Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 06
Sepanjang hari itu, kamar Bunga berubah menjadi medan perang antara logika dan sentimentalitas. Logika diwakili oleh Arga, dan sentimentalitas, tentu saja, diwakili oleh Bunga.
"Bawa tiga koper?" Arga memijat pelipisnya, menatap tumpukan pakaian, buku, dan pernak-pernik yang sudah Bunga keluarkan dari lemari. "Bunga, kita cuma boleh bawa total 40 kilo ke bagasi."
"Ya tapi ini penting semua, Mas!" Bunga memeluk boneka panda terbesarnya. "Si Momon nggak mungkin Bunga tinggal!"
Arga menghela napas. "Oke, Momon boleh ikut. Masukkan ke ransel. Tapi rice cooker? Wajan anti lengket? Panci?"
"Kata Ibu, biar Bunga bisa masak di sana, hemat."
"Di apartemen Mas sudah ada semua, Bunga," kata Arga dengan sabar. "Lengkap. Kamu cuma perlu bawa badan, baju, sama alat kuliah."
Debat terpanjang dan teralot adalah soal buku. Bunga bersikeras membawa tiga kardus penuh buku referensi arsitektur yang sudah ia kumpulkan sejak SMA. Arga, dengan tegas, hanya mengizinkan satu kardus.
"Mas, ini buku mahal-mahal!"
"Dan berat. Mas nggak mau bayar over baggage," kata Arga. "Kita sortir. Satu kardus prioritas bawa sekarang. Dua kardus sisanya, nanti Mas minta tolong Ayah kirim pakai kargo. Beres?"
Bunga cemberut, tapi ia tahu ia kalah. Arga terlalu logis.
Ayah dan Ibu Bunga hanya mengamati dari pintu, tersenyum-senyum melihat "pasangan muda" itu berdebat tentang barang bawaan. Bagi mereka, itu adalah interaksi suami-istri yang normal. Bagi Bunga dan Arga, itu adalah negosiasi logistik untuk sandiwara mereka.
Menjelang sore, kamar Bunga sudah terlihat kosong. Tiga koper besar—dua milik Bunga, satu milik Arga—berdiri rapi di sudut. Kardus-kardus yang akan dikirim via kargo sudah dilakban. Kamar itu terasa asing, seakan sudah siap ditinggalkan.
Malam harinya, setelah makan malam terakhir yang diwarnai nasihat-nasihat panjang dari Ayah ("Jaga istri kamu baik-baik, Ga," "Kamu nurut sama suami, Nduk"), keduanya kembali masuk ke dalam kamar.
Malam kedua.
Kecanggungan itu masih ada, tapi intensitasnya sudah jauh berkurang. Tidak ada lagi kepanikan seperti malam pertama. Yang ada kini adalah... sebuah rutinitas yang aneh.
"Mas mandi dulu, ya. Gerah banget habis angkat-angkat kardus," kata Arga, mengambil handuknya.
"Iya," jawab Bunga.
Selagi Arga di kamar mandi, Bunga duduk di tepi ranjang. Ini adalah malam terakhirnya di kamar ini. Besok, ia akan tidur di kamar lain, di kota lain, dengan status yang berbeda. Ia menatap dinding kamarnya yang kini terlihat polosan setelah beberapa posternya ia lepas. Rasa takut yang kemarin sempat mereda, kini mulai menjalarinya lagi.
Bagaimana jika... bagaimana jika di apartemen nanti, Arga berubah? Bagaimana jika 'perjanjian' itu hanya cara Arga untuk menenangkannya, dan setelah jauh dari orang tua, Arga akan... menuntut haknya?
Nggak. Mas Arga bukan orang seperti itu, batin Bunga cepat-cepat, mengusir pikiran buruk itu. Bukan, kan?
Pintu kamar mandi terbuka. Arga keluar dengan kaus oblong dan celana pendek yang sama seperti semalam, rambutnya basah dan acak-acakan.
"Sana," katanya sambil mengeringkan rambut dengan handuk kecil. "Habis ini tidur. Besok kita harus bangun pagi-pagi sekali."
Bunga mengangguk, mengambil pakaian tidurnya, dan bergegas masuk ke kamar mandi.
Ketika ia keluar, Arga sudah berada di atas ranjang, di sisinya, membaca sesuatu di ponselnya.
Dan 'Benteng Guling' itu sudah kembali berdiri kokoh di tengah-tengah kasur.
Bunga tersenyum tipis. Arga menepati janjinya. Setidaknya, untuk bagian 'perbatasan'.
Ia naik ke sisi ranjangnya, menarik selimut. Arga meletakkan ponselnya di nakas dan mematikan lampu utama. Kamar itu kembali temaram, hanya diterangi lampu tidur di meja belajar Bunga.
Hening. Kali ini, heningnya terasa berbeda. Bukan hening yang tegang, tapi hening yang penuh antisipasi.
"Mas..." Bunga memberanikan diri memanggil lebih dulu. Ia berbalik, menghadap 'Benteng Guling', menatap bayangan Arga di baliknya.
