NovelToon NovelToon
Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Dear, Please Don'T Buffer In My Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Sistem / Cinta Seiring Waktu / Berondong
Popularitas:758
Nilai: 5
Nama Author: Bechahime

Saat hidup dikepung tuntutan nikah, kantor penuh intrik, dan kencan buta yang bikin trauma, Meisya hanya ingin satu hal: jangan di-judge dulu sebelum kenal. Bahkan oleh cowok ganteng yang nuduh dia cabul di perempatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bechahime, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kenyataan Pahit Yang Menggemaskan (Bagian 1)

Setelah kejadian kencan buta bareng katalog old money yang meninggalkan trauma terhadap kata-kata yacth, aku bersumpah akan memblok semua usaha mak comblang dari siapapun, termasuk Tante Wira, Driver ojek langganan, sampai algoritma Instagram yang suka nanya “Find single in your area.”

Tapi sumpah itu tidak kuat melawan satu sosok:

Mas Tegar.

“Meisya, lo tuh cocok sama cowok yang pinter, nggak drama, bisa diajak ngomong—kayak ini nih, tender jodoh gue kemaren.”

Lalu dia menunjukan foto si calon dari galeri HP-nya dengan bangga seperti sudah nemu bayi unicorn di pinggir jalan.

“Dia nyambung, lucu, pintar. Trust me. Sumpah, kayaknya lo bakal klik banget sama dia, dan gue udah pastiin dia sesuai sama standar lo yang gak balas chat ‘wkwk’ pas lagi ngomong serius.”

GAK BALAS WKWK.

Alasan yang jadi bumerang bagiku. Aku gak habis pikir. Bisa-bisanya Mas Tegar nanya pertanyaan absurd gitu sama si cowok. Yang lebih gilanya malah di ladenin.

“Nggak dulu deh, Mas” tolakku dengan nada sopan.

“Kata lo kemaren oke, sekarang malah nolak.”

“Gue lagi gak mood buat kencan buta, Mas.”

“Tapi gue udah menangin tendernya, bahkan gue udah menyanjung lo setinggi-tingginya biar dia tertarik.”

Aku memegang kepala. Masalahnya adalah aku gak mungkin memberi tahu Mas Tegar soal Si Pandu yang udah ninggalin trauma dihatiku.

“Gue gak mau tau, pokoknya lo harus datang”

Aku masih nolak. Dia masih ngotot. Sampai akhirnya aku kehabisan alasan dan lelah juga jadi bahan leluconan di grup chat kantor. Aku menyerah.

Itulah mengapa, malam ini aku duduk di sebuah kafe. Menunggu manusia asing yang dimenangin oleh Mas Tegar. Yang sudah diyakininya bakal klik denganku. Aku duduk diam dengan jantung pasrah dan niat kabur jika perlu.

Dia datang.

Dan suprisingly… tidak buruk.

Tampilan rapi. Wangi parfumnya kayak campuran toko buku dan hujan pertama. Pembawaannya tenang. Obrolan awalnya?

Ringan dan menyenangkan bahkan sedikit filosofis—tentang bagaimana hidup harus dinikmati. Hidup bukan panggung olimpik yang perlu persaingan. Bukan juga untuk di kejar-kejar.

“Jadi lo kerja di bagian finance?” dia memulai ngobol dengan ramah.

Bahkan saking ramahnya. Pelayan di kafe itu terus-terusan nyuri pandang ke dia, apalagi saat mata mereka bertemu dia langsung pamer senyum pepsodent.

“Iya di perusahaan yang sama dengan Mas Tegar.”

“Nggak heran sih, lo terlihat pintar dan tampilan lo juga feminim manis gitu.”

Aku tersipu malu. Aku ambil kopi yang ada di depanku dan dengan canggung menyesapnya pelan.

‘Oh Tuhan, apa ini akhirnya? Karena kemaren ketemunya yang absurd mulu, makanya sekarang baru ketemu yang normal?’

“Mas Tegar bilang lo gak pernah pacaran, tapi masak sih? Gue gak percaya.”

“Itu karena waktu sekolah gue fokus belajar sampai kuliah, habis itu gue fokus karir.”

