Teman-teman ini novel keduaku setelah Mencari Cinta Sejati. Dukungan teman-teman akan menjadi cambuk bagiku untuk hasilkan karya bagus. Kritik dan saran membangun sangat kubutuhkan.
Dimulai dari kisah nasib apes seorang gadis muda bernama Citra Ayu. Gadis muda ini terpaksa menikah dengan seorang CEO kaya raya berwajah rupawan. Selain tampan dan kaya CEO itu memiliki banyak penggemar.
Citra harus menikah dengan CEO kaya itu karena keluarga Lingga berhutang budi pada keluarga Citra. Bapak Citra meninggal karena menyelamatkan kakek CEO yang nyaris terbakar di jalan tol. Bapak Citra supir keluarga Lingga. Demi menjamin masa depan anak yatim piatu itu kakek CEO nikahkan Citra dengan cucunya yang terkenal dingin dan tak bersahabat.
Bagaimana nasib Citra selanjutnya? Hidup bahagia bersama CEO atau tercampakkan karena statusnya yang tak setimpal dengan CEO dambaan puluhan wanita.
Mohon dukungan. Bila suka jangan lupa beri tanda like dan vote. Terima kasih
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei Sandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejar Citra
"Terima kasih bro! Aku tak salah tempat."
"Itu gunakan sohib! Yok!"
Makanan di mana ditinggal merana. Sandwich tak tersentuh oleh Alvan. Hanya secangkir kopi hitam hangatkan perut laki itu. Perut Alvan sudah kenyang oleh amarah dan kesal pada Karin.
Mobil Alvan bergerak ke arah rumahnya. Dalam perjalanan tak banyak komunikasi antara dua cowok itu. Satu bertampang sangar dan satunya bertampang lucu lambang seniman gagal. Ciri khas Daniel berambut gondrong serta tawa ngakak yang selalu keluar bila ada hal lucu.
Dunia Daniel penuh warna. Laki itu nikmati hidup tak peduli seberapa pahit kenyataan hidup. Daniel berasal dari keluarga broken home. Bapak tenggelam dalam pelukan para kupu-kupu malam sedang mama seorang pecandu alkohol. Mabuk dua puluh empat jam. On terus. Daniel sendiri tak tahu bagaimana dia bisa tumbuh sebesar ini. Besar ditiup angin kali. Tidak butuh belaian kasih sayang orang tua. Untunglah Daniel masih punya Tante adik mamanya memberi secuil harapan arahkan Daniel ke jalan positif. Jadilah Daniel seniman gagal yang kelola cafe di atas lahan warisan.
Daniel memilih menunggu Alvan dalam mobil. Laki ini tak enak masuk rumah yang terpasang bom atom. Siap meledak kapan saja. Daniel tak mau jadi korban bom. Mati tanpa tanda jasa. Mati konyol. Solusi terbaik adalah menghindari area berbahaya agar selamat jiwa raga.
Alvan masuk rumah disambut Iyem di gadis gembrot. Gadis itu selalu berseri bila lihat tuannya yang ganteng. Tak punya hak memilki tak kerdilkan nyali Iyem berada dekat Alvan. Mengagumi bos bukanlah dosa asal tidak macam-macam.
Iyem berniat siapkan sarapan melihat wajah lelah sang majikan. Tuannya pasti capek kerja lembur sampai terkuras seluruh energi. Andai Iyem boleh menyentuh dada bidang tanpa lemak itu tentu tak keberatan mengurut rasa penat Alvan. Apa daya Iyem hanya boleh memandang. Haram menyentuh.
"Pak...Sarapan?" tanya Iyem sesopan mungkin.
Alvan menggeleng, "Tak usah..nona kalian pulang jam berapa?"
"Subuh pak! Diantar temannya. Nona sudah tidur."
"Mabuk?"
Iyem mangut kecil. Kecil sekali sampai Alvan tak lihat. Iyem tak enak hati buka keburukan majikan sendiri. Sejelek apapun Karin tetaplah nyonya rumah yang harus dihormati.
"Kau kembali kerja. Kalau nonamu bangun pesankan tak boleh pergi hari ini. Kalau pergi jangan balik sini lagi! Ingat itu."
Iyem meringis ketakutan. Menyampaikan pesan maut itu sama saja bunuh diri. Karin bisa cekik dia kalau menyampaikan kalimat Alvan. Karin bukan majikan kasar tapi tidak ramah pada pembantu. Salah sedikit ratusan kata kasar bertebaran seisi rumah. Pedih di kuping.
