Jika menurut banyak orang pernikahan yang sudah berjalan di atas lima tahun telah berhasil secara finansial, itu tidak berlaku untuk rumah tangga Rania Salsabila dan Alif Darmawangsa. Usia pernikahan mereka sudah 11 tahun, di karuniai seorang putri berusia 10 tahun dan seorang putra berusia 3 tahun. Dari luar hubungan mereka terlihat harmonis, kehidupan mereka juga terlihat cukup padahal kenyataannya hutang mereka menumpuk. Rania jarang sekali di beri nafkah suaminya dengan alasan uang gajinya sudah habis untuk cicilan motor dan kebutuhannya yang lain.
Rania bukanlah tipe gadis yang berpangku tangan, sejak awal menikah ia adalah wanita karier. Ia tidak pernah menganggur walaupun sudah memiliki anak, semua usaha rela ia lakoni untuk membantu suaminya walau kadang tidak pernah di hargai. Setiap kekecewaan ia telan sendiri, ia tidak ingin keluarganya bersedih jika tahu keadaannya. Keluarga suaminya juga tidak menyukainya karena dia anak orang miskin.
Akankah Rania dapat bertahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sadewi Ravita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 Ku Beri Waktu Sebulan
"Astagfirullah Nia, kenapa kamu minta cerai. Kasihan anak-anak, mereka masih kecil tidak mungkin hidup tanpa keluarga yang utuh. Aku minta maaf pada mu, aku sungguh menyesal," ucap Alif.
"Aku sudah benar-benar lelah Mas, kamu tidak pernah membela ku walaupun jelas-jelas aku benar. Kamu menyuruh ku untuk menghormati ibu mu, tapi apa pernah kamu menyuruh ibu mu untuk menghargai aku? Tidak pernah bukan,"
Rania sudah tidak bisa berpikir jernih, ia merasa sangat kesal kepada suaminya. Sudah tidak memberinya hidup yang layak masih saja harus merasakan tekanan batin dari mertuanya.
"Aku janji tidak akan diam lagi, tapi bersabarlah aku harus melakukannya secara perlahan. Kamu tidak berada di posisi ku yang serba salah, mudah bagi mu berkata seperti itu,"
"Asal kamu tahu Mas, bahkan ibu kandung ku sekalipun jika memang salah tidak akan aku bela. Orang tua jika salah harus di ingatkan, jika bukan anaknya yang mengingatkan lalu siapa lagi. Justru berdosa membiarkan orang tua kita berbuat salah, itu namanya kita ikut menjerumuskannya,"
Alif hanya diam, mungkin logikanya membenarkan namun perasaannya tidak mau menerima. Selama ini memang hampir tidak pernah kata-kata minta maaf meluncur dari bibirnya, karena sifatnya menurun ibunya yang selalu merasa sempurna. Mungkin dalam pandangan mereka orang lain tidak pernah benar sedangkan mereka tidak pernah berbuat salah.
"Aku beri kamu waktu sebulan Mas, jika tidak ada perubahan dalam sikap mu maka keputusan ku tidak akan berubah. Jika kamu tidak bersedia menceraikan aku, biarkan aku yang menggugat mu," ucap Rania serius.
Kata-kata Rania yang lantang berhasil membuat Alif rapuh, jujur saja dia tidak ingin pernikahan ini hancur begitu saja. Sebenarnya dia menyayangi istri dan kedua anaknya namun entah mengapa dia tidak dapat menunjukkan dengan sikapnya. Kelakuannya tidak sejalan dengan kata-katanya yang manis.
"Nia, aku mohon jangan berbicara tentang perceraian lagi. Lihatlah anak-anak kita, bagaimana hidup mereka jika kita bercerai. Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi sehingga ingin berpisah dengan ku?"
Alif memohon kepada istrinya, kali ini terlihat tulus sampai pria itu tidak malu menangis meratap menggenggam tangan Rania. Inilah kelemahan Rania, betapapun selama ini dia di perlakukan dengan semena-mena, akan luluh dengan janji-janji manis yang meluncur dari bibir Alif suaminya. Tapi saat ini dia sudah benar-benar lelah, tidak ingin memperjuangkan lagi. Toh anak-anak mereka juga bisa hidup bahagia walau mereka tidak bersama.
"Justru kamu yang tidak kasihan kepada mereka, ini semua karena perbuatan mu. Kamu tidak pernah benar-benar berjuang untuk kita, kamu lebih mengasihi diri mu sendiri, Mas,"
"Maafkan aku, aku akan berusaha mengerti diri mu,"
Rania sudah tidak mau mendengar kata-kata suaminya, ia memilih tidur di samping Bintang dan menutupi telinganya dengan bantal. Ia enggan mendengarkan pembelaan suaminya lagi, keputusannya sudah bulat dan tidak bisa di ganggu gugat.
☆☆☆
Keesokan harinya.
Rania bangun dengan mata sembab, ia segera mandi dan berwudhu agar merasa segar. Ia tidak membangunkan suaminya karena masih kesal, ia memutuskan berangkat ke pasar untuk membeli bahan gorengan dengan uang yang tersisa. Karena modalnya sudah berkurang ia mengurangi belanjaannya dari biasanya.
"Kok tumben belanjanya sedikit, Nia?" tanya Ibu penjual sembako dan sayur di pasar.
"Iya Bu, uangnya hanya cukup membeli segini," jawab Rania.
"Kalau mau ambil lagi tidak apa-apa, bayarnya besok setelah kamu dapat uang. Jika besok sudah bayar mau ambil lebih lagi juga boleh, aku percaya kamu orang yang jujur,"
Rania tampak berpikir sejenak, ini adalah tawaran baik yang sayang jika di tolak. Namun ia takut jika suaminya akan memanfaatkan situasi ini, mengambil keuntungan seperti biasanya.
"Terima kasih atas tawarannya, tapi sepertinya tidak perlu Bu, saya takut tidak bisa bayar. Karena saya juga tidak tahu apa yang akan terjadi di hari esok," tolaknya lembut.
"Baiklah, aku doakan rezeki mu lancar ya,"
"Amin,"
Rania segera pulang setelah semua belanjaan selesai ia beli. Sampai di rumah ternyata semua masih tidur, pun juga suaminya. Rania memasak yang sederhana demi menghemat uang, sayur bayam serta tempe dan tahu goreng tanpa ikan. Hari ini Alisa libur sekolah jadi ia membiarkan putrinya bangun agak siangan.
Setelah semua pekerjaan rumah selesai ia segera membuat gorengan dibantu Alisa yang sudah bangun, sedangkan camilan anak-anak sudah ia keluarkan sejak tadi. Hari ini gorengan yang ia jual tidak banyak, namun ia bersyukur pukul 10 pagi semua sudah habis. Bintang tiba-tiba bangun dan rewel tidak seperti biasanya, ternyata dia batuk pilek dan badannya panas.
"Bangunlah, itu Bintang panas badannya,"
Terpaksa Rania membangunkan Alif karena panik, dia memang sangat kuatir jika anaknya sakit berbeda dengan Alif yang bisa menyikapinya dengan lebih tenang. Rania kadang kesal jika anaknya sakit lumayan parah tapi Alif masih juga bisa bersikap tenang seolah tidak kuatir dengan keadaan anaknya.
"Iya badannya panas sekali, sudah di beri obat belum?" tanya Alif.
"Ya belumlah, dia saja baru bangun,"
Rania bergegas merebus air untuk memandikan Bintang, walau Bintang menolak ia tetap memandikannya karena kata dokter begitu, tetap harus di mandikan agar kuman dan bakteri hilang.
"Sayang makan dulu terus minum obat ya," bujuk Rania.
Alif hanya diam saja melihat istrinya sibuk mengurus Bintang, ia bingung tidak tahu harus berbuat apa.
"Kamu kok cuma diam saja sih, harusnya cepat mandi dan bantuin ngurusin Bintang atau menjaga jualan," ucap Rania kesal.
Saat ini dia sudah malas bermanis-manis kepada suaminya. Dia sudah benar-benar kehilangan harapan kepada pria itu. Alif menuruti kemauan istrinya, ia segera pergi mandi. Dia ingin mengurus Bintang, namun anak itu hanya ingin bersama ibunya jadi terpaksa Alif yang menjaga dagangan.
"Ini sudah dua jam tapi panasnya tidak turun, ayo kita bawa ke dokter saja," ajak Rania.
"Tapi aku tidak punya uang, di bawa ke puskesmas saja," balas suaminya.
Mereka segera membawa Bintang ke puskesmas, menurut dokter tidak ada masalah serius, setelah menebus resep dokter mereka segera pulang.
"Sayang, sementara tidak boleh jajan di luar ya, ibu belikan roti saja ya. Bintang jangan main di luar dulu, harus nurut supaya cepat sembuh ya Sayang," ucap Rania lembut.
Bintang mengangguk lemah, ia tiduran di temani kakaknya. Gadis itu mengelus kening adiknya dengan lembut dan menciumnya, terlihat sekali ia sangat menyayangi adiknya. Rania segera menghitung penghasilan hari ini, dahinya berkerut karena uang dagangannya berkurang.
"Mas, apa tadi ada orang yang ngutang saat membeli. Uangnya ini kurang?" tanya Rania.
"Tidak ada, semuanya bayar. Tapi tadi aku ambil 20 ribu untuk beli rokok," jawab suaminya santai.
"Apa? Kemarin kamu sudah pinjam 50 ribu masak sudah habis sih? Sekarang kamu justru ambil 20 ribu lagi tanpa bilang, kamu ngerti tidak sih aku susah payah menghemat pengeluaran supaya cukup. Jika kamu terus saja begini berapa banyak pun uang yang aku punya akan selalu habis,"
Rania meradang, dadanya rasanya sesak. Air matanya mengalir tanpa bisa di bendung lagi Ia tak kuasa menahannya lagi sehingga membuat kedua anaknya melihat kesedihannya kali ini.