NovelToon NovelToon
Tua Dalam Luka

Tua Dalam Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Selingkuh / Beda Usia / Pelakor / Suami Tak Berguna
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Minami Itsuki

aku temani dia saat hidupnya miskin, bahkan keluarganya pun tidak ada yang mau membantu dirinya. Tapi kenapa di saat hidupnya sudah memiliki segalanya dia malah memiliki istri baru yang seorang janda beranak 2? Lalu bagaimana denganku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Minami Itsuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB

Akhirnya, dengan wajah penuh amarah, suamiku memaksa ibunya keluar dari rumah.

"Sudah, Bu! Cukup! Jangan buat semuanya makin kacau!" suara Ramli begitu lesu, penuh tekanan, apalagi kepada ibunya sendiri—tapi kali ini dia terlihat benar-benar putus asa.

Namun mertuaku tak berhenti. Ia memberontak, menepis tangan Ramli, dan tetap berdiri di depan pintu.

"Perempuan itu sudah guna-gunain kamu! Kamu nggak sadar?! Kamu sekarang lebih nurut sama dia daripada ibumu sendiri!" teriaknya sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

Aku hanya berdiri memeluk dada, menahan diri untuk tidak membalas. Tapi senyum sinis tak bisa aku sembunyikan. Bagiku, semua ini justru memperlihatkan betapa selama ini mereka hanya tahu menuntut, tapi tidak pernah benar-benar peduli.

"Perempuan tua serakah! Nggak tau diri! Kamu bukan siapa-siapa kalau bukan karena anakku!" makinya lagi dengan kasar, membuat beberapa tetangga mulai mengintip dari jendela.

Ramli menarik lengan ibunya lebih keras.

"Udah, Bu! Ayo pulang. Jangan bikin malu!" katanya tegas.

Dengan penuh amarah dan wajah merah padam, ibu mertua akhirnya terdorong keluar juga. Tapi mulutnya masih terus memaki dari luar pagar.

"Aku nggak bakal ikhlasin kamu sama perempuan itu! Dia perusak keluarga!" teriaknya sambil berjalan pergi.

Aku menutup pintu pelan. Rumah kembali sunyi, tapi hati ini masih bergemuruh. Aku tahu ini belum akhir dari semuanya. Masih akan ada badai lain yang datang. Tapi aku tidak akan gentar. Aku sudah terlalu jauh untuk mundur.

Dari balik pintu yang sudah kututup rapat, masih terdengar suara ibu mertua yang terus saja mengeluarkan kata-kata kasar. Hinaan demi hinaan ia lontarkan padaku tanpa jeda, seolah-olah semua penderitaan hidupnya adalah salahku.

"Perempuan licik! Kamu rebut anakku! Kamu racuni pikirannya! Kamu bikin dia lupa sama keluarganya sendiri!" teriaknya lantang dari luar pagar.

Aku hanya berdiri diam, tak sedikit pun berniat membukakan pintu lagi. Kalau bukan karena rasa hormatku pada Ramli sebagai suami, mungkin sudah dari tadi aku menyuruh ibu mertuaku angkat kaki dengan lebih kasar.

"Bu, sudah... Malu di dengar orang sekitar."

"Ibu enggak peduli, Ramli. Ibu sakit hati dengan kelakuan istri kamu, dimana hati nuraninya? Padahal semua harta yang kamu punya milik kamu sepenuhnya, tapi kenapa perempuan gila itu yang menguasai."

"Bu, apa yang dikatakan memang benar," ujar Ramli membuat kening ibunya berkerut dengan ucapan sang anak. "Dulu saat aku nggak punya apa-apa, pas aku masih tinggal di rumah petak yang bocor, makan cuma pakai garam, nggak ada satu pun dari mereka yang datang bantu... Ibu, adik-adik, semuanya kayak nggak kenal. Bahkan waktu aku sakit pun, yang jagain cuma kamu," ucap Ramli lirih, matanya mulai berkaca-kaca.

"Apa maksud ucapan kamu? Kamu bilang apa barusan, Li?” suara ibu meninggi, matanya menyorot tajam ke arah putranya sendiri.

Ramli mengangguk pelan, suaranya lirih namun mantap, “Iya, Bu... Rukayah nggak salah. Dia cuma ngingetin kenyataan.”

“Astaghfirullah… Kamu tega ngomong begitu ke ibumu sendiri?” ujar ibu Ramli gemetar, nadanya tercekat.

Tapi Ramli hanya menunduk, tak berani menatap langsung ke arah ibunya. Ia menghela napas, lalu melanjutkan, “Aku cuma bilang yang sebenarnya, Bu. Waktu aku susah, waktu aku masih nggak punya apa-apa… cuma Rukayah yang ada di sampingku. Sementara Ibu sama saudara-saudara yang lain—nggak pernah sekalipun datang nanya kabar.”

