"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Seorang sekuriti menghampiriku. Gemetar hatiku.
"Apa aku kabur saja?" gumamku dalam hati.
"Sudah sejauh ini, masa aku harus kabur? Demi Melati, aku tidak boleh lari." Akhirnya, aku bertahan.
“Maaf, Pak. Antar paket makanan atas nama siapa?” tanyanya.
Dia pasti mengira aku sedang mengantar makanan, karena aku memakai jaket ojol.
Aku menggelengkan kepala.
“Oh, Bapak menunggu penumpang atas nama siapa? Biar saya carikan orangnya,” tanya sekuriti itu kembali dengan sopan.
Aku hanya menggelengkan kepala.
Wajah sekuriti itu mulai berubah—tidak lagi ramah seperti tadi.
“Kalau tidak ada kepentingan, silakan keluar, Pak. Banyak tamu penting yang akan datang. Jangan menghalangi jalan,” ucapnya dengan tegas.
HT di pundaknya terus berbunyi, melaporkan situasi. Sepertinya memang akan ada tamu penting yang datang.
“Apakah tamunya sudah datang?” Suara itu terdengar jelas di telingaku, entah dari HT atau interkom.
“Belum, Pak. Ini ada ojol di gerbang,” jawab sekuriti.
“Oke. Tanya, dia Riko atau bukan,” suara itu kembali terdengar—lebih tegas dari sebelumnya.
Aku mengernyitkan dahi. Kenapa namaku disebut-sebut?
“Bapak, namanya siapa?” tanya sekuriti.
“Riko,” jawabku singkat.
“Ini ada ojol mengaku atas nama Riko,” kembali sekuriti itu melapor lewat HT.
“Tanya, dia punya kartu nama atau tidak,” suara itu terdengar lagi—tenang tapi berwibawa.
“Bapak punya kartu nama?” tanya sekuriti itu padaku.
Aku mengangguk pelan, lalu menyelipkan tangan ke dalam saku jaket dan mengeluarkan kartu nama yang sempat diberikan oleh pria yang mengaku bernama LH.
Dengan sedikit ragu, aku menyerahkannya.
“Ada, Pak,” lapor sekuriti itu melalui HT.
“Oke, sambut dengan baik. Arahkan ke ruang VVIP. Pandu, jangan sampai nyasar,” balas suara di seberang.
“Siap, laksanakan.”
Aku hanya tertegun mendengar percakapan itu.
Bingung. Tak mengerti. Dan jujur saja—aku tidak percaya.
Aku ini cuma tukang ojol. Kulitku legam karena terbakar matahari, bajuku bau keringat. Tapi… aku disebut sebagai tamu VVIP?
“Silakan masuk, Pak. Motornya biar rekan kami yang urus,” ucap sekuriti itu kini dengan nada sopan, bahkan sedikit hormat.
Aku melangkah pelan, dipandu oleh seorang sekuriti yang bahkan seragam dan sepatunya jauh lebih rapi dibanding pakaianku yang lusuh dan berdebu.
Tapi anehnya, setiap orang yang kami lewati—resepisonis, petugas kebersihan, bahkan pria berdasi yang sedang berbicara lewat ponsel—semuanya membungkukkan kepala padaku.
Bingung, aku hanya bisa membatin,
“Apa mungkin hanya karena selembar kartu nama mereka memberiku penghormatan sebesar ini? Atau... jangan-jangan aku sedang masuk ke dunia fiksi?”
Langkahku terhenti di depan lift yang pintunya mengilat seperti cermin. Lantainya marmer, putih bersih dengan guratan emas. Di sisi kanan dan kiri, lampu gantung kristal memantulkan cahaya yang menenangkan tapi mewah—semewah hotel bintang lima yang hanya kulihat dari film.
Lift terbuka dengan suara lembut "ting..."
Di dalamnya, cahayanya hangat, dengan dinding panel kayu cokelat mengilap dan pegangan besi yang dingin saat kugenggam.
