NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:254
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 22

Pagi itu, Zia membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, tapi ia bisa melihat dunia di luar jendela yang masih diselimuti gelap. Jam di dinding menunjukkan pukul 05.00 subuh. Udara kamar terasa sejuk, membuatnya enggan beranjak dari kasur. Namun, ia tahu tidak bisa berlama-lama. Hari ini akan ada senam bersama di sekolahnya, dan ia harus bersiap lebih awal.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Zia bangkit dari tempat tidur. Ia melangkah pelan ke kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin yang langsung membuat rasa kantuknya menguap. Setelah itu, ia mandi dan mengenakan mukena untuk sholat subuh. Suaranya berdoa lirih, hanya terdengar oleh dirinya sendiri. Usai sholat, ia lipat rapi mukenanya dan meletakkannya di atas lemari kecil di sudut kamar.

Zia mengambil baju olahraga yang sudah disiapkan semalam—kaos lengan panjang warna biru tua dan celana training hitam. Ia mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda tinggi, agar nanti saat senam tidak mengganggu. Di cermin, ia melihat wajahnya sendiri. Tatapannya sedikit kosong, pikirannya melayang pada kejadian kemarin. Ia menarik napas panjang, mencoba menyingkirkan rasa kesal yang masih tersisa.

Dengan langkah pelan, Zia keluar dari kamarnya. Alih-alih langsung turun ke lantai bawah, ia berjalan ke arah kamar Azka. Pintu kamar itu tertutup rapat. Sejenak, ia hanya berdiri di depan pintu, menatapnya tanpa ekspresi. Untuk hari ini, ia masih memilih untuk tidak bertemu atau berbicara langsung dengan Azka. Masih ada jarak yang ia butuhkan, sekadar untuk menenangkan hati.

Zia memutar gagang pintu perlahan. Begitu pintu terbuka, aroma parfum maskulin yang khas langsung menyeruak. Azka masih terlelap di atas ranjang, selimut menutupi setengah tubuhnya. Zia melangkah masuk tanpa suara, lalu menuju lemari pakaian. Ia memilihkan setelan rapi untuk majikannya itu: kemeja putih bersih, jas abu-abu, dan celana panjang abu-abu untuk ke kantor. Ia juga menyiapkan dasi biru gelap, menyusunnya rapi di kursi kerja yang ada di sudut kamar. Setelah itu, ia meletakkan jam tangan favorit Azka di meja kecil dekat pintu, agar mudah terlihat.

Tanpa menoleh lagi, Zia meninggalkan kamar itu. Langkahnya kemudian menuju kamar Aksa. Saat pintu dibuka, kamar itu masih setengah berantakan—bantal tergeletak di lantai, selimut melorot hampir sepenuhnya, dan sisa-sisa bungkus snack ada di meja belajar. Zia menghela napas kecil. Semalam, ia tahu Aksa begadang menonton film zombie. Ia hanya bisa menggeleng pelan sebelum mulai merapikan.

Di lemari Aksa, ia memilihkan baju olahraga yang sama seperti miliknya—kaos lengan panjang biru tua dan celana training hitam. Ia juga mengambil handuk bersih dan menaruhnya di gantungan dekat kamar mandi. Tak lupa, ia mengisi botol minum Aksa dengan air dingin, lalu menaruhnya di meja belajar agar mudah dibawa nanti.

Sesudah semua selesai, Zia berjalan turun ke dapur. Suara langkahnya pelan, berusaha tidak membangunkan siapa pun. Ia menyalakan lampu dapur, lalu mulai menyiapkan sarapan. Telur, roti panggang, dan susu hangat menjadi pilihannya pagi ini. Meskipun masih ada rasa kesal pada Azka, ia tetap menyiapkan porsi untuk semua anggota keluarga. Baginya, merawat tetaplah kewajiban dirinya, walau hati sedang tidak sepenuhnya tenang.

Sambil memasak, pikirannya melayang lagi. Ia teringat tatapan Azka kemarin yang terasa berbeda. Ada sesuatu yang ingin dikatakan, tapi tertahan. Mungkin nanti, setelah suasana hatinya lebih baik, ia akan membuka percakapan. Tapi untuk sekarang, diam adalah pilihan terbaik.

Jam dinding di dapur sudah menunjukkan pukul 05.45. Zia menyelesaikan sarapannya, lalu menata meja makan. Aroma roti panggang yang hangat perlahan memenuhi ruangan.

______

Azka turun ke bawah, langkahnya terdengar pelan namun mantap di anak tangga. Aroma kopi hangat dan roti panggang samar-samar tercium, menandakan Oma Ririn sudah bangun sejak subuh. Begitu kakinya menapak di lantai ruang makan, ia langsung melihat Oma Ririn duduk dengan tenang di ujung meja, menyibukkan diri dengan membuka majalah pagi. Di sebelahnya, Aksa sedang asik memainkan sendoknya, memukul-mukul pelan gelas air putih hingga menimbulkan bunyi “ting ting” yang entah kenapa cukup mengganggu telinga.

“Kalian kenapa nggak sarapan?” tanya Azka sambil berjalan mendekat, nadanya datar seperti biasa, tapi matanya menyapu piring-piring kosong di hadapan mereka.

