Kayyisa nggak pernah mimpi jadi Cinderella.
Dia cuma siswi biasa yang kerja sambilan, berjuang buat bayar SPP, dan hidup di sekolah penuh anak sultan.
Sampai Cakra Adinata Putra — pangeran sekolah paling populer — tiba-tiba datang dengan tawaran absurd:
“Jadi pacar pura-pura gue. Sebulan aja. Gue bayar.”
Awalnya cuma kesepakatan sinting. Tapi makin lama, batas antara pura-pura dan perasaan nyata mulai kabur.
Dan di balik senyum sempurna Darel, Reva pelan-pelan menemukan luka yang bahkan cinta pun sulit menyembuhkan.
Karena ini bukan dongeng tentang sepatu kaca.
Ini kisah tentang dua dunia yang bertabrakan… dan satu hati yang diam-diam jatuh di tempat yang salah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dagelan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7: Latihan Pura-Pura, Emosi Beneran
Matahari mulai turun, menyisakan semburat oranye di langit. Lapangan sekolah yang tadi ribut kini sepi. Cuma angin sore yang bawa bau debu, keringat, plus kenangan pelajaran olahraga yang selalu Aku hindari.
Seharusnya Aku udah nyantai di rumah, nonton drakor atau pura-pura ngerjain tugas. Tapi takdir berkata lain—lebih tepatnya, Cakra yang bikin skenario sendiri.
Dia berdiri di tengah lapangan, tangan satu nyelup di saku celana. Kemejanya udah nggak licin kayak biasanya, tapi tetep aja auranya kayak bintang iklan minuman isotonik. Nggak ngerti lagi. Dia tadi memang telat masuk kelas tambahan, tapi, keluar juga duluan bareng temen-temennya dipanggil sama Bu Yulia.
"Serius, lo nyuruh gue dateng ke sini cuma buat ini?" tanyaku, mata nyipit merasakan gejala sakit mata tanpa dirasa. Aku tentu percaya, akan melakukan permintaannya dengan tidak rela.
"Nggak cuma buat ini," jawabnya, sambil nunjuk sekeliling. Cakra jalan mulai mendekat kearah Aku. "Buat proyek kita," tambahnya.
Aku mendengus pelan. "Proyek apaan? Gue nggak ikut ekskul teater, ya," omel ku tidak minat.
Dia nyengir. "Kontrak kita, Sa. Lupa? Pura-pura suka sama gue, di depan orang," jelasnya. Mengingatkan otakku pada saat pertama kali dia datang menawarkan kerjasama.
Aku melipat tangan di dada. "Lo sadar nggak sih, kata 'pura-pura' sama 'Cakra Adinata Putra' tuh nggak nyambung. Lo udah kayak billboard berjalan, gimana mau low profile?" ungkapku kesal sendiri dengan beberapa hal belakangan.
Dia ketawa kecil, tapi matanya tetep fokus ke gue. "Makanya gue butuh lo. Lo punya aura... nggak tertarik sama gue." katanya.
"Karena emang beneran nggak tertarik," sahut ku cepat tetapi dalam hati merasakan sengatan aneh, semacam perih nyelekit di ulu hati.
"Nah, itu dia! Otentik banget. Orang bakal percaya lo nggak bohong." pujinya.
Aku menghela napas panjang. "Oke, terus skenarionya gimana? Gue tiba-tiba jatuh cinta di bawah ring basket kayak di sinetron?"
Dia natap aku beberapa detik, kayak lagi mikir keras. "Nggak gitu juga. Gue cuma pengen latihan biar nanti kalo kita ketauan bareng, nggak keliatan awkward." jelasnya.
"Latihan pura-pura suka," koreksi gue. Bukannya dari seminggu belakangan kita udah kayak latihan, tetapi tuan muda ini teryata banyak maunya! Tetapi nggak papa aku dibayar toh. Cakra bahkan sudah menyiapkan makanan di kursi pinggir lapangan, Aku melihatnya dari ujung mata.
"Yup.” jawabnya singkat.
"Di lapangan kosong," sindirku, melihat sekeliling sedikit merinding, lapangan ini sudah sepi. Kalau ada yang mergokin dan bikin gosip baru akan lebih capek hidupku disekolah.
"Tempat paling aman. Nggak ada gosip, nggak ada saksi mata." kata Cakra membuatku kembali melihat sekeliling. Lapangan yang biasanya rame sekarang cuma ada aku sama dia, dengan ide paling nggak masuk akal di sekolah ini.