Alvan masuk kamar lihat Karin tergeletak di kasur bak orang mati. Pakaiannya masih sama dengan yang di foto. Make up di muka juga belum dihapus. Posisi Karin tidur terkakang perlihatkan paha mulus dan isi ************ tanpa tak tertutupi oleh ****** ***** yang seharusnya lindungi daerah vital wanita itu.
Alvan menggeleng salut pada mental bobrok Karin. Kenapa baru hari ini terkuak sifat liar Karin. Kenapa tak dari dulu? Sia-sia Alvan matian bela wanita itu. Katanya hamil tapi mabukan. Pantaskah seorang calon ibu melempar diri dalam bahaya? Bahaya untuk anak dan diri sendiri.
Alvan tak sudi buang tenaga dan pikiran untuk kuatir pada wanita itu. Merugikan diri sendiri. Alvan makin ilfil pada Karin. Andai benar anak dalam kandungan Karin anaknya Alvan akan tanggung jawab. Setelah wanita lahiran Alvan berjanji akan ceraikan wanita itu. Ayam loncat dipiara tetap tak hasilkan. Liar tetap liar.
Alvan bergegas mandi dan temui Daniel yang masih setia menanti dalam mobil. Laki itu menikmati musik remix dalam mobil sambil goyangkan badan ikuti irama menyentak membakar semangat kawula muda.
Alvan buka pintu mobil sebelah kanan masukkan tubuh gedenya ke dalam. Mobil terguncang kecil kena penumpang berbobot kokoh. Harum maskulin Alvan mencubit hidung Daniel. Harum lelaki jantan. Harum yang digilai semua wanita pemuja tampang ganteng cowok.
"Wah...segar lagi! Kupikir kena servis ajaib Karin."
Alvan mendengus terdengar nama Karin. Nama yang tak ingin di dengar Avan saat ini. Alvan tak mungkin cerita kalau Karin tertidur di ranjang tanpa pakai cd. Saking mabuk sampai lupa bawa pulang cd. Berapa laki masuki liang basah wanita itu?
Perut Alvan bergejolak ingin muntah bila ingat adegan dewasa Karin dengan laki lain. Masih untung Karin tak bawa pulang penyakit kelamin. Makin hancur Alvan bila terserang penyakit berbahaya itu. Makin jauh mimpi untuk menjadi seorang bapak.
"Kita ke rumah sakit!"
"Tidak hubung Hans dulu? Siapa tahu telat masuk atau ada jadwal operasi. Dokter kandungan kan jadwalnya tak tentu."
"Kau benar. Tolong hubungi dokter itu!"
"Kok aku? Yang berkepentingan lhu! Gue yang maju." sewot Daniel namun tangannya mencari ponsel dari saku celana. Benda warna hitam itu menyala disentuh Daniel.
Alvan pusatkan perhatian ke jalan memotong setiap ada cela untuk hindari macet yang akan makin gila. Jam kerja orang berlomba-lomba datang ke pusat tujuan tepat waktu. Ntah pelajar, ASN, atau pegawai kantoran. Semua ingin on time. Terlambat merupakan momok bagi semua orang. Berbagai sanksi menanti orang tak tepat waktu.
"Halo bro...lhu di mana?"
"Di rumah sakit. Tumben telepon?"
"Ini temani kawan lhu yang lagi remuk. Kami ke rumah sakit sekarang."
"Alvan? Datang saja! Ada yang ingin gue tanyakan pada orang itu."
"Lho kok sewot?"
"Dia ngapain Citra? Pagi sekali Citra datang resign dari rumah sakit."
"Nah lho! Emang kenapa resign? Bukankah kalian ada kontrak kerja? Resign waktu dibutuhkan. Bukankah melanggar kontrak kerja?"
Alvan melirik Daniel ingin tahu apa topik debatan antara dua orang itu. Siapa yang mendadak resign. Hati Alvan tergelitik ingin tahu.
"Siapa resign?" bisik Alvan pelan.
"Citra..." sahut Daniel menutup microphone ponselnya agar tak di dengar Hans.
"What? Kok bisa kabur?" seru Alvan tak sadar. "Hidupkan loudspeaker! Aku mau omong sama Hans."
Daniel aktifkan loudspeaker agar bisa dengar bersama semua pokok bahasan. Hans terdengar emosi waktu sebut nama Alvan. Apa hubungan Alvan dengan Citra sampai dokter muda itu hengkang dari tempat dia mengabdi selama beberapa bulan ini.