"Ya?" Arga juga berbalik menghadapnya. Dalam cahaya temaram, Bunga bisa melihat mata laki-laki itu menatapnya.
"Besok..." Bunga ragu-ragu. "Kita beneran...?"
"Beneran apanya?"
"Beneran... pisah kamar?" tanyanya lirih. "Perjanjiannya... masih berlaku, kan?"
Arga terdiam sejenak. Ia sepertinya baru sadar apa yang Bunga takutkan. Bahwa dua hari "pura-pura mesra" di depan orang tua ini mungkin akan mengubah aturan main.
"Bunga," kata Arga, suaranya rendah dan serius. "Lihat Mas."
Bunga menatap lurus ke mata Arga.
"Yang kita lakukan dua hari ini—sarapan bareng, debat soal koper, bahkan tidur di kasur yang sama—itu semua adalah bagian dari 'manajemen risiko'. Tujuannya satu: membuat Ayah dan Ibumu tenang. Membuat mereka percaya Mas akan menjagamu, dan kamu mau dijaga sama Mas."
Ia berhenti, memastikan Bunga mengerti setiap katanya.
"Besok," lanjutnya, "saat kita sudah di pesawat, misi itu selesai. Kita masuk ke fase dua: 'Proyek Sarjana'. Di apartemen nanti, kita kembali ke rencana awal. Kamu dapat kamarmu sendiri. Kamar Mas ada di sebelahnya. Kamu akan punya privasimu. Kamu bebas."
Penjelasan logis itu bagaikan air dingin yang menyiram kecemasan Bunga. Ia bisa bernapas lega.
"Bunga cuma... takut," akunya pelan. "Bunga takut Mas Arga... berubah."
"Berubah gimana?"
"Berubah jadi... jadi suami beneran."
Arga tersenyum tipis, senyum yang nyaris tak terlihat di kegelapan. "Mas nggak akan berubah. Mas tetap Mas Arga yang dulu. Yang tugasnya jagain kamu."
Lalu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Tangan Arga terulur, melewati 'Benteng Guling' yang menjadi perbatasan mereka.
Bunga sedikit tersentak, tubuhnya refleks menegang.
Tapi tangan itu tidak berhenti di bahu atau lengannya. Tangan besar itu mendarat dengan lembut di atas kepalanya, di atas rambutnya yang tergerai.
Lalu, Arga mengusap kepala Bunga. Pelan. Dua kali.
Bukan usapan romantis seorang kekasih. Itu adalah usapan yang sangat familiar. Usapan yang sama persis seperti yang selalu Arga lakukan dulu saat Bunga kecil menangis karena jatuh dari sepeda. Usapan yang sama saat Arga menghiburnya karena gagal tes matematika.
Itu adalah usapan seorang kakak. Penuh perlindungan, menenangkan, dan sama sekali tidak mengancam.
"Nggak usah takut," bisik Arga. "Kan ada Mas. Kamu di sana tugasnya cuma satu: kuliah yang benar. Urusan lain-lain, biar Mas yang tangani. Oke?"
Bunga membeku di tempatnya. Hatinya yang tadi diliputi cemas, kini tiba-tiba terasa penuh. Hangat.
Usapan singkat itu terasa seribu kali lebih menenangkan daripada semua penjelasan logis Arga tadi. Itu adalah jaminan non-verbal bahwa dia akan aman.
"Janji, ya, Mas?" bisik Bunga, suaranya sedikit bergetar.
"Janji."
Arga menarik kembali tangannya, meletakkannya di bawah pipinya, di atas bantal. Jarak di antara mereka kembali tercipta.
"Sekarang tidur," perintah Arga, suaranya kembali normal. "Besok perjalanan panjang. Mas nggak mau kamu kecapekan di hari pertama orientasi kampus."
Bunga berbalik, memunggungi Arga. Tapi ia tidak bisa langsung tidur.
Ia menatap dinding kamarnya, tapi yang ia rasakan adalah sisa kehangatan tangan Arga di puncak kepalanya. Perasaan itu membingungkan. Ia merasa aman, tapi jantungnya berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya.
Ia benci harus menikah. Tapi jika "menikah" berarti ada Mas Arga yang akan melindunginya di kota besar nanti... mungkin, mungkin saja, ini tidak akan seburuk yang ia bayangkan.
Di belakangnya, Arga juga belum tidur. Ia menatap langit-langit kamar Bunga. Mengusap kepala Bunga tadi adalah sebuah refleks. Refleks seorang kakak yang melihat adiknya ketakutan.
Tapi saat tangannya menyentuh rambut Bunga yang lembut, ada sesuatu yang terasa... berbeda. Ini bukan lagi Bunga, anak kecil ingusan yang mengekorinya. Ini Melati Bunga Yasmin. Istrinya.
Arga memejamkan mata erat-erat.
Fokus, Ga, batinnya. Fokus pada tujuan. Proyek Sarjana.
Ini akan jadi empat tahun yang jauh lebih rumit daripada yang ia perkirakan