Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 7
Meski selalu menahan rasa takutnya. Mbok Sri selalu berbesar hati untuk mengikuti maunya sang Majikan. Ia hanya mengangguk, lalu berjalan menuju kamar Eyang Wuluh yang berada paling belakang.
Setiap melewati lorong itu, tubuh Mbok Sri merinding. Ia berjalan cepat, sekaan tiada ujung jalan didepanya. Padahal, lorong itu tidak sejauh yang ia pikirkan. Entahlah, mungkin karena rasa takut memenuhi pikiranya.
Bagi Mbok Sri yang sudah hampir 20 tahun bekerja di rumah Lurah. Semenjak kematian Tuan Seno lah, seakan rumah itu terasa lebih agker. Biasanya, Tuan Seno setiap pagi selalu berjaga di belakang rumah, untuk melihat beberapa hewan piaraanya.
Namun sekarang, rumah itu seolah ikut terkubur bersama sang pemiliknya. Tiada kesan indah maupun cerah. Yang ada hanyalah sisa-sisa air mata yang menyayat.
*
*
Begitu pintu terbuka, Nanda di kejutkan dengan kedatangan Sekertaris Desa, yakni Pak Ahmad.
"Pak Lurah belum pulang, Mas?" tanya Pak Sekdes celingukan.
"Belum, Pak Ahmad! Mungkin nanti malam baru tiba! Apa ada keperluan dengan Bapak, nanti saya sampaika?!" Kata Nandaka kembali.
"Oh, nggak penting juga Mas! Nanti sama Mas Nanda juga nggak papa. Ini hanya membahas kerja bakti yang nanti sore diadakan didepan desa. Sekalian, membahas masalah Plasmen yang sudah hampir ambrug itu. Kasian kalau ada warga yang terkena imbasnya!" Jabar Pak Ahamd.
"Oh, iya Pak! Nanti jam berapa saya datang?"
"Jam 9 pagi, Mas! Nanti datang saja ke Balai Desa! Saya mau ke rumah Rw, biar berita ini segera disampaikan! Permisi," Pak Ahmad langsung kembali pulang.
Pintu Nanda tutup kembali. Rencananya, ia akan menuju kamarnya untuk membersihkan diri. Namun begitu ia melewati sebuah jam besar yang berdiri tegap di pojok ruang, kini alaramnya berbunyi.
Setiap pukul 6 pagi, jam itu berdentang.
Tengggg!!!
Tengggg!!!
Suanranya menggema. Nyaring. Lirih terbawa angin bagi. Jam kuno itu terselimuti oleh pahayan kayu jati yang mengkilap. Ukiranya dua naga yang mengitari kayu tersebut.
Entah mengapa, sejak dulu hingga sekarang, rumah megah itu terlihat senyap sekali. Nanda sampai menghentikan langkahnya, dan mencoba berjalan di pojok jam besar itu.
"Mas Nanda ... Di panggil Eyang!"
Suara Mbok Sri berhasil memecah keheningan yang terjadi. Nanda urungan niatnya untuk mendekat kearah jam tua itu.
"Oh ya, Mbok! Nanti saya segera kesana!"
Dan rupanya, Eyang Wuluh hanya ingin dibelikan bunga mawar di pasar. Bukan hal asing lagi bagi Nanda. Sejak ia kecil pun, Eyang Wuluh selalu memakaikan gelungan rambutnya bunga mawar. Bunga itu tertancap indah di tengah-tengah gelunganya.
Nandaka sudah rapi dengan celana panjang, begitu kemeja batik pendek. Ia kini melajukan motornya terlebih dahulu menuju pasar untuk membelikan sang Nenek bunga mawar.
"Nandaka ...!!"
Merasa ada yang memanggil namanya, Nandaka segera menghentikan laju sepeda motornya itu. Ia menoleh, kala seorang wanita cantik yang berdiri di tepi jalan pasar, melambaikan tangan kearahnya.
Nanda baru sadar, jika wanita tadi temanya semasa duduk di bangku SMA dulu. Namanya-Garini.
Wanita cantik itu berjalan agak cepat menghampiri Nanda.
Dan begitu tiba, Nanda sedikit memicingkan kepala sambil tesenyum, "Kamu Garini, ya?"
"Iya. Kamu masih ingat sama aku 'kan?" Garini terkekeh sedikit agak malu. "Oh ya ... Kamu juga dari Pasar Nda?"
Nandaka mengangguk. "Iya nyariin pesananya Eyang! Lha ini, kamu naik apa kesini tadi?"
"Jalan kaki, Nda! Tadi habis subuh berangkat kesini." jawab Garini antusias.
Hampir jam 7 itu, Gendhis dsn Ibunya naru juga keluar dari pasar. Bersyukurnya, barang daganganya sudah laku terjual semua. Wajah cerah menyelimuti keduanya wanita beda generasi itu.
Pasar tradisional itu sudah berdiri dari tahun 1970. Dan hampir 20 tahun ini, keadaan pasar masih tetap ramai. Pasar Tlogoarum itu, kini menjadi pasar satu-satunya yang sering di datangi dari berbagai desa disana.
Dan reflek, kedua mata Gendhis menangkap pemandangan yang menyayat hati. Didepanya, Nandakan mengendari motor, melewatinya begitu saja sambil membonceng seorang wanita cantik.
Wanita itu mengenakan rok panjang, yang di paduan kaos panjang bewarna putih. Rambut wanita tadi terurai, hanyur diterba angin. Entah perasaan Gendhis sendiri, wangi semerbak itu muncul dari motor Nanda usai melintas. Wajah Nanda yang berbalut topi itu menatap lurus, tak melihat keberadaan Gendhis bersama Ibunya.