Ibu Ramli terdiam. Wajahnya memerah menahan emosi, tapi tak ada satu pun kata sanggahan keluar dari mulutnya. Ia tahu, apa yang dikatakan Ramli barusan adalah kenyataan yang sudah lama ia lupakan… atau mungkin sengaja ia abaikan.

“Ramli! Dengar ya, kalau kamu masih punya otak dan nurani, ceraikan aja tuh perempuan licik! Biar harta kamu bisa dibagi dua! Adik-adikmu juga butuh dibantu, bukan cuma dia aja yang menikmati semua hasil kerja keras kamu!”

Ramli terdiam, wajahnya gelap. Tapi ibu tak berhenti.

“Kamu itu dulu siapa, hah?! Kalau bukan karena keluarga ini juga bantu doa dan usaha dari almarhum bapakmu, kamu nggak bakal punya toko, tanah, dan usaha! Sekarang setelah kaya, kamu jadi budaknya perempuan tua itu?!” Ramli hanya bisa diam dan tidak bisa lagi membalas kata-kata ibunya, kepalanya sudah terasa pusing karena masalah terus saja berdatangan. Dan pada akhirnya ibunya pun pulang dalam keadaan benci dan juga marah, karena Ramli belum bisa memberikan apa yang dia mau.

Setelah ibunya pergi, suamiku Ramli masuk ke rumah. Wajahnya kusut, matanya sembab, entah karena lelah atau karena perasaan yang bertumpuk-tumpuk sejak tadi.

“Aku tahu kamu marah, Bu,” ucapnya lirih, duduk di kursi dekat pintu. “Tapi… kamu tadi cukup keterlaluan sama keluargaku.”

Aku mendengus pelan. “Keterlaluan? Aku cuma jujur. Aku cuma mengingatkan mereka tentang kenyataan yang selama ini mereka lupakan.”

Ramli menggeleng pelan, menunduk. “Tapi tetap aja… itu ibu aku. Saudara-saudara aku. Meski mereka nggak bantu waktu aku susah, mereka tetap keluargaku. Dengar mereka dihina begitu… rasanya…”

“Pak,” potongku pelan namun tegas. “Justru karena aku tahu mereka keluargamu, aku selama ini masih menahan diri. Tapi kamu juga harus sadar, berapa lama kita kerja keras bangun semua ini? Siapa yang di samping kamu waktu kamu nggak punya apa-apa? Siapa yang berdiri pas semua orang bahkan nggak sudi menoleh ke kamu?”

Ramli terdiam. Nafasnya berat.

“Sekarang mereka datang cuma buat minta bagian, bahkan maksa kamu ceraiin aku. Kamu pikir itu adil?”

Ia mengusap wajahnya kasar. “Aku cuma pengin semuanya damai…”

“Damai nggak datang dari pura-pura baik,” kataku, suaraku mulai bergetar. “Damai datang dari orang-orang yang tahu batas. Tapi keluargamu? Mereka datang bukan buat silaturahmi. Mereka datang buat menjarah.”

Ramli menatapku lama. “Tapi aku tetap nggak pengin kamu dan ibuku saling benci…”

Aku menghela napas. “Aku juga nggak pengin, Pak. Tapi kalau kamu terus berdiri di tengah-tengah tanpa bersikap, pada akhirnya kamu sendiri yang bakal hancur.”

Ia tak menjawab. Hanya menunduk dalam diam. Rumah pun jadi senyap, menyisakan denting perasaan yang tak tersampaikan.

            ****************

Ramli yang tengah menyendok nasi dari piring plastiknya terhenti begitu melihat Wulan keluar dari kamar. Perempuan itu tampak sangat berbeda malam ini. Rambutnya disisir rapi, wajahnya dibalut bedak tipis dan lipstik merah muda, tubuhnya berbalut blouse yang belum pernah Ramli lihat sebelumnya—dan yang paling mengganggu pikirannya, wangi parfum yang menyeruak tajam ke hidungnya.

Ia menatap Wulan dari atas sampai bawah, nyaris tak percaya. Di tangannya masih tergenggam sendok berisi nasi dan potongan tempe goreng yang sudah dingin.

“Kamu… mau ke mana, Lan?” tanya Ramli pelan, suaranya terdengar cemas.

Wulan melirik Ramli sekilas sambil menyampirkan tas kecil ke pundaknya.

“Main sebentar, nyari angin. Pusing di rumah terus,” jawabnya enteng.

1
kalea rizuky
lanjut donk
kalea rizuky
laki tua g tau diri
kalea rizuky
kapok
kalea rizuky
laki dajjal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!