"Lo sadar nggak sih, dari jauh ini keliatan kayak kencan gagal?"
"Justru itu," jawab Cakra santai. Sudut bibirnya tertarik sebentar. "Kita mulai dari yang gagal dulu, baru sukses.” tambahnya.
Aku mendecak pelan. Memaksakan mengerti jalan pikirnya itu. "Oke, Cakra. Gue turutin. Tapi gue punya satu pertanyaan penting,"
Cakra boleh kearahku kepalanya mengangguk kecil. "Silakan."
"Bayarannya gimana?" tanyaku katanya perlu membahas kontrak yang terjalin diantara aku dan dia, di kafe tempo hari memang ada sedikit yang harus dibahas namun terlupakan. Mengenai bayaran yang dia tawarkan.
Dia natap aku, dengan keningnya berkerut dalam. Seperti berpikir, sementara matanya menyoroti tajam."Bayarannya?" ulangnya.
"Ya iyalah!" Aku melipat tangan makin erat. "Lo pikir jasa akting gue gratisan? Gue udah ngorbanin reputasi, ketenangan hidup, sama hak buat nggak jadi bahan gosip di sekolah," jelas ku sedikit menggebu. Walau hati nurani agak berteriak sumpah lonkayak cewek matre! Kayyisa! Lo jangan mata duitan!
"Terus, lo pengen dibayar sekarang?" tanyanya.“Kirim rekening lo, atau gue cairin uangnya dulu ke ATM?”
Aku mikir sebentar, terus berusaha jawab santai, "Gue nggak serakah. Cukup dengan kontrak yang Lo tulis aja. Sama satu lagi."
"Apa?" tanyanya penasaran.
"Lo harus nurut sama semua saran gue, soal tawaran lo di lorong belakang sekolah gue nggak mau. Lo beliin semua hal-hal yang nggak berguna nantinya. Lagipula, gue realistis, takutnya memang lo lagi dalam masalah keluarga dan bentar lagi bangkrut gue, takut kena ... getahnya nanti." jawabku nyerocos mengeluarkan segenap kegondokan beberapa hari yang lalu pada Cakra langsung.
Cakra ngangkat alis. "Oke, saran kayak gimana?" tanyanya singkat. Sialan! omongan nyerocos aku yang lain dia anggap kata-kata panjang aja, dia lebih tertarik ke hal lain kali ini.
Aku menarik bibir membentuk senyuman kecil. "Saran biar lo belajar hidup kayak orang normal, biasa aja yang lo mau itu, mungkin bisa sedikit bikin lo nggak nyaman."
"Orang normal?" ulangnya lagi.
"Yup. Orang biasa. Yang nggak takut keringetan, nggak jijik ngelakuin hal bodoh, dan—" Aku tatap dia dari atas sampe bawah, sengaja bikin dia nggak nyaman, "—nggak punya aura kayak pangeran Hogwarts nyasar ke sekolah negeri," sindirku, langsung menusuk jantungnya.
Cakra ketawa kecil, tapi aku bisa liat matanya nyipit, tanda dia nggak beneran tersinggung. Cowok ini emang pinter nyembunyiin apa yang dia rasain. "Jangan ngeremehin aku, Sa. Tapi oke, deal. Contohnya gimana?" tanyanya, nyerah juga akhirnya.
Aku nyeringai, puas bisa bikin dia nurut. "Misalnya... lo bisa mulai dari hal sederhana," aku mulai menjabarkan rencana absurdku.
"Kayak?" tanyanya, alisnya naik sebelah, penasaran.
"Kayak... ngupil di tempat umum," saranku, sengaja bikin dia kaget.
"Ngupil?" ulangnya, matanya melotot nggak percaya.
"Ya, biar keliatan manusiawi," jelasku, berusaha tetep serius walaupun pengen ngakak liat ekspresinya.
Cakra natap aku dengan ekspresi ngeri campur geli. Aku bisa liat dia ngebayangin dirinya ngupil di depan umum, dan itu pasti pemandangan yang menggelikan. "Lo serius?" tanyanya, ragu.
"Serius banget," jawabku, tanpa ragu. "Atau kalo lo mau yang lebih advance, lo bisa ngomong jorok dengan santai. Misalnya, 'Aduh, pengen berak', gitu," saranku, makin menjadi-jadi.
"Cakra—" Protesnya, tapi nggak beneran marah. Aku tau dia cuma kaget sama ideku yang kelewat batas.
"Serius! Itu kayak ujian kebebasan sosial. Lo nggak bisa hidup normal kalo masih malu ngomong pengen berak," jelasku, berusaha meyakinkan dia kalo ideku ini brilian.
