Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.
Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.
Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.
Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Barang Najis dan Malapetaka
...Chapter 7...
Bukanlah makhluk biasa, melainkan sebuah teka-teki terkutuk karena terlahir dari kegelapan absolut sebelum menjelma melalui kenajisan yang dibawa manusia.'
Tsuuuuf!
'Menurut catatan dalam game, Ar’tushamth tidak serta-merta menyerang.
Ia mengamati terlebih dulu, menyusup ke benak para murid, mengacaukan konsentrasi mereka, menimbulkan kecurigaan dan tuduhan di antara mereka, sampai akhirnya salah seorang dari mereka hilang kendali dan menghajar temannya sendiri.
Dari sanalah malapetaka dimulai—perut terkoyak, darah memercik di lantai aula, dan jeritan yang terus terdengar bahkan setelah tubuhnya tak lagi bergerak.
Beberapa murid berusaha menjadi pahlawan.
Mereka mendahului Ilux, berlagak gagah untuk membuktikan diri di depan dewa yang tak mereka pahami.
Dan seperti yang dapat diduga, mereka berakhir tercincang.
Tersobek, terkoyak, berantakan.
Dunia game ini sungguh tanpa ampun.'
Skenario awalnya semestinya begitu.
Sebuah awal yang tragis namun megah, dirancang untuk menandai kebangkitan pertama sang pahlawan muda dari kegelapan.
Di Akademi Bintang, tempat segala hal tentang Inti Lu dan kemuliaan Human Change dipelajari dengan penuh kesombongan, seorang siswa tanpa nama melakukan kesalahan yang tampak sepele.
Ia mendistribusikan sesuatu yang disebut sebagai barang najis—benda yang dalam dunia Flo Viva Mythology tidak hanya tercemar secara fisik, tetapi juga spiritual.
Benda itu bukan sekadar artefak terlarang.
ia adalah cermin kecil dari sesuatu yang tak seharusnya diketahui manusia.
Dalam satu hari, keseimbangan akademi yang megah itu hancur.
Aura suci tempat itu runtuh menjadi bau darah, dan dari celah-celah kenyataan muncul entitas yang bahkan para pelajar elit pun tidak sanggupi untuk menatap langsung.
Entitas itu bernama Ar’tushamth.
Dalam catatan lama dunia game, makhluk ini bukan sekadar monster, melainkan anomali eksistensial.
Ia berdiri di antara roh dan materi, antara nyata dan tidak nyata.
Tak bisa disebut hidup, tapi juga tak bisa disebut mati.
Ia adalah teka-teki yang menertawakan batas antara Tuhan dan manusia, antara pencipta dan ciptaan.
Ketika ia menampakkan diri, langit Akademi Bintang membiru tua bagai lautan yang kehilangan dasar, dan tanah di bawah kaki para siswa mendesis seolah menolak menanggung keberadaannya.
Tak ada yang tahu bentuk sejatinya.
Setiap orang yang menatap Ar’tushamth melihat sesuatu yang berbeda—bagi satu orang mungkin wujud malaikat, bagi yang lain mungkin bayangan iblis.
Dan di saat kekacauan itu mencapai puncaknya, satu demi satu siswa mulai berjatuhan.
Bukan karena luka fisik, melainkan karena pikiran mereka dihancurkan oleh kontradiksi makhluk itu sendiri.
Dengan jantung berdebar kencang, Theo menyaksikan peristiwa itu dari balik layar komputernya.
Ia tahu seluruh rangkaian kejadian ini seharusnya terjadi, bahkan hafal urutannya hingga ke detik-detik terakhir.
Jeritan murid yang kehilangan tubuh, darah nan menetes tapi tidak jatuh ke tanah melainkan mengapung di udara seperti kaca cair, dan suara tawa Ar’tushamth yang terdengar dari segala arah sekaligus—semuanya bener-bener mendebarkan.
Theo ingin menutup mata, tapi matanya menolak.
Game ini menuntutnya untuk menyaksikan.
Game ini ingin ia menjadi bagian dari narasi yang dulu hanya ditulis ulang untuk hiburan.
Dan di puncak kegilaan, datanglah Ilux Rediona.
Anak yatim dengan tatapan yang dulu Theo anggap terlalu polos untuk dunia kejam.
Ia berjalan di antara kobaran hijau api spiritual tanpa goyah, dengan Inti Lu yang bergetar seirama dengan denyut bumi.
Pertarungan pun dimulai, seperti yang Theo ingat—namun lebih sunyi, lebih sakral, dan jauh lebih brutal.
Setiap gerakan Ilux adalah doa, setiap serangan Ar’tushamth adalah kutukan, dan di antara keduanya dunia berguncang mencari keseimbangan.
Theo tahu bagaimana kisah ini berakhir.
Ar’tushamth akan dikalahkan, Ilux akan bangkit sebagai simbol harapan, dan arc pertama episode ketiga akan ditutup dengan kemenangan pahit.
