NovelToon NovelToon
Istri Rahasia Sang CEO

Istri Rahasia Sang CEO

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Seiring Waktu / Romansa / CEO
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Rienss

“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pak Dirga?

Hujan barusaja reda ketika mobil yang membawa Alan masuk ke kawasan pelabuhan tua di pinggiran ibukota. Begitu mobil berhenti di dalam sebuah gudang tua, seorang pria bertubuh tegap dengan pakaian serba hitam langsung mendekat dan membukakan pintu untuk pentolan Zeal Industries yang terkenal dingin itu.

Tak lama berselang, Rico muncul dari balik pintu besi besar bersama beberapa orang anak buahnya. Mereka menyeret tiga pria dengan penutup wajah yang kedua tangannya terikat di belakang.

Begitu tiba di hadapan Alan, Rico membungkuk memberi hormat.

“Semua pelaku sudah kami tangkap, Tuan,” ujar Rico menatap ketiga penjahat yang dipaksa berjongkok di hadapan Alan.

Alan mengangguk kecil. “Buka penutup wajah mereka.”

Rico memberi isyarat, salah satu anak buahnya kemudian menarik kain penutup wajah para penjahat dengan kasar.

Wajah ketiga pria itu tampak babak belur, penuh dengan luka dan bekas  darah yang mengering.

Alan mendekat. “Jadi kalian yang mencoba menghabisiku hari itu?”

Tidak ada yang menjawab, hanya bunyi napas berat salah satu dari mereka yang tengah bergerak gelisah.

Alan berjongkok di depan salah satu pria. “Katakan. Siapa otak di balik aksi kalian?”

Pria itu menelan ludah dan terlihat gemetar.

“S_saya tidak tahu, Pak. Kami hanya disuruh mengikuti perintah,” ujarnya terbata.

Alan menatapnya lama, kemudian tersenyum dingin. “Perintah siapa?”

Tak ada jawaban.

Alan berdiri dan menatap Rico. “Tunjukkan pada mereka apa yang terjadi jika aku kehilangan kesabaran.”

Rico mengangguk. Kemudian dua anak buahnya menarik salah satu penjahat itu ke sudut ruangan.

BRAK!

Aaaaargh!

Suara benda logam beradu dibarengi dengan suara jeritan singkat menggema, lalu hening lagi.

Alan menatap dua penjahat lainnya.

“Kuulangi pertanyaanku sekali lagi,” ucapnya dengan nada menekan. “Siapa yang menyuruh kalian?”

Salah satu penjahat itu menggeleng, ketakutan tergambar jelas di wajahnya. “Kami... kami tidak bisa mengatakannya, Tuan.”

“Kalau kami buka mulut, kami pasti mati,” timpal penjahat lainnya..

Alan mencondongkan tubuh lebih dekat hingga wajahnya dengan salah satu penjahat hanya sejengkal. “Dan dengan memilih diam, kalian pikir akan hidup lama di depanku?”

Pria itu menggigit bibirnya hingga berdarah. Ia membuka mulut seolah ingin bicara. Tapi beberapa detik kemudian ia terbatuk keras dan tubuhnya mendadak kejang.

“Tuan! Mereka...” seru Rico refleks mendekat.

Namun beberapa detik kemudian pria itu ambruk ke lantai dengan mulut mengeluarkan busa. Dan di detik berikutnya satu pria lainnya menyusul, mengalami hal yang sama.

“Sial!” Alan menggeram kesal, membuang wajahnya ke samping.

Sementara Rico berlutut untuk memeriksa denyut nadi mereka. “Mereka bunuh diri, Tuan.”

Alan mundur selangkah, menatap tubuh yang terbujur di lantai itu dalam diam. Ia lalu menatap Rico. “Lanjutkan penyelidikanmu, Ko,” titahnya dingin. “Aku ingin tahu siapa yang begitu menginginkan kematianku kali ini.”

“Siap, Tuan.”

Alan berbalik tanpa menoleh. Begitu mobil yang membawanya keluar dari gudang, pintu baja bangunan tersebut kembali tertutup perlahan. Di dalam mobil Alan mengepalkan kedua tangan di pangkuan. Ia bertekad untuk tidak akan melepaskan siapapun yang berani mengusiknya kali ini.

*

Satu tahun kemudian...

Jarum jam dinding baru menunjukkan pukul 05.30 ketika Tara berdiri di depan cermin kecil di sebuah kost-an sederhana di pinggiran ibukota. Ia memandangi pantulan dirinya dari kepala hingga ujung kaki, rambut sebahunya yang digerai rapi, setelan blus putih dengan rok span hitam selutut yang membungkus tubuhnya, serta sepasang sepatu flat yang sudah ia poles sejak semalam agar terlihat lebih pantas dipandang.