Cakra natap aku lama, kayak lagi mempertimbangkan semua omonganku. Aku bisa liat ada perang batin di dalem dirinya. Antara jijik, penasaran, dan pengen nyoba. Akhirnya, dia ketawa. Ketawanya lepas, nggak kayak ketawa sopan ala Cakra yang biasa aku denger. Ketawa yang bener-bener dari perut.
"Gue nggak nyangka, dari semua hal yang bakal gue pelajarin dari proyek ini, yang pertama adalah... cara ngupil sama ngomong berak," komentarnya, geleng-geleng kepala, tapi masih ketawa.
Aku ngangkat bahu, sok nggak peduli. Padahal, aku seneng banget bisa bikin dia ketawa lepas kayak gitu. "Setiap orang butuh starting point," jawabku, sok bijak.
Dia deketin aku, masih ketawa. Aku bisa ngerasain hawa tubuhnya, wangi parfumnya yang mahal, bikin aku salah tingkah. "Oke, 'guru normalitas', kalo gitu ajarin gue langkah kedua," pintanya, matanya berbinar.
"Langkah kedua?" tanya aku, pura-pura bego.
"Iya. Gimana caranya keliatan natural pas pura-pura suka?" tanyanya, tatapannya menusuk, bikin aku deg-degan.
Aku diem bentar, berusaha nenangin diri.
Oke, ini bahaya. Walaupun cuma pura-pura, konsep "suka" di depan Cakra tuh nggak gampang kayak ngerjain soal matematika. Apalagi ngeliat ekspresinya yang polos, tapi ada rasa penasaran di matanya. Aku takut kalo aku kebawa perasaan beneran.
"Terserah lo," jawabku akhirnya, nyerah juga. "Lo yang minta latihan ini, jadi lo yang tentuin caranya," tantangku, balik nyerang dia.
Cakra ngedeket, jaraknya cuma beberapa langkah. Aku bisa ngerasain jantungku mulai nggak beres. Aku berusaha buat nggak natap matanya, tapi gagal. Matanya narik aku kayak magnet.
"Gampang," katanya, suaranya pelan, tapi jelas banget kedengeran di telingaku. "Kita jalan bareng ke tengah lapangan. Lo pura-pura ngobrol sama gue kayak lagi kencan." sarannya, bikin aku kaget.
Aku ngangkat satu alis, nggak percaya sama apa yang baru aja aku denger. "Kencan? Lo pikir gue punya pengalaman?" sindirku, berusaha nutupin rasa gugup.
"Justru itu, latihan ini penting banget." jawabnya, senyumnya makin lebar, bikin aku makin salah tingkah. Sial, dia emang jago bikin aku kehilangan kata-kata.
Aku natap dia datar, berusaha tetep cool. "Lo sadar nggak sih, Cak? Kata 'latihan' sama 'kencan' dalam satu kalimat itu kedengeran mencurigakan," komentarku, nyoba buat ngalihin perhatian.
Tapi dia tetep nunggu, sabar, dengan tatapan santai yang entah kenapa malah bikin jantungku maraton. Aku bisa liat matanya yang cokelat itu berbinar, kayak ada ide aneh yang lagi dia pikirin. Aku nggak tau apa yang ada di dalem otaknya, tapi aku yakin itu pasti sesuatu yang gila.
Akhirnya aku nyerah, nggak kuat lagi ngelawan tatapannya. "Oke," kata aku, ngalah. "Tapi kalo lo ketawa, proyek ini batal," ancemku, berusaha buat ngasih batasan.
"Deal," jawabnya cepet, tanpa ragu.
Kita mulai jalan pelan ke tengah lapangan. Suasana di sekitar aku berubah. Yang tadinya berisik, sekarang jadi hening. Cuma ada suara langkah kaki kita berdua yang kedengeran.
Cakra ngeliat sekeliling, kayak lagi nyari inspirasi. Terus dia natap aku, matanya lembut, bikin aku salah tingkah.
"Jadi gini," katanya pelan, "kalo pura-pura suka, lo harus keliatan nyaman di deket gue" jelasnya, kayak lagi ngasih instruksi.
"Nyaman?" tanya aku, pura-pura nggak ngerti.
"Ya, kayak lo nggak pengen kabur tiap gue ngomong," jawabnya, senyumnya jail.
"Cakra, gue selalu pengen kabur tiap lo ngomong." sangkal aku, nggak mau kalah.