‘Sial, ini benar-benar di luar skenario. Seharusnya Ilux sudah mendapatkan Mahtu sejak pertengahan episode pertama, hasil sebuah tawar-menawar gila yang membuat pemain mana pun berpikir dua kali untuk terlibat.
Tapi sekarang, barang itu dihancurkan, secara tidak sengaja, oleh seorang pembeli tolol yang bahkan tidak mengerti nilai benda yang dipegangnya.
Dan yang lebih parah, dia lari.
Kabur, brengsek, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Masih kuingat betul betapa pentingnya Mahtu.
Benda itu bukan sekadar komponen.
Itu adalah satu-satunya material yang bisa menembus eksistensi Ar’tushamth, sebuah entitas yang bahkan lima lantai hierarki Human Change di Akademi Bintang bisa menyentuhnya—setidaknya tanpa menerima akibat.
Tapi sial, bahan utama untuk membuat Mahtu sekarang kosong.
Diperlukan tiga bulan untuk stoknya tersedia lagi.
Sementara kemunculan Ar’tushamth di Akademi Bintang? Hitungan jam, atau kalau nasib sedang sial, hitungan menit.'
Fuuuuuh!
'Pilihan lain? Tidak ada.
Aku bahkan sudah jungkir balik mencari jalur alternatif di catatan game-ku, tapi tidak satu pun yang bisa menggantikan fungsi Mahtu.
Ar’tushamth bukan makhluk yang bisa dikalahkan dengan sihir, pedang, atau strategi tempur biasa.
Tanpa Mahtu, Ilux akan mati di sana. Dan jika Ilux mati, aku tidak tahu apa yang akan terjadi pada dunia ini.'
Suuufhh!
'Jadi mau tidak mau, aku harus mengambil langkah yang paling tidak ingin kuambil—meminta bantuan Erietta Bathee.
Ya, wanita menyebalkan yang kerjanya cuma mengajak duel setiap kali kami bertemu, bahkan di tempat yang tidak masuk akal, seperti pasar, atap menara, atau ruang latihan kosong.
Setiap kali.
Namun kali ini, aku harus berbicara dengannya.
Bukan untuk duel, tapi untuk berunding.
Awalnya, dia menatapku seperti biasa, datar, dingin, seolah aku hanyalah seekor lalat yang terlalu berisik di telinganya.
Kujelaskan semuanya—tentang Ar’tushamth, Mahtu yang rusak, dan Ilux yang akan bertarung tanpa senjata utama.
Dan dia hanya diam.
Untuk waktu yang lama.
Sampai akhirnya, dia menarik napas pelan, berkata bahwa dia akan menolong Ilux, asalkan kutepati janji untuk mencarikan bahan utama Mahtu dan menukarkannya sendiri ke pandai besi yang tahu rahasia pembuatannya.’
Akan tetapi, takdir yang mestinya berjalan mulus selalu punya cara untuk mencibir manusia—atau siapapun yang mencoba menulis ulangnya.
Dalam game, seharusnya Ilux membeli senjata suci Mahtu—sebatang kayu tajam nan diruncingkan dari akar langit, benda yang mampu menusuk jantung roh nonmateri seperti Ar’tushamth—dari seorang pedagang tua di distrik bawah Akademi Bintang.
Tapi kenyataan kali ini berjalan berbeda.
Di pasar yang berdenyut riuh oleh suara tawar-menawar dan desir angin sihir yang mengangkut aroma arang serta logam, Mahtu justru patah.
Seorang pembeli tak bertanggung jawab—mungkin NPC, mungkin bukan—menyentuhnya terlalu keras, mematahkannya bak ranting rapuh, lalu kabur tanpa menoleh sedikit pun.
Retakan itu bukan hanya retakan benda, melainkan retakan naskah.
Sesuatu nan seharusnya kokoh dalam alur kini runtuh menjadi serpihan absurditas.
Dan lebih parahny, bahan utama pembentuk Mahtu, yaitu serat dari pohon Vynara berumur seratus tahun, sudah punah dari pasar setidaknya selama tiga bulan ke depan.
Padahal pertempuran Ilux melawan Ar’tushamth akan berlangsung dalam hitungan jam.
Theo membeku, lalu tertawa kecil—tawa getir seseorang yang sadar ia sedang berdiri di antara “seharusnya” dan “kenyataannya.”
Dunia ini tidak lagi tunduk pada pengetahuannya.
Ia tidak lagi penulis yang mengatur segalanya dari balik layar, melainkan pion nan diseret oleh cerita yang sedang berontak.
Di tengah kekacauan itu, satu nama melintas di benaknya.
Erietta Bathee.
Gadis yang selama ini menghantui langkahnya dengan tatapan datar dan obsesi duel nan aneh, selalu muncul di tempat yang tidak seharusnya.
Di koridor sepi, di atap gedung akademi, bahkan di ruang bawah tanah tempat Theo menulis catatannya.
Bersambung….