"Itu bukanya Nandaka, Ndis?" Bu Siti sampai menunjuk kearah motor Nanda yang hampir menghilang.
"Iya, itu benar Mas Nanda, Bu!" Ekor mata Gendhis juga tak lepas dari motor kekasihnya itu. 'Siapa wanita itu? Kenapa dia sedekat itu sama Mas Nanda? Apa mereka sudah mengenal sebelumnya?'
Pikiran Gendhis menerjang jauh, hingga tepukan dari Ibunya kini mampu mengembalikan kesadaranya. "Ya sudah, ayo kita pulang! Nanti keburu siang!"
Gendhis mengangguk, lalu segera pulang.
***
Bak terhipnotis oleh senyuman Garini, Nandaka hanya mengikuti saja begitu temanya itu meminta untuk diantarkan pulang.
Namun, ada yang berbeda dalam perjalananya kali ini. Kendaraan masih sangat jarang di tahun 90 an itu. Hanya ada beberapa saja yang melwati. Selebihnya orang berjaln kaki tanpa lelah.
Sejak tadi, Nanda tidak menemukan plasmen desa Garini. Wanita itu tinggal di Desa Waruireng, masih satu kecamatan dengan Desa Nanda.
"Rin, kok sejak tadi nggak ada plasmen ya? Apa aku salah ambil jalan?"
Rini sedikit memajukan wajahnya, "Nggak, Nda! Kamu maju saja kedepan. Nanti plasmennya kelihatan kok!" kata Garini kembali membenarkan duduknya.
Nandaka hanya mengangguk. Ia terus melajukan motornya dengan tenang.
Dua bambu kuning berdiri dikedua sisi jalan, melengkung keatas, seolah sedang menyambut kedatangan putra Lurah itu. Tidak ada yang janggal dalam perjalananya kali ini. Namun, wajah Garini tampak lebih pucat jika dipandang dari spion kaca motor.
Jalanan menuju Desa Waruireng lebih buruk dari jalanan Desa Sendang Wangi. Jalanan itu hanya dapat dilewati dua motor saja. Banyak batu kerikil, serta tanah yang tak rata menemani perjalanan setiap pengendara.
Dan yang lebih ekstrimnya, Desa Waruireng seakan tertinggal sendiri. Desanya berada ditengah hutan belantara, dan sama sekali tidak ada listri yang masuk ke Desa itu.
Meski masih pukul 7 pagi, tapi sorot mentari sulit sekali menembus rapatnya pepohonan besar yang menjulang tinggi. Kesan mistis pun terasa lebih kental.
"Ini rumah kamu yang mana, Rin?" Tanya Nandaka kembali. Ia hampir masuk di tengah-tengah desa.
"Maju sedikit, Nda! Dibalik pohon itu, nanti kamu berhenti disana saja!" Timpal Garini.
'Kok tumben aku nggak melihat apa-apa? Apa mata batinku tertutup?' Nandaka sudah menghentikan motornya. Ia saat ini berhenti didepan sebuah rumah tua, berdinding kayu papan yang sangat usang.
Kabut putih bernaung diujung rumah Garini, bagaikan tembok tinggi yang berdiri tegap. Nanda tidak dapat melihat lagi, apakah ada beberapa rumah atau tidak disana.
Pagi itu seolah waktu pun ikut berhenti berputar. Desa Waru Ireng tampak senyap, bahkan suara burung pun enggan bercuit. Nanda mengedarkan matanya keseluruh tempat, namun tidak ada satupun manusia yang melewati tempat itu.
Depan rumah Garini sudah hutan belantara, dengan jurang dibawahnya.
"Mau mampir dulu, Nda?! Tak buatkan teh hangat dulu-"
"Nggak, nggak usah Rin! Aku harus segera pulang, nanti takut dicarikan Eyang!" Sela Nandaka dengan langsung menghidupkan kembali motornya.
Garini hanya mampu tersenyum tipis, membalikan badan menatap kepergian temanya itu. Sorot mata Garini begitu tajam, bak anak panah yang terlempar kearah punggung Nanda.
Wushhhh ...
Namun, setelah Nanda melewati plasmen desa itu. Entah mengapa, waktu seakan berputar dengan cepat. Angin berhembus kuat, bak mengembalikan waktu yang tertahan. Hutan belantara yang ia lewati tadi, kini mendadak hilang didepan matanya.
Saking tercengangnya. Nanda sampai menghentikan motornya ditepi jalan. Untuk yang ia tatap saat ini. Keadaan Desa Waru Ireng sama seperti desanya. Banyak orang yang berlalu lalang, bahkan beberapa kendaraa juga melewati tempatnya.
Dan suasana, sinar mentari kian menghatkan badan dinginya sejak tadi. Pepohonan rindang juga musna bak tertelan waktu. Yang ada, pinggiran jalan itu ditanami padi, dan ada pula pohon singkok yang mulai tumbuh tunas.
"Mas, kok kelihatanya bingun? Masnya dari mana?" Pria tua yang saat ini memikul cangkul, kini berhenti disamping motor Nanda.
"Saya habis mengantarkan teman saya, Pak! Namanya Garini! Tapi kok-"
"Garini?" Pria tua itu tersentak kala mendengar nama Garini disebutkan. Dari wajahnya, seakan ada sesuatu yang janggal dengan warga desa itu.
Nandaka semakin di buat penasaran. "Bapak tahu 'kan, Garini?"
"Nak ... Garini sudah meninggal satu tahun yang lalu!"
Deg!!!
Deg!!!