“Oh, gue kirain karena alasan yang lain.”

“Misalnya?”

“Misalnya lo dulu belum se-glow up sekarang, tapi kayaknya gak mungkin deh.”

AKU PENGEN PUKUL BANTAL.

‘Dia bilang gue glow up. Manis banget mulutnya.’

Tapi entah kenapa trust issue ku kambuh. Entah mengapa aku merasa gak mungkin dia se-normal itu.

Tapi…

‘Kayaknya yang ini…gak buruk ya?’

Namun pemikiran ku berubah dengan cepat. Secepat tarikan ingus.

“Sebenarnya gue baru putus dari mantan gue, makanya gue mau ketemu orang baru.”

…oke.

“Dulu mantan gue juga suka kopi manual brew.”

…hmmm.

“Lucunya, dia juga punya lesung pipi kayak lo.”

… what?

“Dia yang ngajarin gue cara baca body language waktu ngobrol. Makanya gue bisa tau kalau lo nyaman.”

…OKE.

“Tapi ya dia ninggali gue pas lagi sayang-sayangnya. Tapi gue gak nyalahin dia. Walaupun sebenarnya dia salah. Harusnya kalau ada yang salah dia ngomong. Gak ngilang gitu aja. Tapi gak apa-apa. Gue udah maafin kok.”

Dan akhirnya—meledaklah bom itu.

Dia. Belum. Move. On.

Setengah jam berikutnya berubah menjadi talkshow privat.

Judulnya: “Luka lama, Cinta Belum Selesai.”

Host: Dia

Penonton dan kamera: aku.

Makanannya? Masih belum datang.

Dan aku…sudah memesan mental escape ke Bali, tapi cuma dalam hati. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti,

“Gue tuh orangnya totalitas tanpa batas. Dulu gue sama mantan gue pernah….”

Atau.

“Gue bukan buru-buru nyari peganti, ya, cuma kadang ada luka yang nggak bisa hilang…”

Lanjut.

“Mungkin lo bisa ngerti gue, karena lo kelihatannya dewasa.”

‘GUE KELIHATAN DEWASA KARENA EMANG UMUR GUE SUDAH 30 MAS, DI TAMBAH GUE GAK LARI SAAT LO CERITA 45 MENIT TENTANG MANTAN LO, MAS.’

Aku cuma duduk sambil menyeruput air putih pelan-pelan dan berharap ada gempa kecil biar bisa bilang,

“Maaf, gue harus pulang. Rumah gue gak gempa friendly.”

Aku mencoba mengalihkan topik.

“Eh, lo suka nonton film juga nggak?”

Dia menjawab, “Iya. Dulu gue sama dia suka banget nonton film minggu malam…”

Aku kapok.

…AKU TIDAK AKAN LAGI MENGAJUKAN PERTANYAAN.

Dia terus bernostalgia soal dia dan mantannya, sementara aku sudah menyusun tiga skenario kabur.

Pertama, tiba-tiba pura dapet telpon dari mama, “Maaf, gue harus pulang. Soalnya barusan kucing gue loncat dari kulkas dan bikin short listrik.”

Kedua, minta bill, bayar sendiri dan lari pakai alasan ‘gue tipe mandiri’.

Atau ketiga, menyamar jadi waitress dan pura-pura kerja di restoran.

Tapi yang aku lakukan adalah… tersenyum. Menahan diri untuk tidak melempar kopi panas ke wajahnya. Lebih baik menjadi manusia yang bisa memaafkan. Karena sisa harga diri ini harus aku rawat biar gak ambrol bareng harga tiramisu di sini.

Setelah penyiksaan yang mengeruas energi dan hampir merenggut akal sehatku, akhirnya pertemuan kami sampai ke ending. Saat hendak berpisah dia bilang,

“Senang bisa ngobrol, lo orangnya pengertian banget.”

Aku cuma jawab dengan senyum. Geleng-geleng kecil sambil membatin,

‘Iya mas, gue sabar. Bahkan malaikat pun kalo denger lo cerita, udah turun ke bumi buat nyelametin gue.’

