Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
pagi yang memabukkan
Pagi hari setelah terbangun dari lelah percintaan semalam, Taeri duduk di depan meja rias. Dengan gerakan hati-hati, ia mengoleskan serum ke wajahnya yang masih terasa sedikit mengantuk, matanya sayu. Ponselnya tiba-tiba berdering, "Mommy," gumamnya pelan. Alis Taeri sedikit terangkat. Ia mengangkat telepon dengan sedikit rasa penasaran, langsung menyapa, "Mommy, tumben sekali menelpon pagi-pagi begini?"
Dari seberang, suara Mommy terdengar tenang, "Taeri, di Seoul sekarang sudah siang." Taeri terdiam sejenak, dahinya berkerut. Lalu suara khawatirnya terdengar jelas, "Apa terjadi sesuatu dengan keluarga atau perusahaan kita, Mommy? Perasaanku tidak enak."
Tanpa sadar, Taeri memancing kecurigaan Soojin.
Suara Soojin dari seberang telepon berubah tajam, "Kenapa kamu bertanya seperti itu? Apa kamu tahu sesuatu tentang perusahaan?"
Taeri menelan ludah, menyesali perkataannya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. "Aku hanya khawatir pada Mommy dan Daddy," ucapnya lembut, berusaha terdengar polos. "Akhir-akhir ini, apa ada masalah dengan perusahaan? Kenapa Mommy tidak pernah cerita apa pun padaku?" Suaranya dibuat penuh harap, meski kegelisahan jelas terasa.
Azey terbangun dan melihat Taeri sedang menelepon. Ia mendekat dan memeluk leher Taeri dari belakang, ingin bertanya. Namun, Taeri dengan cepat meletakkan telunjuk di bibir Azey, memberi isyarat untuk diam. Wajahnya menegang.
Dari seberang telepon, Soojin mendengar suara lain dan langsung bertanya dengan nada curiga, "Taeri, kamu sedang dengan siapa? Apa itu Yuna? Atau jangan-jangan dengan laki-laki?" Taeri buru-buru membantah, "Tidak ada siapa-siapa di sini, Mommy. Tadi itu suara televisi." Pipi Taeri memerah, matanya melirik Azey dengan gugup.
Azey tersenyum miring, niat menggoda terlihat jelas. Ia mencium leher Taeri dengan lembut, tatapannya hangat namun menusuk. Perlahan, ia menggigit leher itu sedikit keras, membuat Taeri menutup mata rapat, wajahnya menegang sebelum akhirnya desahan pelan lolos dari bibirnya, "Ahh... Azey, jangan sekarang," ujarnya dengan suara bergetar, antara nikmat dan panik.
Taeri dengan kasar menyikut dada Azey, hampir saja kedoknya terbongkar di depan Mommy-nya. Dari seberang telepon, suara Soojin terdengar menyelidik, "Azey itu siapa? Kenapa kamu sampai mendesah seperti itu?" Taeri panik mencari jawaban, lalu dengan cepat berkata, "Azey itu anjing yang tadi kubilang, Mommy. Dia baru saja melompat ke pangkuanku." Dengan tatapan tajam, Taeri melototi Azey yang tampak santai di cermin.
Pria itu hanya mengecup kepala Taeri lembut, lalu melangkah ke balkon, meninggalkannya. Sementara itu, Taeri buru-buru mengakhiri panggilan, "Mommy, aku tutup dulu ya. Nanti kita bicara lagi. Dadah." Dari seberang, Soojin menghela napas panjang dan berpesan, "Jaga dirimu baik-baik, Taeri." Sambungan telepon pun terputus.
Taeri meletakkan ponselnya dengan kasar di meja, lalu menghampiri Azey ke balkon. Pria itu menoleh, sorot matanya setajam belati, sebelum membuang puntung rokoknya dengan gerakan dingin. "Kenapa kau di sini? Udara pagi tidak cocok untukmu," desis Azey, suaranya rendah dan sarat peringatan.
Taeri, yang masih dihantui kekhawatiran tentang keluarganya, memberanikan diri bertanya, "Kau benar-benar sudah mengembalikan perusahaan ayahku seperti semula, Azey? Atau ini semua hanya ilusi?"
Azey duduk, menepuk pahanya dengan tatapan memerintah. "Duduk."
Taeri menggeleng keras kepala. "Jawab dulu pertanyaanku."
Mata Azey menggelap, aura dominasinya menguar. "Jangan membuatku mengulanginya, Taeri. Atau kau ingin merasakan akibatnya?"
Taeri mendengus, amarahnya terpancar jelas. "Kau selalu memaksa. Aku benci wajah sok dinginmu itu." Meski berang, Taeri tetap menuruti perintahnya, duduk di pangkuan Azey dengan gerakan terpaksa.
Senyum sinis mengembang di bibir Azey melihat kekesalan Taeri. "Kau selalu marah-marah, sayang. Tapi semalam, bibirmu itu melahapku habis-habisan."
Taeri mencubit paha Azey dengan geram. "Jangan bahas itu!"
Azey tertawa rendah, suaranya serak dan berbahaya. "Aku tidak pernah berbohong. Telepon ayahmu, tanyakan sendiri. Semuanya sudah kembali seperti semula, bahkan lebih baik. Aku sudah mengirimkan investor asing untuk memastikan."
