Keberanian Dila, seorang gadis tunarungu yang menolong pria tua penuh luka, membawanya pada nasib cinta bagai Cinderella untuk seorang anak pungut sepertinya.
Tuduhan, makian, cacian pedas Ezra Qavi, CEO perusahaan jasa Architects terpandang, sang duda tampan nan angkuh yang terpaksa menikahinya. Tak serta merta menumbuhkan kebencian di hati Dilara Huwaida.
"Kapan suara itu melembut untukku?" batinnya luka meski telinga tak mendengar.
Mampukah Dila bertahan menjadi menantu mahkota? Akankah hadir sosok pria pelindung disekitarnya? Dan Apakah Dila mempunyai cerita masa lalu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Qiev, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8. MEMBELA DIRI
Ezra terus ditarik oleh sekelompok warga menuju komplek pesantren Kyai Said, tempat Dilara dan bundanya bekerja sekaligus mengaji. Mereka butuh penengah serta nasihat bijak dari sang panutan didesanya.
Arakan massa sepanjang perjalanan mengundang perhatian khalayak ramai, ada yang merekam bahkan ikut memaki Ezra.
Ketika menyadari bahwa kemungkinan hal ini bisa memicu skandal yang menjatuhkan namanya, Ezra pun memilih menundukkan wajah dibalik punggung para pemuda yang menyeretnya.
Jalan pintas yang mereka lalui mengikis jarak beberapa ratus meter sehingga tiba di komplek pesantren lebih cepat.
Santri yang berjaga di gerbang panik melihat massa yang datang, berusaha menahan sejenak seraya melaporkan pada Yai mereka didalam sebelum mengizinkan massa masuk.
Sejurus kemudian, gerbang hijau besar nan berat itu terbuka. Santri perwakilan keluarga Yai, meminta hanya beberapa orang berkepentingan saja yang masuk kedalam, termasuk pak RT, saksi, keluarga, tetangga, serta kedua tertuduh.
Akhirnya, warga yang ditunjuk pun masuk mengikuti arahan santri menuju salah satu ruang tamu khusus kunjungan, sementara Yai belum menemui mereka.
Didalam kediaman Yai.
"Innalillahi, masa Dilara begitu? anak itu tidak mungkin berperilaku demikian, coba Buya telusuri dengan benar. Tadi pagi kan dia masih mengaji denganku," ujar Nyai Syuria dengan wajah heran serta khawatir.
"Iya Umma, sebentar ana kesana," jawab Yai Said seraya membenarkan lilitan sarung dan letak kopiahnya lalu melangkah keluar dari kediaman.
Sementara di ruang tamu.
Ezra berusaha menghubungi Rolex dan ayahnya, namun nihil.
"F-uck, kemana semua mereka," umpat sang tertuduh kesal. Tak putus asa, selama sisa waktu yang dipunya, Ezra terus menghubungi para asistennya namun sama, tidak ada respon.
"Assalamu'alaikum," suara berat khas lelaki paruh baya terdengar memasuki ruangan.
"Wa'alaikumussalam," jawab para tamu bersamaan.
"Ada apa ini, datang dengan massa? jangan main hakim sendiri kan kita bisa saling mendengarkan lebih dahulu duduk perkaranya," ulas Yai Said sembari duduk didepan para tamunya.
"Mereka berdua zina Yai, saat Bu Ruhama tidak dirumah," tuduh seorang warga
"Zina yang bagaimana yang antum tuduhkan? adakah saksinya? empat orang yang telah baligh, berakal serta beragama, melihat dengan mata sendiri ditempat dan jam yang sama ... jika ada, hadirkan dan jelaskan pada ana," sergah Yai menuturkan dasar hukum zina terlebih dahulu.
"Hmm, saksinya hanya dia dan tetangga disaat yang hampir sama, Yai," balas Pak RT ragu.
"Zina itu ada tiga macam, al laman, muhsan dan ghairu muhsan ... Ana tahu Dilara belum menikah, apakah Anda sudah Tuan?" Yai mengalihkan sementara perihal saksi, lalu mengajukan pertanyaan pada Ezra.
"Aku telah bercerai dan juga tidak mengenal Dilara sebelummya. Aku hanya mengantarnya kembali pulang untuk berterimakasih pada Bundanya sesuai perintah Papa sebab Dilara telah menyelamatkan beliau beberapa hari lalu. Namun malah mendapat tuduhan seperti ini, namaku Ezra dan dia saksi dari pihakku," Ezra menepuk lengan drivernya seraya terus berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Baik, Nak Ezra ana tampung dulu penjelasannya. Jadi jika kalian menuduh keduanya zina maka masuk kategori ghoiru muhsan, karena mereka sama-sama belum terikat perkawinan ... mana saksinya? hadirkan segera," tegas Yai Said.
Seorang pria, dan ibu paruh baya juga tetangga Dilara menggeser posisi duduk mereka maju ke depan dari barisan.
"Jika Antum yang pertama kali memergoki mereka, jelaskan apa yang dilihat, jam berapa, dimana, Dilara memakai baju apa ... semuanya! monggo gantian," ujar Yai setelah para saksi maju.