Kami saling berpisah di parkiran, dia menawarkan untuk mengantarku pulang tapi aku tolak dengan sopan. Aku sudah bisa membayangkan cerita soal mantan yang gimana lagi yang akan di katakannya, seandainya aku setuju pulang bareng.

Di jalan pulang, aku ngajak Rahma buat ketemuan di kedai boba langganan.

“Pokoknya lo harus jadi saksi bisu penderitaan gue” ujarku.

Aku sampai duluan.

Sepuluh menit kemudian Rahma datang dengan outer panjang dan baju yang terlihat seperti baju tidur.

Kami duduk di pojokan strategis dekat stop kontak, dimana aku dan Rahma biasa adu nasib seperti dua wanita 30an yang butuh terapi tapi milih diskon Shopee.

Aku duduk sambil menyeruput minuman favorit—boba rasa taro dengan es yang udah agak cair, kayak impian hidupku yang mencair pelan-pelan dibawah tekanan sosial.

Rahma duduk di depanku dengan ekspresi siap mendengarkan… sambil nyedot boba kayak lagi nyedot masa depan orang.

“Gue udah gak kuat, Ma.”

Aku mulai dengan pembukaan khas telenovela.

“Lagi, Bund? Kalau hidup lo tuh di jadiin sinetron, judulnya ‘Pahit Manis Boba tea Tanpa Cinta’.” balas Rahma santai, sambil ngunyah boba kayak nggak ada empati sama kesedihanku.

“Ma, gue beneran, ya. Gue capek. Capek di umur 30 ini semua orang lebih panik dari gue soal status hubungan gue. Mama. Tante Wira, bahkan tukang sayur tuh kayak ngeliatin gue sambil pasang background musik sedih, tau gak?”

“Yah, siapa suruh lo cakep tapi jomblo. Orang ngira lo main pilih-pilih. Padahal…emang iya, sih.”

Aku menyipitkan mata.

“Bisa nggak sih, lo diem dua detik aja sebelum nyinyir?”

Rahma ketawa, gak merasa bersalah sama sekali.

“Tapi serius, udah kayak emergensi nasional gak sih, hidup lo? Dari kencan cowok narsis yang nyebut yacth, padahal lagi makan di tempat yang makan pake sendok plastik, bahkan yang tadi, lo bilang awalnya normal tapi malah lo cosplay jadi konsultan cinta.”

Aku mendesah keras, lalu mendongak dramatis ke langit-langit kedai.

“Kenapa sih Ma… kenapa setiap kali gue coba buka hati, isinya malah nambah trauma baru?”

Rahma menyeruput lagi, lalu nyengir.

“Karena Tuhan tahu lo suka drama. Jadi dikasih season baru tiap coba jatuh cinta.”

“Ma… lo…”

“APA?”

“Gue nangis nih.”

“Tapi lo juga ketawa.”

“Ya itulah hidup gue sekarang, Ma.”

Menangis sambil tertawa. Tertawa sambil berduka. Hidupku absurd.

Masih dalam suasana melow drama, tiba-tiba ponselku bergetar dan menunjukan chat dari mama.

My Mom:

“Nak, itu ada anak temen arisan Mama. Cakep, baru balik dari amerika. Namanya Keanu. Dia katanya suka cewek mandiri. Mama kasih nomormu ya….”

Aku mengangkat wajah dengan tatapan kosong.

“MA, GUE DIJODOHIN LAGI SAMA MAK GUE DENGAN ANAK TEMEN ARISANNYA, NAMANYA KEANU.”

Rahma nyaris tersedak boba.

“KEANU? KEANU REEVES?”

“KEANU SUGIANTO” jawabku kesal.

“HAHAHA. Ya ampun itu plot twist.”

1
nide baobei
berondong gak tuh🤣
kania zaqila
semangat thor💪😊
nide baobei
ya ampun meisya🤣🤣🤣
nide baobei
ngakak🤣🤣, semangat thor💪
nide baobei
🤣🤣🤭
nide baobei
udah pede duluan🤣🤣
nide baobei
🤣🤣🤣 si meisya lucu banget
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!