Elara dan teman-temannya terlempar ke dimensi lain, dimana mereka memiliki perjanjian yang tidak bisa di tolak karena mereka akan otomatis ke tarik oleh ikatan perjanjian itu itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sunny Rush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Malam itu, amplop undangan muncul di rumah semua orang tua murid baru.
Ayah Mira mendapatkannya di ruang tamu, Maria di dapur, orang tua murid lain juga menerima. Semuanya sama: amplop hitam bersegel emas dengan lambang tiga klan.
Tulisan emas melayang begitu amplop dibuka:
“Kami mengundang kalian, orang tua para murid baru, untuk menghadiri Perjamuan Awal.
Bersiaplah, karena portal akan terbuka pada malam bulan penuh.
Kehadiran kalian adalah bagian dari perjanjian lama.”
Ayah Mira dan ibunya saling berpandangan, wajah mereka pucat. “Jadi… waktunya tiba juga.”
Orang tua Maria berbisik ketakutan. “Aku pikir akan ada hal yang terjadi."
Satu per satu, para orang tua sadar bahwa rahasia yang mereka simpan bertahun-tahun tidak bisa ditutupi lagi.
Namun, ada satu rumah yang tetap hening.
Rumah Elara.
Tidak ada cahaya turun, tidak ada amplop yang muncul.
Elara hanya duduk sendirian di kamarnya di dunia akademi, sambil menggambar di kertas kosong yang entah didapat darimana. Ia tidak tahu apa-apa.
Sementara itu, di ruang guru akademi, seorang elder dari klan Luminara menutup matanya. “Semua undangan sudah diterima…” lalu tiba-tiba terdiam.
Salah satu guru lain bertanya, “Apa ada masalah?”
Elder itu membuka mata perlahan. “Ada satu murid… yang tidak memiliki orang tua untuk diundang.”
Di kastil Noctyra, Arsen yang masih berendam dingin mengangkat kepalanya. Ia bisa merasakan ketidakseimbangan itu. “Gadis itu…” gumamnya lirih.
Dorion muncul dari balik bayangan, menyeringai. “Jadi benar… Elara Sheraphine bukan murid biasa. Bahkan undangan untuk orang tuanya pun… tidak ada. Bagaimana kalau anak itu ternyata… milikmu, Arsen?”
Arsen menatap tajam, tapi tidak membalas. Tangannya mengepal di air, menahan sesuatu yang bergejolak dalam dirinya.
Esok harinya
Aula besar akademi diselimuti cahaya kristal raksasa yang menggantung di atas langit-langit. Karpet merah terbentang, musik lembut bergema, dan meja-meja penuh makanan mewah berjajar.
Satu per satu, orang tua murid baru muncul lewat portal bercahaya di tengah aula. Mereka disambut oleh guru-guru dan ketua klan.
Orang tua Mira masuk dengan langkah hati-hati, wajah tegang tapi lega melihat anak mereka.
Orang tua Maria langsung memeluk putrinya erat.
Begitu pula dengan keluarga lain, masing-masing berkumpul dengan anak-anak mereka.
Riuh rendah suara reuni memenuhi aula.
Namun di sudut aula, Elara hanya berdiri terdiam. Tangannya menyembunyikan rasa gugup di balik punggungnya. Matanya menelusuri kerumunan, berharap ada wajah yang dikenalnya.
Tapi tidak ada siapa pun.
Mira menoleh, wajahnya cemas. “Elara… orang tuamu nggak datang?”
Elara berusaha tersenyum kaku. “Hah, mungkin mereka sibuk… atau… ya, tersesat? Hehe.”
Tawa kecilnya hambar, membuat Mira menggenggam tangannya erat. Selena juga menunduk, wajahnya ikut murung.
Di meja utama, Marco Valdes ,calon pewaris Luminara berbisik pada Nicky calon penerus klan veyra, seorang pemuda yang terkenal jenius.
“Kenapa gadis itu sendirian? Bukankah semua undangan orang tua sudah diterima?”
Nicky mengernyit, matanya menatap tajam ke arah Elara. “Itu yang janggal, Marco. Undangan akademi tak pernah salah alamat. Jika Elara Sheraphine bisa tertarik ke sini, seharusnya ada garis keturunan yang terikat. Tapi jelas sekali… tidak ada seorang pun yang muncul.”