Bagi Tara ini bukan hari biasa.

Hari ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, ia akan menghadiri sesi wawancara kerja di salah satu perusahaan besar di ibukota, Zeal Indutries.

Dua hari lalu, ia begitu girang dan nyaris tak percaya ketika menerima surat panggilan dari pihat HRD perusahaan itu. Bahkan semalam ia hampir tidak bisa tidur karena gugup. Ia hanya berharap bisa memberikan kesan pertama yang baik.

“Ya ampun, Tara...” suara serak Fifi terdengar dari balik selimut di atas ranjang. “ Elo itu mau bantuin cleaning service bersih-bersih gedung dulu apa di sana? Kantor kayak gitu biasanya baru buka jam delapan, bego...”

Tara menoleh sebentar, menatap teman semasa SMA-nya yang masih terbungkus selimut seperti kepompong. “Aku nggak mau terlambat, Fi,” sahutnya sambil menata ujung blusnya sekali lagi.

Fifi menggeliat malas, membuka sebelah matanya. “Terlambat apanya... bahkan jam segini ayam jago ibu kost saja masih belum bangun, Tara...”

Tara hanya tertawa kecil mendengar komentar itu. Ia tahu ucapan Fifi ada benarnya. Tapi ia tetap tidak mau mengambil resiko.

Setahunya Ibukota itu terkenal dengan kemacetannya, apalagi di pagi hari. Ia tidak ingin kesempatan emasnya kali ini hilang begitu saja hanya karena terjebak di jalan. Jadi akan lebih baik dia datang lebih awal daripada terlambat sedetik saja, meskipun nanti di setibanya di sana ia masih harus menunggu lama.

Fifi kembali menarik selimutnya. “Serah lo, deh. Gue mau bobok sebentar lagi,” gumamnya seraya berguling membelakangi Tara.

“Lho kok tidur lagi. Kamu nggak kerja?” tanya Tara mengingatkan.

“Gue masuk shift siang hari ini,” jawab Fifi yang kemudian menarik selimutnya lagi hingga menutupi kepala.

Tara hanya menggeleng pelan melihat kelakuan gadis itu. “Ya sudah. Aku berangkat sekarang ya, Fi. Takut ketinggalan bus.”

“Hmm...hati-hati,” sahut Fifi bergumam. Ia lalu menambahkan, “Good luck, ya Ta.”

Tara tersenyum sebelum akhirnya melangkah menuju pintu.

Begitu pintu kamar kost itu terbuka, hawa dingin pagi langsung menyambutnya. Tara merapatkan jaketnya serya melangkah turun dari tangga. Hatinya berdebar lebih kencang kali ini. Ia hanya berharap bisa melewati hari ini dengan baik

Di dalam bus, Tara menggenggam erat map cokelat berisi berkas lamaran di pangkuannya. Ia berulang kali juga memeriksa isi surat panggilan wawancara, memastikan ia datang di tanggal dan waktu yang tepat.

Ketika akhirnya bus yang membawanya berhenti di halte depan Zeal Industries, Tara bergegas turun. Ia sempat kembali tertegun menatap gedung pencakar langit di hadapannya itu. Bangunan dengan logo besar bertuliskan Zeal Industries Group itu tampak berkilau memantulkan cahaya pagi, menjulang gagah di antara gedung-gedung yang lain.

“Bismillah,” gumamnya memulai langkah masuk ke area gedung. Ia sempat merasa canggung ketika melewati pintu kaca otomatis menuju lobby yang terasa dingin.

Tara menghampiri meja resepsionis dan menyampaikan tujuan kedatangannya. Dan sebentar kemudian pegawai itupun meminta Tara ke lantai 17.

“Nona silahkan ke lantai 17, ruang tunggu HRD. Interview akan dimulai pukul delapan. Gunakan lift di sebelah kanan.”

“Terima kasih,” ujar Tara sebelum melangkah pergi.

Di perjalanan menuju lift, Tara terlihat semakin gugup. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan ‘Bagaimana jika’. Bagaimana jika ia gagal? Bagaimana jika ia justru akan menjadi bahan tertawaan karena hanya lulusan D1.

Begitu tiba di depan deretan lift, Tara terlihat semakin gugup. Di hadapannya terdapat tiga pintu lift besar dengan panel digital yang menampilkan angka-angka yang terus berubah. Ia memandangi tombol-tombol di dinding, tak tahu harus menekan yang mana.