“Kita nunggu Bang Azka sama Zia,” jawab Aksa santai sambil sedikit membuka mulut, lalu kembali memainkan sendoknya. Seakan sarapan bukan hal yang mendesak, padahal perutnya mungkin sudah keroncongan.

Azka mengerutkan kening. “Tapi Abang lihat… kamar Zia udah sepi.” Ucapannya keluar tanpa intonasi berlebihan, tapi cukup untuk membuat Oma Ririn menoleh cepat.

“Kayaknya Zia udah berangkat deh,” sahut Oma Ririn sambil meletakkan korannya di meja. Pandangannya berubah sedikit tajam, seperti sedang memproses sesuatu.

Aksa yang menyadari perubahan ekspresi itu hanya cengar-cengir kecil. “Apakah ada sebuah masalah waktu Oma pergi?” tanya Oma Ririn, kali ini nadanya penuh selidik. Mata tuanya menyipit, bergantian menatap Aksa dan Azka.

“Enggak kok, Aksa sama Zia baik-baik aja. Kagak ada ribut-ribut… nggak tahu tuh sama Bang Azka,” jawab Aksa cepat, bahkan terlalu cepat, seperti ingin segera memotong arah pembicaraan.

Azka menghela napas, lalu menarik kursi dan duduk. “Aku nggak ribut sama dia,” ujarnya singkat. Tapi ia tidak melanjutkan, memilih mengambil cangkir kopi yang sudah disiapkan Oma Ririn. Kepulan uapnya naik perlahan, memberi sedikit rasa hangat di wajahnya.

Oma Ririn tetap belum puas. “Kalau nggak ribut, kenapa Zia udah pergi duluan? Biasanya kalian berangkat bareng, kan?” Nada suaranya tenang, tapi ada tekanan halus di balik kata-katanya.

Aksa terkekeh pelan, mencoba meredakan ketegangan. “Ya kali aja Zia pengen jalan-jalan pagi dulu sebelum ke sekolah, Oma. Dia kan anaknya bandel.”

“bandel apanya? Itu anak kalau udah diem berarti ada apa-apa,” balas Oma Ririn cepat, membuat Aksa terdiam sebentar.

Azka menatap kosong ke arah cangkirnya, memutar-mutar sendok kecil di dalamnya. “Dia cuma… nggak mau ketemu aku dulu, mungkin,” gumamnya pelan.

Aksa yang duduk di seberang langsung melirik. “Lah, berarti kalian ada masalah dong?”

“Nggak ada yang perlu dibahas,” jawab Azka cepat, kali ini nadanya sedikit lebih keras dari sebelumnya. Ia lalu mengambil roti dan mengolesinya dengan selai, berusaha mengalihkan topik.

Oma Ririn mendesah pelan. “Kalian ini kalau ada masalah harusnya dibicarakan. Jangan malah diem-dieman. nggak bisa terus terusan dirahasiakan."

Aksa tersenyum tipis, tapi matanya memandang Azka dengan tatapan penuh tanda tanya. “Kalau gitu, Bang, cerita aja. Biar Aksa sama Oma bantu nyari solusi.”

Azka tetap tak menjawab. Ia hanya fokus mengunyah rotinya. Aksa akhirnya menyerah untuk memaksa, tapi dalam hatinya ia yakin ada sesuatu yang besar terjadi antara Azka dan Zia sejak kemarin malam.

Suasana meja makan menjadi agak hening. Hanya terdengar bunyi sendok dan piring yang bersentuhan. Di luar, sinar matahari mulai menyelinap melalui celah tirai, membuat ruang makan terasa lebih hangat.

Tiba-tiba, ponsel Aksa bergetar di atas meja. Ia melihat layarnya sebentar lalu mengangkat alis. “Eh, chat dari Zia.”

Oma Ririn spontan mencondongkan tubuh. “Dia bilang apa?”

Aksa membaca cepat lalu mengangkat kepalanya. “Dia cuma bilang udah di sekolah, lagi bantu guru siapin barang  buat senam. Nggak ada yang aneh.”

Azka menatap ponsel itu sebentar, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam hatinya, ia ingin tahu kenapa Zia pergi tanpa pamit, tapi egonya menahan untuk bertanya langsung.

Oma Ririn mengambil napas panjang. “Ya udah… tapi tolong, kalian jaga sikap sama dia. Zia itu anak baik, kalau sampai dia merasa nggak nyaman di rumah ini, Oma yang sedih.”

Aksa mengangguk pelan, sedangkan Azka hanya menatap ke arah jendela, pikirannya melayang entah ke mana. Dalam diam, ia berjanji akan mencari waktu untuk bicara empat mata dengan Zia.

Setelah sarapan selesai, mereka bertiga beranjak dari meja makan. Azka mengambil kunci mobilnya, bersiap ke kantor. Aksa dengan santai memanggul tas olahraga dan berjalan menuju garasi. Sementara itu, Oma Ririn hanya menggeleng tipis, memandangi punggung kedua cucunya yang pergi tanpa sempat memperbaiki suasana.

Di luar, matahari pagi sudah bersinar cerah. Tapi entah kenapa, di hati Azka, awan mendung justru mulai berkumpul.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!