Dia ketawa. "Nah, itu yang harus diubah," komentarnya, bikin aku kesel.
Kita berhenti di tengah lapangan, pas di bawah ring.
Langit sore berubah jadi oranye lembut. Bayangan kita manjang di aspal, bikin suasana jadi dramatis. Aku bisa ngerasain jantungku makin nggak karuan.
Cakra miringin kepalanya, natap aku yang berusaha keliatan santai padahal tangan udah basah semua. Aku bisa liat dia lagi mikir, mungkin nyari cara buat bikin aku nggak ilfeel.
"Sekarang lo pura-pura suka." katanya lembut, suaranya bikin aku merinding.
Aku ngerutin dahi, bingung. "Kayak gimana?" tanya aku, beneran nggak tau harus ngapain.
"Kayak lo beneran suka," jawabnya, matanya natap aku intens, bikin aku salah fokus.
Aku natap dia datar, berusaha buat nggak kebawa perasaaan. "Lo tau nggak, perintah lo tuh ambigu banget," komentarku, nyoba buat ngalihin perhatian.
"Terserah lo mau interpretasi gimana," jawabnya, senyumnya makin misterius, bikin aku penasaran.
Aku narik napas, berusaha buat nenangin diri. Terus, dengan nada setenang mungkin aku bilang, "Oke, Cakra. Gue suka lo karena lo... rajin banget ngerusak ketenangan hidup gue!" kataku, jujur apa adanya.
Dia ketawa, sampe ngebungkuk saking gelinya. "Gue nggak nyangka 'suka' bisa kedengeran kayak ancaman," komentarnya, masih ketawa.
"Ya maklum, gue bukan pemeran utama drakor," jawab aku, sok nggak peduli.
"Tapi lo unik, Sa." puji dia.
"Unik tuh kode buat 'aneh', ya?" tanyaku, berusaha mencairkan suasana yang tiba-tiba jadi serius.
"Enggak. gue beneran maksudnya, nggak bercanda." jawabnya, tatapannya lurus ke mataku, bikin jantungku berdebar nggak karuan.
Tatapannya berubah—lebih serius, lebih tenang. Aku bisa liat dia nggak lagi bercanda. Biasanya, Cakra selalu masang senyum sombong atau ekspresi jail, tapi sekarang wajahnya bener-bener tulus.
Dan entah kenapa, buat sepersekian detik, semua sarkas di kepalaku ilang. Nggak ada lagi pikiran buat ngejek dia, nggak ada lagi rencana buat kabur. Cuma ada aku sama dia di tengah lapangan, di antara suara jangkrik sama angin sore yang bikin rambutku berantakan.
Aku buru-buru dehem, berusaha ngilangin rasa aneh yang tiba-tiba muncul. "Oke, udah cukup latihan hari ini. Aku lulus, kan?" tanyaku berharap dia nyerah.
Dia senyum miring, bikin jantungku makin nggak karuan. "Belum," jawabnya, bikin aku kesel.
"Kenapa?" tanyaku, nggak sabar.
"Karena gue belum ngerasa lo beneran pura-pura suka." jelasnya, bikin aku pengen nonjok dia. Heh rusak deh nanti muka mahalnya itu!
"Cak, namanya juga pura-pura!" protesku jelasnggak terima.
"Ya, tapi pura-puranya harus meyakinkan." jelasnya, bikin aku makin kesel. Dasar banyak maunya!
Aku mendengus, buang muka. "Lo tau nggak, kalo lo bukan Cakra Adinata, orang udah ngira lo lagi flirting, tau." omelku sebal, berusaha nutupin rasa gugup.
Dia nyeringai, santai banget. "Siapa bilang gue nggak flirting?" tanyanya, bikin aku kaget.
Aku natap dia lama, berusaha nyari tanda-tanda dia bercanda. Tapi nggak ada. Matanya bener-bener serius, bikin aku makin bingung. "Lo tuh..."
"Apa?" tanyanya, mendekat selangkah.
"Ngupil aja dulu sana, biar inget kalo lo manusia biasa." sergahku, berusaha ngalihin perhatian.
Cakra ketawa kenceng, suaranya menggema di lapangan yang sepi. Aku seneng sih bisa bikin dia ketawa, tapi di saat yang sama, aku juga kesel karena dia berhasil bikin aku salah tingkah.
Sementara Aku balik badan, nutupin pipi yang mulai panas, dengan pura-pura benerin tali sepatu. Sial, dia emang jago bikin Aku kehilangan kendali.
✨ Bersambung...