Beberapa orang berdasi terlihat keluar dari salah satu lift sambil berbincang. Beberapa dari mereka sempat melirik dengan tatapan heran ke arah Tara yang masih berdiri kaku di tempatnya seperti patung.

Seketika wajah Tara memerah karena malu.

Tara menelan ludah sembari menatap kembali ke panel tombol di depannya. “ Ya Tuhan... apa aku naik tangga manual saja ya,” gumamnya mencari solusi. “Tapi lantai 17... bisa-bisa aku pingsan di tengah jalan! Mana belum sarapan lagi tadi.”

Tara menghela napas, berusaha meneguhkan hatinya yang kalut.  “Ayo, Tara. Jangan gugup,” bisiknya pelan. Ia lalu menjulurkan tangannya kembali hendak menyentuh salah satu tombol.

Ting

Tiba-tiba pintu lift sebelah terbuka. Tampak seorang pria berpenampilan trendy, kaos turtleneck panjang yang dipadukan dengan celana chino.

“M_mas...” panggil Tara memberanikan diri.

Pria itu seketika menoleh, menghentikan langkahnya tak jauh dari Tara. Matanya menelusuri penampilan gadis itu sejenak.

“Kamu panggil saya?”

Tara berdecak, memangnya siapa lagi yang dia panggil selain pria itu. Saat ini tak ada orang lagi di sana selain mereka berdua.

“Iya, Mass...” jawab Tara cepat. Ia lalu maju selangkah lebih dekat dengan pria tersebut. “Mas, bisa saya minta tolong?”

Pria itu tak menyahut, hanya memiringkan kepala sedikit menunggu kelanjutan ucapan Tara.

“Saya... saya mau ke lantai tujuh belas, tapi... saya tidak tahu cara menggunakan lift,” lanjut Tara jujur. Baginya lebih baik malu sebentar daripada harus terlambat tiba di ruang HRD.

Ia menatap ke arah lift di hadapannya sebentar sebelum pandangannya kembali ke pria itu. “Bisakan Masnya tolong saya? Saya takut kesasar, Mas.”

Sekilas bibir pria itu terangkat, seperti sedang menahan tawa.

Tara menatap jam di pergelangan tangannya, gadis itu terlihat gelisah. “Mas... ayooo. Bisa bantu nggak? Saya nanti terlambat.”

Kini gantian pria itu yang menatap jam di pergelangan tangannya sejenak sebelum melangkah mendekat ke lift di depan Tara lalu menekan tombol Up.

Sebentar menunggu, pintu lift pun terbuka. “Masuklah,” ujarnya mempersilahkan Tara masuk.

“Terima kasih banyak, Mas,” sahut Tara sedikit menunduk menahan malu. Ia merasa benar-benar konyol saat ini.

Pria itu pun ikut masuk di belakangnya.

“Pertama kali ke sini?” tanya pria itu begitu lift mulai bergerak naik.

“Iya, Mas. Saya... mau wawancara kerja,” jawab Tara tersenyum canggung.

Pria itu hanya mengangguk seraya menatapnya sekilas. Ia lalu menggeleng pelan sambil tersenyum sendiri. Ini pertama kali sepanjang sejarah hidupnya, ada orang yang berani meminta bantuannya, apalagi hanya soal urusan lift. Entah dari zaman apa gadis itu berasal, sampai menggunakan lift saja tidak bisa. Begitu pikir pria itu.

Ting

Pintu lift terbuka.

Tara melangkah keluar dengan wajah lega, disusul kemudian oleh pria yang telah membantunya.

Namun langkahnya langsung terhenti ketika dua karyawan wanita yang berdiri tak jauh dari pintu lift spontan menunduk hormat ke arahnya.

“Selamat pagi, Pak Dirga,” sapa mereka hampir bersamaan dengan nada sopan.

Tara yang mendengar sapaan itu spontan menoleh ke belakang. Pak... Dirga?

1
Rahmat
Dirga rebut tara dr pria pengecut seperti alan klau perlu bongkar dirga biar abang mu dlm masalah
Rahmat
Duh penasaran gimana y klau mrk bertemu dgn tdk sengaja apa yg terjadi
ida purwa
nice
tae Yeon
Kurang greget.
Rienss: makasih review nya kak. semoga kedepan bisa lebih greget ya
total 1 replies
minsook123
Ngakak terus!
Rienss: terima kasih dah mampir kak. Salam kenal dan semoga betah baca bukuku ya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!