Kami naik tanpa banyak kata. Angka demi angka menyala.
Lantai 5. Lantai 6. Lantai 7...
“Ini lantai 8, Pak,” ujar sekuriti itu pelan.
Pintu lift terbuka. Aroma kayu mahal dan kopi seduh langsung menyambutku. Karpet merah tua terbentang dari lift hingga ke lorong utama. Di sisi kanan, dinding kaca menampilkan pemandangan Jakarta yang sibuk, gedung-gedung tinggi tampak seperti miniatur dari ketinggian ini.
Langkahku terhenti di depan sebuah pintu besar berlapis ukiran logam dan kaca buram bertuliskan:
"Lufti Law & Partners – Executive VVIP Room"
Sekuriti membuka pintunya perlahan.
Ruangan itu seperti ruang kerja presiden dalam film-film luar negeri. Meja kayu solid besar berdiri kokoh di tengah, dengan sofa kulit hitam di sisi kanan. Sebuah lukisan abstrak tergantung di dinding, dan rak buku tinggi penuh dengan berkas-berkas hukum tertata rapi.
Lampu gantung di atas kepala memancarkan cahaya hangat, membuat ruangan terasa tenang tapi penuh wibawa.
Aku duduk di sofa mewah, sepertinya setahun aku onbit tidak akan pernah terbeli sofa yang aku duduki ini
Tak lama kemudian, muncul seorang pria—usia sekitar tiga puluh lima tahun—melangkah tenang ke arahku. Jas hitamnya rapi, mengilap seperti baru diambil dari butik mahal. Jam tangannya mencolok: berkilau, klasik, dan sepertinya bukan barang yang dijual bebas di mal biasa.
Ia tersenyum sopan sambil mengulurkan tangan.
“Dengan Pak Riko?” tanyanya ramah.
“Iya, Pak. Saya Riko,” jawabku cepat, sedikit canggung.
“Perkenalkan, nama saya Yusuf Nasution,” ucapnya sambil menjabat tanganku dengan mantap.
Aku sedikit mengangguk. Nama itu... terdengar kokoh dan berwibawa. Nasution—ya, aku pernah dengar. Orang bilang, banyak pengacara hebat berasal dari suku Batak. Mereka dikenal gigih belajar, tangguh di medan debat, dan pantang menyerah jika membela kebenaran. Entah benar atau tidak, tapi sekarang aku sedang berdiri di depan salah satunya.
“Di penjara, saya disuruh menemui Pak LH. Beliau ada, ya?” tanyaku, masih bingung menata kenyataan yang kualami.
Pak Yusuf tersenyum kecil. Ada nada geli dalam tawanya yang tertahan.
“Pak LH itu, ya... dia yang memberikan kartu nama pada Bapak,” jawabnya santai.
Aku tersentak. Napasku tertahan sejenak.
Dia? Yang punya kantor hukum sebesar ini? Tapi... dia sendiri ada di penjara?
Pikiranku mulai sibuk merangkai potongan-potongan aneh yang tak nyambung. Bagaimana mungkin?
Melihat ekspresiku yang bingung, Pak Yusuf hanya tersenyum lagi, lalu berkata pelan, “Kenapa? Heran, ya?”
Aku mengangguk. Tak mampu berkata-kata.
Konsep ini terlalu asing bagiku—seorang pemilik firma hukum besar, dihormati, punya pengaruh... tapi juga bisa berada di dalam sel bersama para napi sepertiku?
“Ya, begitulah... hobi orang kaya kadang memang aneh dan nyeleneh,” ucap Pak Yusuf, menyunggingkan senyum kecil.
Ia menyibakkan rambutnya ke samping, dan di sana terlihat jelas bekas jahitan di pelipis kirinya.
“Dia—Pak LH—memukul saya pakai vas bunga. Lalu... dia sendiri yang menyuruh saya melaporkan ke polisi, agar dia bisa ditangkap,” ucap Pak Yusuf sambil mengusap bekas luka di kepalanya, ekspresinya campuran antara kesal dan pasrah.
