahan di luar sana.
...----------------...
#Pertanyaan Author, kenapa cewek baperan banget sih? 🤔