"Woi...ada apa ini?" tanya Alvan di ponsel yang dipegang Daniel.
"Pagi sekali dia serahkan surat mengundurkan diri. Alasan ingin melanjutkan S3."
"Kau percaya?"
"Tidak...dia aneh sejak jumpa denganmu! Kau ancam dia gara kamu tak subur? Itu bukan salahnya bro! Dia itu hanya dokter bantu lhu! Bukan ancaman."
"Cerewet...bagaimana janji kontrak kalian? Apa seorang dokter bisa keluar masuk seenak perut? Rumah sakit macam apa itu?"
"Dia kontrak dua tahun di sini. Tapi dia mendadak resign. Gue bingung."
"Tak ada pinalti memutuskan kontrak sepihak?"
"Ada sih tapi gue tak tega."
"Apa bunyinya?"
"Denda seratus kali gaji dan surat ijazah ditahan sampai habis masa kontrak. Gue tak tega terapkan pada Citra. Gue harusnya lindungi dia bukan menyusahkan hidupnya. Gue bingung."
"Kau belum teken setuju dia resign kan?"
"Ya belum. Sore ini dia akan balik ambil semua perlengkapannya di sini. Mungkin sekalian minta persetujuan resign."
"Ijazah masih ditahan?"
"Yang asli ada pada kita. Salinan ada padanya. Kau mau apa Van? Dia pergi ada hubungan denganmu bukan? Dia hanya seorang dokter. Jangan kau persulit dia!"
"Dia yang persulit aku! Dia belum janda sebelum ada ketok palu sidang." Kata Alvan tegas tak dipahami Hans.
Daniel pingin tertawa ingat wajah bloon Hans dengan kacamata melorot ke bawah hidung. Dokter itu mungkin sedang berpikir keras mengapa Citra tiba-tiba resign setelah jumpa Alvan. Ada apa Antara dua orang itu.
"Jangan gila Van! Citra itu wanita baik-baik. Dia bekerja dengan baik tak pernah bikin ulah kok. Aku sih tak rela dia pergi tapi dia mau lanjutkan kuliah."
"Kau percaya?"
"Percaya...dia bilang dua tahun dia akan balik."
Alvan tertawa geli dengar janji Citra pada Hans. Janji dua tahun pada Hans tapi padanya kabur selama sembilan tahun. Citra pergi tanpa kabar. Kembali berstatus dokter tapi mau kabur lagi. Apa tak capek kabur terus?
"Serahkan semua berkas dia padaku! Tunggu aku datang. Ingat jangan coba-coba kau serahkan semua berkas pada Citra. Atau kau kujemur sampai kering di depan rumah sakit."
Alvan menepis ponsel Daniel tanda tak ingin ngobrol lagi. Alvan langsung putar kepala mobil ke satu tempat yang tak diketahui Daniel. Untuk sejenak Alvan melupakan rasa benci pada Karin. Di depan mata ada perburuan menarik memicu adrenalin Alvan melonjak ke atas.
Mengapa Citra mau kabur lagi padahal Alvan tak berniat usik hidup Citra. Kalaupun mau pisah maunya secara resmi dan damai. Apa yang ditakuti wanita itu. Sedemikian bencinya dia pada Alvan sampai ogah berhubungan walau sebagai dokter dan pasien.
Alvan menghentikan mobil di depan rumah type 70 sangat sederhana. Perumahan type kecil semua walau cukup asri. Lingkungan lumayan bersih tak tampak sampah menumpuk. Setiap rumah ada pagar setinggi dada lelaki. Ini tentu untuk menjaga keamanan setiap penghuni rumah dari incaran maling atau orang iseng.
Mata Alvan liar selidiki rumah yang dimaksud. Suasana sepi tak ada tanda kehidupan dalam rumah itu. Sedikit ragu Alvan turun dari mobil mencoba buka pagar rumah itu. Tidak terkunci hanya dikaitkan pada engsel pintu pagar.
Daniel ikutan turun walau masih dipenuhi tanda tanya rumah milik siapa di datangi CEO galau itu. Belum kelar dengan Karin kini harus mencari Citra yang masih berstatus isterinya.
Alvan berhasil masuk sampai ke depan rumah. Di teras bersandar dua unit sepeda anak-anak. Satu model cowok dan satunya model cewek. Di depan pintu juga ada sandal anak-anak dua type. Satu agak gede dan satunya lagi mungil tanda pemilik kakinya kecil. Barang-barang anak siapa? Apa ini benar rumah Citra seperti yang tertera pada CV wanita itu.