"Saya sedang jalan menuju ladang tiba-tiba ditarik Bu Patmi, katanya Dilara bawa laki-laki ke rumah, lalu saya ikut beliau dan benar saja ada lelaki diteras rumah sambil membenarkan pakaiannya, Yai ... sekitar jam sembilan atau sepuluh pagi," ucap seorang pria.
"Antum lihat wajahnya? Nak Ezra bukan? pakaiannya?" cecar Yai Sa'id lagi.
"Ndak Yai, ngapunten, pakaiannya bukan ini," tunduk saksi pertama makin dalam dengan cicitan suara mulai tak yakin.
"Lanjutkan Bu Patmi...." Yai Sa'id beralih pada saksi kedua.
"Ya sama Yai, begitu," ucap Bu Patmi, merundukan wajah.
"Monggo satu lagi...." lanjut Yai Sa'id.
"Saya hanya menerima pesan Dilara agar menyampaikan pada Bu Ruhama bahwa Dila pamit hendak ke kota entah kemana dia tak menjelaskan. Namun saya juga melihat pria itu berjalan dengan Dila meninggalkan rumah," tetangga Dila berkata sesuai yang dia lihat.
"Dila, ceritakan pada Yai, Nduk ... jangan takut," tutur Yai Said lembut pada Dilara.
Gadis itu memilih tak berbicara, dia hanya menuliskan garis besar kronologi dari awal hingga akhir agar semua bisa memahami runutan kejadiannya.
Kertas penuh kalimat panjang itu Dila serahkan pada sang Yai, beringsut mendekat dengan tangan kanan terulur.
"Hah, apalagi ini, Dia bisu kah?" Ezra terheran.
Terjadi keheningan beberapa menit lamanya hingga suara berat Yai Said kembali menguar ke seluruh ruangan.
"Astaghfirullah, innalillahi. Dari semua keterangan saksi juga kronologi yang diceritakan oleh Dila. Persaksian kalian gugur. Karena tanpa melihat langsung hal yang tidak senonoh itu dilakukan oleh keduanya. Jika yang kalian maksud adalah zina berhubungan badan," sambung Yai.
" ... keputusan ana, ini hanya salah paham, Dila bersalah karena berjalan dengan yang bukan mahram meski jarak terbentang beberapa langkah, juga tidak menunggu Bunda atau mencari langsung untuk meminta izin. Jangan diulangi yaa Nduk," tutur Yai lembut seraya menuliskan pada catatan Dila yang menjadi keputusannya.
" ... Nak Ezra, apa ada yang terluka dari pihak Anda? ana mewakili warga, memohon maaf atas perilaku kurang pantas dari kami. Jika Nak Ezra keberatan mari kita ambil jalan tengah hingga mufakat," ujar Yai Said merasa tak enak hati, baju pria disampingnya terlihat kusut dan berantakan meski tak mengurangi kadar maskulin dan ketampanannya.
"Hati-hati fitnah, dampaknya lebih kejam dari pembunuhan jika kalian lupa. Taubat, istighfar dan minta maaf pada Nak Ezra," tegas Yai Said tegas ke semua warganya.
Kemudian beliau meminta santri putra khidmah yang sedari tadi duduk disampingnya agar menjelaskan duduk perkara pada massa yang masih ada diluar.
"Kami mohon maaf Pak Ezra, kami menyesal." Para warga meminta maaf berbarengan layaknya grup paduan suara.
"Lupakan, aku memaafkan meski badanku sakit. Tapi aku tak ingin meminta ganti rugi, cases closed saja," keluh Ezra masih memegangi dadanya.
"Alhamdulillah, jazakumullah ahsanal jaza. Diobati pake minyak gosok sementara Nak Ezra, sebelum ke dokter," Yai meminta santri agar mengambilkan obat oles dari kediamannya.
Yai Said kemudian membubarkan para warga namun meminta Dila dan Ezra tinggal.
Sudah satu jam berlalu sejak pembubaran warga dan klarifikasi kesalahpahaman atas kejadian tadi. Ezra masih berbincang santai dengan Yai dipesantren ketika ponselnya berdering.
"Assalamu'alaikum, ya Mit kenapa?" tanya Ezra lembut.
"Kak, bikin ulah lagi? aku dapat forward video dari teman, kak Ezra ngapain Dila sih? Papa shock loh," suara Mita mencecarnya panik.
"Bilang pada Papa, ini salah paham dan aku sudah menyelesaikan semuanya. Aku masih di pesantren dekat rumah Dila sedang berbincang dengan Yai, foto meluncur sebagai bukti Mit," jawab Ezra tak kalah serius.
"Yai, izin foto dan video call ya agar Papa ku tenang," Ezra meminta izin pada Yai Said untuk merekam ke seluruh ruangan.
"Tafadhol Nak...." Yai mengizinkan.
"Za, segera kembali, Papa ... arghh," terdengar suara rintihan nan berat diujung sana.
"Mita, Mit, Papa kenapa? Mita...." serunya gelisah.
Pet. Panggilan terputus.
Ezra tergesa bangkit dan pamit dari sana, sementara Dilara menampilkan raut wajah khawatir serta sorot mata sedih mengiringi langkah Ezra pergi, memikirkan kondisi pria yang ditolongnya.
.
.
...___________________________...
⭐⭐⭐⭐⭐