"Kau berasal dari masa depan kan?" Ucapan Nares membuat Yarana diam. Bagaimana bisa Nares mengetahui hal itu?-Yarana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Staywithme00, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Di Siang hari yang cerah itu, Nares dan Yarana pergi ke sebuah pasar setelah meminta izin pada yang mulia raja Bellvana. Awalnya beliau ragu memberi izin pada Yarana, tapi setelah Nares yang meminta izin beliau langsung mengiyakan.
Seusai izin diberikan, Mereka pergi menuju pasar dengan berjalan kaki. Pasar yang ada di daerah Bellvana sangatlah banyak. Nares dan Yarana mengunjungi sebuah pasar yang jaraknya hanya menempuh 20 menit. Bahkan, mereka menolak prajurit untuk mengawal mereka. Jalan demi jalan mereka lewati, hingga tibalah mereka di pasar yang dituju. Walau ini pasar yang terdekat, tetap saja sangat ramai. Yarana alias si detektif, sangat suka dengan tempat sederhana begini. Sebab pasti ia menemukan banyak hal yang bisa ia lakukan demi menyelesaikan misinya yang tersisa enam.
“Nares, kira-kira kebaikan apa yang bisa dilakukan disini?” Mata Yarana bergerak kekiri dan kekanan dengan cepat, memastikan apakah ada orang yang sedang membutuhkan bantuan.
“Jalan saja dulu, mungkin nanti kita akan tahu.” Nares memimpin jalan. Sementara Yarana, berjalan dengan hati-hati sambil melirik kesana kemari.
“Nares, Nares!” Panggil Yarana tiba-tiba, tanpa disadari ia memegang lengan Nares.
“Kau ini memang suka membuat orang kaget!” Nares menatapnya dengan wajah yang sedikit terkejut(terkejut karena Yarana tiba-tiba memegang tangannya, bukan karena Yarana memanggilnya).
“Maaf-maaf. Tapi lihat disana.” Yarana melepas tangannya yang tadi menggenggam lengan Nares, lalu ia menunjuk ke sebuah ladang. Di Ladang tersebut, ada seorang anak remaja juga anak perempuan yang sedang bertani. Ladangnya terlalu luas untuk bertani, terutama yang menanamnya adalah anak remaja bahkan gadis kecil.
“Aku akan pergi membantu mereka.” Ujar detektif dengan semangat yang membara.
“Kau ini, memangnya kau tahu cara bertani?” Nares tahu kalau detektif bekerja dilapangan di dunia asalnya, tapi tidak di ladang.
“Jangan meragukan kemampuanku ya, Nares.” Yarana mengangkat dagunya sambil menatap Nares.
“Baiklah, terserah padamu.” Nares mengalah saja, tak akan ada habisnya berdebat dengan Yarana. Ia memilih mengikuti langkah detektif dari belakang.
Mereka menuju sebuah ladang yang lumayan luas untuk dikerjakan oleh dua bocah yang mereka lihat.
Saat sudah agak dekat dengan bocah-bocah yang bertani, Yarana reflek menyapa mereka.
“Selamat siang adik-adik, apa boleh kami membantu kalian?” Yarana menatap mereka dengan mata memancarkan ketulusan.
“Bi.. bisa saja, tapi kami tidak punya uang untuk membayar upah kalian.” Anak remaja laki-laki menjawab Yarana dengan wajah yang penuh noda, noda yang berasal dari gesekan tangannya setelah memegang tanah. Bahkan, anak perempuan kecil yang manis ini juga terlihat cemong-cemong karena merata-ratakan tanah setelah kakaknya menanami benih lobak.
“Oh tidak apa-apa. Kami menolong dengan senang hati dan ikhlas, benarkan Nares?” Yarana ingin Nares bersuara juga agar dua bocah ini tidak merasa sungkan.
“Hmmm.” Nares menjawab dengan berdehem, meski begitu ia juga sedikit kagum dengan anak-anak yang pekerja keras ini. Hanya, ia ragu kalau detektif ini bisa bertani.
“Terima kasih banyak Nona baik hati. Terima kasih tuan tampan.” Ujar gadis kecil sambil mengusap wajahnya yang sedikit cemong. Anak remaja laki-laki tersebut juga berterima kasih pada mereka. Yarana dan Nares hanya mengangguk tersenyum.
“Baiklah, kalau begitu mana mana bibit yang akan ditanam?” Yarana menadahkan kedua tangannya, pertanda bahwa ia meminta benih yang akan ditanam.
“Ah ya, ini Nona.” Remaja laki-laki menyodorkan dua bungkus benih lobak yang akan ditanam. Yarana dengan senang hati menerimanya. Lalu, dua bocah yang umurnya jauh lebih muda itu, kembali fokus pada kegiatan bertani mereka. Sedang Yarana mulai menggali tanah. Saat sudah selesai menggali, ia hanya menatap benih-benih yang berada di bungkus.
“Kenapa? Kau tidak tahukan, cara menanamnya?” Nares mengeluarkan tatapan sinisnya.
“Eehh iya. Kalau benih lobak aku belum pernah mencoba menanamnya.” Elak Yarana dengan sedikit terkekeh menahan rasa gengsinya akan ketidaktahuannya.
Haahh, Nares menghela nafas panjang. Kemudian ia berjongkok di samping Yarana.
“Kalau kau ingin menanam benih lobak, cukup taruh 1-2 biji saja perlubang. Lubangnya pun harus dengan kedalaman 1-1,5 cm saja. Kalau kau menaruh banyak benih sekaligus, mereka hanya akan berebut nutrisi.” Nares mencontohkan Yarana bagaimana cara menanam yang baik. Ia memasukkan dua biji benih lobak, lalu menutup mereka dengan tanah yang tipis. Tujuan benih tersebut ditutup dengan tanah yang tipis agar kecambahnya mudah muncul ke permukaan.
“Waah, keren sekali. Apa kau dulunya adalah seorang petani?” Yarana berbicara sambil mengikuti petunjuk Nares. Ia melakukan langkah-demi langkah agar bisa menanam sesuai yang diajarkan oleh Nares.
“Ini hanyalah hal yang gampang.” Ujarnya membalas Yarana dengan sombong. Membuat detektif menyesal karena telah memujinya.
Walaupun agak kesal, Yarana senang dengan kegiatan bertani. Tanah demi tanah sudah ia lewati. Waktu pun tak terasa sudah mulai sore.
“Nona muda, berhenti.” Tiba-tiba anak remaja laki-laki menegur Yarana agar menghentikan aktivitasnya yang hendak menanam lagi.
“Eh, ada apa?” Sahutnya sambil merapikan rambutnya.
“Disana sudah masuk wilayah orang lain. Jadi tidak perlu menanam bibit lobak disitu, Nona.” Bocah tersebut sedikit tertawa pelan melihat Yarana yang terlalu bersemangat. Nares pun sama, meski tidak terdengar sebuah suara tawa, ia tetap menertawakan Yarana didalam hati.
“Oh begitu ya? Baiklah pekerjaan kita selesai.” Detektif bersorak ria.
“Terima kasih banyak Nona, Tuan. Berkat kalian, kami bisa pulang lebih cepat.” Kedua bocah itu tersenyum dengan sangat lebar.
“Iya sama-sama. Oh ya, apa dia adikmu?” Yarana sedikit berbasa-basi bertanya.
“Iya benar, dia adikku.”
“Wah rajin sekali.” Yarana mengusap lembut kepala gadis kecil yang memiliki rambut sedikit kecoklatan.
“Iya Nona. Biasanya aku pergi bertani dengan ibu. Tapi, ibu sedang sakit. Jadi adikku lah yang menemaniku.” Sang kakak, menepuk-nepuk pundak adiknya pelan.
“Kalian berdua sangat-sangat hebat. Sekarang, kalian pulanglah. Ibu kalian pasti sedang menunggu dirumah.” Yarana dengan senyuman hangatnya melihat ke arah dua bocah tersebut.
“Iya. Kami pamit, sampai jumpa lagi Nona dan Tuan.” Dua bocah tersebut tersenyum dengan riang seraya berlari-lari dengan semangat. Mereka sama sekali tidak lelah meski telah berjam-jam berada di ladang. Yarana menatap dengan bangga dua anak-anak yang sedang berlarian di tengah angin sore yang menerpa. Nares bukannya melihat kepada dua bocah itu, malah fokus menatap sang detektif yang sedang tersenyum bahagia.
“Kita juga harus pulang!” Yarana berseru pada Nares. Hingga membuat pria bermata biru pekat tersadar dari lamunannya.
“Yah.” Balasnya mengekori detektif yang berjalan dengan riang gembira.
Dua manusia yang terjebak di zaman ini, sejujurnya menyimpan kekhawatiran yang sama. Kekhawatiran mereka tak lain karena memikirkan tentang masa yang akan datang. Tapi, di sela kekhawatiran itu, mereka hanya bisa melakukan yang terbaik. Meski detektif terus berpikir seperti apa dunia nya tanpa adanya Nares disisinya, ia tetap harus berpikir realistis. Detektif tahu, tak mungkin diri nya bisa hidup dengan Nares.
Nares sudah tidak bisa kembali kedunia detektif, alasan logis ini yang membuat detektif terus menyangkal perasaannya. Nares juga sama, ia juga tidak bisa membayangkan betapa sepi dan hampanya hatinya bila detektif tak ada disisinya. Kedua manusia ini, terus berupaya menyangkal perasaan yang ada, agar tak ada yang terluka dikarenakan waktu yang terbatas.
**bersambung
😁🔥