Alvan melirik kiri kanan cari tahu apa yang bisa nyatakan itu rumah Citra. Tak ada istimewanya selain banyak tanaman herbal di tanam depan rumah dan peralatan anak kecil. Bola kaki dan skateboard warna hijau tergeletak di teras.
"Rumah siapa Van? Selingkuhan? Miris amat lhu sembunyikan di tempat gini!" usik Daniel
"Diam..." bentak Alvan penasaran dengan hidup Citra. Wanita ini benar kawin lagi setelah pergi dari hidupnya. Siapa laki beruntung yang sunting gadis pencinta kuliner itu. Sekarang sudah jadi dokter lagi. Siapa yang dampingi dia merupakan laki pilihan. Sayang Alvan lewatkan kesempatan baik itu.
"Hei...siapa kalian?" terdengar seruan dari samping rumah sebelah bernada suara mirip Lucinta Luna.
Alvan dan Daniel menoleh ke arah suara feminim dibuat-buat dengan sigap. Seorang manusia model dakocan kenakan baju baby doll plus celana ketat. Alvan dan Daniel lihat jelas ada tonjolan di depan dada tanda orang itu cewek. Cuma profil seorang cewek tulen masih diragukan.
"Maaf nona! Ini rumah dokter Citra?" tanya Daniel cepat sadar kalau mereka sedang berhadapan dengan makhluk ampibi. Panggilan nona naikkan ujung hidung menantang langit.
"Oh benar! Mas mas ini siapa ya?" suaranya berubah lembut biar tampak lebih feminim.
"Kami ini pasien dokter Citra. Kami mau konsultasi penyakit kami tapi dokter tak masuk kerja maka kami datang." Daniel pura-pura menyesal tak ketemu Citra di rumah sakit.
"Gitu ya! Mbak Citra lagi ke sekolah Azzam dan Afifa untuk minta ijin libur ke Jogja. Azzam dan Afifa ada di rumahku.bsk titip mereka sebentar. Mau jumpa?"
"Azzam dan Afifa? Anak Bu dokter?" tanya Alvan dengan hati-hati.
Mata makhluk ampibi itu mengarah pada Alvan menatap laki itu lekat-lekat seperti wajah Alvan ada objek menarik.
"Mas ini mirip Azzam. Azzam juga tinggi. Matanya sama, rambutnya sama. Jangan-jangan mas ini Daddy Azzam dan Afifa yang kabur tak mau tanggung jawab." mulut dower makhluk itu ngoceh bikin jantung Alvan berpacu lebih kencang. Tuduhan makhluk aneh itu mengetok kesadaran Alvan akan sesuatu.
"Boleh panggil anak Bu dokter?" Lagi-lagi Daniel sadar diri meneruskan pancingan. Ikan homogen macam tetangga Citra harus pandai diberi umpan agar masuk jeratan.
"Boleh tapi tak boleh dibawa. Boleh jumpa doang!"
"Terima kasih nona cantik."
rayu Daniel memancing banci kalengan itu agar bersikap ramah.
"Sama-sama mas! Tunggu ya! Zam....Woi Zam...sini! Ada tamu mami kamu!" seru banci itu pakai suara power namun masih pakai intonasi suara cewek.
"Siapa?" Seorang pemuda tanggung muncul dari pintu rumah sebelah. Di belakang susul gadis kecil berkulit putih bersih berwajah imut. Yang laki lebih tinggi dari yang cewek. Tubuh si cowok cilik padat berisi gagah layak pemuda beranjak remaja. Sedang yang cewek mungil berbadan sehat.
Netra Alvan nyaris keluar lihat sosok yang dipanggil Azzam. Tak ubah seperti Alvan di masa kecil. Mata anak itu coklat muda dan rambut sedikit pirang. Raut wajah sebelas dua belas dengan Alvan. Yang gadis mirip Alvan juga terutama lesung pipit di pipi kiri kanan. Alvan juga punya lesung Pipit cukup dalam.
"Cari siapa Om?" tanya si bujang kecil mantap. Sinar matanya tajam cerminkan kecerdasan lelaki tulen. Suaranya berwibawa memadamkan pamor Alvan.
dah namanya di talak ya sah la sudah bercerai..talak jatuh selepas anak lahir...kalau namanya nak rujuk kena nikah semula...rujuk berlaku dalam masa edah sahaja...
kalau tak salah
maaf ya Thor hanya bagi tahu sahaja