Taeri merasa sedikit lega, meskipun ia tahu kebebasannya adalah harga yang harus dibayar. Dengan nada menantang, ia berkata, "Aku tidak ingin kuliah hari ini."
Azey berbisik di telinganya, suaranya seperti beludru hitam. "Kau tidak perlu kuliah. Semua impianmu bisa dibeli dengan uang." Taeri menolak mentah-mentah. "Aku tidak butuh itu. Aku akan meraihnya sendiri, tanpa bantuanmu."
Azey melingkarkan tangannya erat di pinggang Taeri, tidak memaksa, namun dengan nada posesif. "Semua keputusan ada padamu. Tapi ingat, jika kau membutuhkan sesuatu, jangan ragu untuk meminta." Ucapan itu membuat Taeri tertegun, dan tanpa sadar ia berbisik, "Andai saja pertemuan kita tidak seperti ini, mungkin kita bisa bahagia." Taeri membungkam mulutnya, menyesali kebodohannya.
"Jadi, kau tidak membenciku, sayang, hanya membenci awal pertemuan kita? Benarkah begitu?" Bisik Azey Hembusan napasnya terasa hangat di kulit leher Taeri, menciptakan sensasi aneh yang membuatnya ingin menghilang.
Dengan susah payah, Taeri mencari alasan. "Siapa pun akan membenci pertemuan seperti itu, Azey. Tidak ada wanita yang rela kehormatannya direnggut paksa, lalu keluarganya dihancurkan."
Azey menempelkan dagunya di bahu Taeri, sementara tangannya mengelus perutnya dengan gerakan posesif yang sulit ditolak. "Kita bisa memperbaikinya, sayang. Mungkin jika kau tidak keras kepala dulu, semua ini tidak akan terjadi."
Taeri menggenggam tangan Azey erat. "Itu omong kosong, Azey. Kau pria ambisius. Bahkan jika aku tidak lari malam itu, kau pasti akan membunuhku di tempat itu."
Azey menghela napas berat. "Itu tidak mungkin, sayang. Mana mungkin aku membunuh wanita yang menarik perhatianku sejak pertama kali kulihat?" Pengakuan itu menampar kesadaran Taeri. Sejak awal, Azey memang sudah mengincarnya.
Taeri menatapnya tajam. "Jadi, seandainya aku tidak melihatmu membunuh malam itu, kau tetap akan melakukan ini padaku, Azey?" Senyum tipis menghiasi bibir Azey, membekukan hati Taeri dalam keraguan dan ketakutan.
Tanpa penyesalan, Azey menjawab tegas, "Tentu saja, sayang. Semua ini bukan karena kau tahu rahasiaku, tapi karena keberanianmu menatapku tanpa rasa takut."
Amarah Taeri membara ia menoleh cepat. "Kau pria paling brengsek yang pernah kutemui, Azey." Pria itu menempelkan keningnya pada kening Taeri, suaranya mengejek. "Dan kau wanita tercantik yang pernah kulihat, sayang."
Taeri mencoba membalas perkataan Azey, namun pria itu membungkamnya dengan ciuman tiba-tiba. "Mmmhh..." Taeri tersentak saat bibir Azey menekannya dengan sedikit kasar. Awalnya ciuman itu penuh tuntutan, namun perlahan melunak, sementara Azey menahan tengkuknya, seolah memaksa Taeri untuk membalas. Taeri tetap membeku, menolak untuk menyerah, menciptakan ketegangan yang terasa seperti sengatan listrik di antara mereka.
Azey tidak menyerah. Ciumannya semakin dalam dan intens, sementara tangannya menyelinap masuk ke balik tanktop Taeri, mengelus punggungnya dengan sentuhan lembut namun provokatif. Sensasi itu mulai menggerogoti pertahanannya. Perlahan, Taeri mulai membalas ciuman itu, bibirnya terbuka, menyambut lidah Azey dengan gairah yang selama ini ia pendam. Desahan mereka bercampur, memenuhi udara pagi yang memabukkan, menandai babak baru dalam hubungan mereka yang penuh dosa.
Azey mengakhiri ciuman mereka ketika merasakan napas Taeri yang tersengal, wajahnya masih terbenam di leher jenjang gadis itu. "Bagaimana kalau kita mandi bersama?" bisiknya, nada suaranya menggoda namun menyimpan intensitas tersembunyi. Taeri menepis tangan Azey dengan kasar, pipinya merona marah.
"Jangan harap. Aku bukan wanita bayaran yang bisa kau sentuh seenaknya. Cukup semalam aku termakan rayuanmu." Azey terkekeh rendah, suara itu sarat akan ejekan yang memikat. "Kau selalu kesulitan mengakui hasratmu yang sebenarnya, sayang. Padahal kita sama-sama kecanduan pada kenikmatan yang sama."
Taeri membeku, tak mampu membalas. Dengan gerakan cepat, ia turun dari pangkuan Azey dan bergegas menuju kamar mereka. Azey mengikutinya perlahan, senyum tipis menghiasi bibirnya. Sorot matanya mengikuti setiap gerak malu Taeri, seolah menemukan daya tarik dalam setiap penolakan yang diutarakan gadis itu. Ketegangan memenuhi udara, menunggu untuk meledak di ruang pribadi mereka.