Marco bersedekap, nada suaranya dingin. “Mustahil seorang manusia biasa terseret ke dalam perjanjian ini. Jadi siapa sebenarnya dia?”
Nicky menunduk sebentar, lalu mendesis. “Atau… sesuatu yang lebih berbahaya.”
Tatapan mereka sama-sama jatuh ke arah Elara, yang kini mencoba mengunyah roti dengan cengiran konyol agar terlihat biasa saja. Tapi di balik matanya, ada luka yang tidak bisa disembunyikan.
Di kejauhan, Arsen Noctyra berdiri bersama Dorion. Meski tidak mendekat, tatapan dinginnya tak pernah lepas dari Elara.
Dorion terkekeh lirih. “Lihat, bahkan para ketua klan bingung dengan keberadaannya. Tapi kau… kau sudah tahu lebih dulu Arsen ,tapi kamu tidak sadar saja "
Arsen tetap diam, hanya menegakkan bahunya. Namun jemarinya yang mengepal di balik jubah menunjukkan betapa kuatnya ia menahan diri.
Aula megah itu dipenuhi cahaya dan tawa. Musik mengalun lembut, gelas-gelas kristal berdenting, dan orang tua murid sibuk bercerita sambil memeluk anak-anak mereka.
Elara berdiri di dekat meja makanan, memandangi kerumunan itu. Tangannya sibuk mengutak-atik roti isi yang sudah dingin, sekadar memberi alasan untuk tidak menatap siapa-siapa.
Kenapa… semua orang punya keluarga di sini, kecuali aku? pikirnya. Apa aku memang… nggak seharusnya ada di tempat ini?
“ELARA!” suara Mira memanggilnya. Mira berlari kecil, diikuti kedua orang tuanya yang tampak sopan tapi hangat.
“Elara, kenalin, ini ayah dan ibuku,” kata Mira sambil tersenyum cerah, berusaha membuat suasana cair.
Orang tua Mira tersenyum ramah. Sang ayah menjabat tangan Elara. “Jadi kamu Elara? Mira sering menyebut namamu.”
Elara cengir kikuk. “Oh ya? Semoga yang disebut bukan kebodohanku aja, Pak.”
Ibunya tertawa kecil. “Mira butuh teman seperti kamu. Terima kasih sudah menemaninya di sini.”
Elara hanya mengangguk. Dadanya sesak ,bukan karena kata-kata mereka tidak baik, tapi karena terlalu baik.
Tak lama, Selena datang dengan kedua orang tuanya, Joshep Ardan dan Vera Ardan. Keduanya begitu berwibawa, aura Luminara mereka menyilaukan ruangan. Namun saat Vera melihat Elara, matanya melembut.
“Anak manis,” ucap Vera sambil mendekat. “Kamu bersama Selena, ya?”
Elara menegakkan badan. “I-iya, Bu. Saya Elara Sheraphine”
Joshep menatapnya lama, alisnya sedikit berkerut. “Sheraphine? Aku… tidak pernah mendengar nama itu di antara keluarga yang terikat dengan perjanjian akademi kecuali keluarga klan iblis, sheraphina."
Selena langsung menengahi, senyumnya tegang. “Ayah, Ibu, Elara itu temanku. Dia baik. Dia berhak ada di sini.”
Mira juga cepat menimpali. “Benar! Kalau nggak ada Elara, mungkin aku udah gila dari kemarin.”
Orang tua mereka saling pandang, jelas heran, tapi tidak menekan lebih jauh.
Elara tersenyum tipis, mencoba mencairkan suasana. “Hehe… ya, saya juga bingung kenapa bisa nyasar ke sini. Mungkin portalnya salah alamat, jadi saya kebawa.”
Suasana hening sejenak, sebelum semua tertawa kecil meski ada rasa canggung di baliknya.
Namun begitu mereka menjauh, Elara kembali terdiam. Tangannya meremas roti yang tadi belum habis. Senyumnya perlahan hilang.
Di tengah tawa pesta, ia merasa seperti bayangan yang tak punya tempat.
Dan dari jauh, tatapan merah dingin milik Arsen Noctyra masih terkunci padanya tajam, tak tergoyahkan, seolah hanya ia yang benar-benar tahu bahwa Elara memang bukan “kesalahan” semata.