Aku mengerutkan dahi. “Kenapa bisa begitu, Pak?” tanyaku tak percaya.
Pak Yusuf menghela napas panjang. Wajahnya menunduk sejenak seolah sedang menahan lelah, atau mungkin mengingat sesuatu yang tak masuk akal.
“Ya, dia memang orang aneh. Terlalu penasaran dengan kehidupan di balik jeruji besi... sampai-sampai rela menyamar jadi kriminal hanya untuk bisa masuk penjara,” jelasnya sambil mengangkat bahu, seolah mengatakan: jangan tanya logikanya.
Aku tertegun. Lidahku kelu.
Sungguh... hobi macam apa itu?
Orang-orang berlomba bebas dari jeruji, tapi dia malah mengejarnya.
Beberapa detik kemudian, aku tersadar kembali akan tujuanku datang. Dengan suara yang mulai tegas, aku pun menyebutkan maksud kedatanganku.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Sekarang POV autor.
Di rumah Ferdi, kekacauan terjadi.
Melati disekap di kamar. Ia terus berteriak dan menangis histeris.
"Ayahhh... aku ingin Ayah!" teriak Melati.
"Diam!" bentak Rosyidah dengan kesal.
Sementara itu, Ferdi tampak murung. Adiknya dipindahkan gara-gara membantu dirinya.
"Tenang, Bu... Bapak juga lagi pusing. Arsyad marah-marah terus sama Bapak. Gara-gara Bapak, dia dipindahkan ke Papua," jawab Ferdi sambil memegang kepalanya.
"Seharusnya si laras gugurkan saja anak itu dulu, Pak," ucap Rosyidah kesal.
"Kamu gila, apa? Kamu tahu sendiri Sinta hamil di usia 17 tahun, dan rahimnya lemah. Kalau dia menggugurkan bayi itu, maka bukan hanya bayi itu yang mati, tapi laras juga," ucap Ferdi mengingatkan.
"Iya, tapi anak itu jadi malapetaka bagi kita, Pak. Dan si Sinta lagi, kenapa nggak mau ngurus anak?" ucap Rosyidah kesal.
"Sudahlah, kasihan laras mah. Hidupnya tidak pernah bahagia. Sekarang biarkan saja dia bahagia bersama Doni," jawab Ferdi yang memang selalu mengutamakan kebahagiaan laras
suasana mendadak hening hanya terdengar lengkingan melati seperti akan memecahkan gendang telinga mereka
"Bu... ada yang mau adopsi Melati. Dia mau bayar seratus juta, Bu," ucap Ferdi. akhirnya mengungkapkan niat terpendam selama ini.
Rosyidah tertegun. Jadi sebenarnya, inilah alasan sesungguhnya.kenapa ferdi begitu ngotot mengambil melati, ternyata ada keuntungan dibalik tindakan ferdi, dan sepertinya niat itu sudah lama, hanya menghargai laras saja ferdi menunda niatnya, setelah laras bertemu lagi dengan doni maka melati sudah benar-benar melupakan melati. dan itu kesempatan emas bagi ferdi.
Melati tidak pernah dianggap sebagai cucu. Bagi mereka, Melati adalah aib.
Bayi hasil hubungan sebelum pernikahan adalah aib besar dalam keluarga itu.
"Jadi... kita akan menjual anak itu?" tanya Rosyidah pelan.
"Kamu terlalu kasar dalam bicara. Kita hanya ingin memberikan kehidupan yang layak untuk cucu kita, bukan menjualnya," ucap Ferdi kesal.
"Si Arsyad minta uang lima puluh juta. Kalau tidak, dia akan menyeretku ke penjara. Kamu juga butuh uang, bukan?" tanya Ferdi—bukan meminta persetujuan, tapi menawarkan untung dan rugi.
Sepertinya, mereka mulai menganggap Melati sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan.