Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Malam turun perlahan, cahaya lampu jalan yang temaram menyoroti barisan rumah kontrakan sederhana itu. Sebuah mobil hitam berhenti. Dari dalam, keluar sosok Miko. Wajahnya tegas, dingin seperti biasa, tapi di balik sorot matanya ada kegelisahan yang ia sembunyikan rapat.
Ia berdiri beberapa saat di depan salah satu pintu yang catnya mulai mengelupas, menatap pintu rumah itu lama, seolah berusaha membaca jejak kehidupan yang pernah ada di sana. Tangannya terangkat, hendak mengetuk, namun terhenti di udara.
Akhirnya, ia memilih melangkah langsung ke pintu dan mengetuk keras.
Tok… tok… tok…
Tak ada jawaban.
Miko mengetuk sekali lagi, lebih kuat. “Rania… aku tahu kau ada di sini. Keluar.”
Keheningan. Hanya suara jangkrik dan anjing dari kejauhan yang menjawab.
Seorang pria paruh baya membuka pintu dan menatap heran. “Cari siapa, Pak?”
Miko menatap tajam. “Aku mencari Rania.” menjawab singkat
“Oh… saya disini tinggal sendirian sejak 1 tahun lalu. Saya tidak mengenal nama yang anda maksud.”
Miko terdiam, terlihat rahangnya mengeras. “Jadi waktu itu dia benar-benar pergi…? Semudah itu dia meninggalkan putranya?”
___
Setahun sudah berlalu sejak Rania dan Chesna meninggalkan kontrakan lama mereka. Kini, keduanya tinggal di suatu kota yang berbeda, jauh dari bayangan masa lalu. Kota itu ramai dengan hiruk pikuk pasar dan deru kendaraan, namun di sudut kecilnya, Rania menemukan rumah kontrakan sederhana yang bisa mereka sebut “tempat berteduh.”
Pagi itu, Rania duduk di beranda rumah kecil mereka, menyiangi sayuran yang baru saja dibelinya dari pasar. Wajahnya terlihat lebih tenang dibanding setahun lalu, meski kerutan halus di sekitar matanya menandakan lelah yang belum pernah benar-benar hilang. Sesekali ia menoleh ke dalam rumah, memperhatikan putrinya.
Chesna yang kini berusia 11 tahun sedang menekuni buku catatannya di meja kecil ruang tamu. Ia menulis sesuatu dengan serius, sesekali menggambar bunga di pinggir halaman.
Rania bertanya lembut, “Apa yang kau tulis, Nak?”
Chesna mendongak, tersenyum malu.“Catatan sekolah, Ma. Tapi aku juga menulis mimpi-mimpi aku. Supaya aku nggak lupa.”
Rania terkesiap,. Ia bangkit dan mendekat, duduk di samping putrinya. “Mimpi apa yang kau tulis kali ini?”
Chesna membuka halaman bukunya. Di sana tertulis dengan tulisan tangan anak-anak, Aku ingin jadi dokter. Biar aku bisa menolong orang yang sakit, seperti Alan dulu.
Rania tersenyum lembut, menahan perasaan yang tiba-tiba memuncak. Nama itu, Alan, masih sering muncul dari mulut Chesna. Meski setahun berlalu, kerinduan anak itu pada saudara kembarnya tak pernah padam.
Rania mendekap bahu Chesna.
“Doa itu jangan berhenti, Nak. Siapa tahu kelak jalanmu benar-benar sampai ke sana.” Chesna menoleh, matanya berbinar namun tetap diselimuti kesedihan.
“Ma… Alan baik-baik saja kan di sana? Walau kita nggak tahu dia ada di mana sekarang…”
Rania terdiam, menatap jauh ke luar jendela. Air matanya nyaris jatuh, tapi ia paksa bibirnya tersenyum. “Tentu. Alan anak kuat. Mama yakin dia juga merindukanmu.”
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Hanya suara burung dari pepohonan yang terdengar. Namun di balik kesunyian itu, ada harapan kecil yang tetap hidup, harapan bahwa suatu hari, entah kapan, keluarga kecil mereka bisa dipertemukan kembali.
___
Gedung sekolah itu menjulang megah dengan arsitektur modern, halaman luas yang selalu dipenuhi suara tawa anak-anak dari berbagai kalangan elit. Di antara mereka, Alan berjalan dengan seragam rapi dan tas di bahu, seakan menyatu dengan dunia barunya. Namun, di balik wajahnya yang tampak tenang, ada sesuatu yang terus menggelayuti pikirannya.
Saat bel istirahat berbunyi, murid-murid berhamburan menuju kantin. Alan hanya duduk di bangku taman sekolah yang rindang, matanya kosong menatap rerumputan.
"Sekolah ini besar, semua orang kelihatan punya tujuan. Tapi… kenapa aku merasa ada yang hilang? Kenapa aku selalu ingat wajah itu? Chesna… apa kau juga memikirkan aku sekarang? Seharusnya kau bersekolah denganku disini."
Ia menggenggam buku catatannya erat. Di salah satu halaman belakang, ada gambar yang ia coret diam-diam, dua sosok anak kecil bergandengan tangan. Satu laki-laki, satu perempuan. Ia menggambar itu berulang-ulang, seperti takut melupakan bentuk ikatan yang dulu sangat nyata.
Seorang teman sekelas, Raka, menghampiri dengan senyum ramah. “Kenapa duduk sendirian, Lan? Ayo ke kantin, teman-teman lagi pada kumpul.”
Alan mengangkat wajahnya, tersenyum tipis. “Nggak, aku lagi nggak lapar. Kalian duluan aja.”
Raka mengangguk, lalu pergi. Alan kembali termenung. Ia menoleh pada gedung sekolah yang megah, tapi justru merasa semakin kecil.
"Aku punya segalanya sekarang. Sekolah bagus, rumah besar, bahkan ayah dan adik baru. Tapi kenapa hatiku terasa kosong? Aku rindu… aku rindu Chesna. Mama… Aku harus cari cara… tapi gimana? Aku bahkan nggak tahu mereka ada di mana."
Alan mendesah, menutup buku catatannya. Di balik senyum sopannya pada orang-orang sekitar, ada luka dan kerinduan yang ia simpan rapat-rapat. Hari-hari berlalu, tapi bayangan wajah kembarannya tak pernah lepas dari ingatannya. Ia merasa ada benang tak terlihat yang tetap menghubungkan mereka, benang yang suatu hari, ia harap, bisa menuntunnya kembali pada Chesna, juga mama tentunya.
___
Suatu sore, setelah kelas tambahan selesai, Alan sengaja menunggu sampai ruang komputer sekolah sepi. Ia duduk di depan layar, jari-jarinya gemetar saat mulai mengetik.
Ia mencoba beberapa kata kunci: “Chesna”, “Chesna Rania”, “Chesna siswa sekolah…”. Tapi hasilnya nihil. Sesekali ia menoleh ke pintu, takut ada guru atau teman yang melihatnya.
Alan berbisik pada dirinya sendiri. “Aku harus tahu kamu di mana, Ches… Aku janji aku bakal nemuin kamu, apa pun caranya.”
Malamnya, di rumah, ia hampir memberanikan diri bertanya pada Miko. Saat makan malam bersama, ia membuka mulut.
“Papa…”
Miko menoleh, alisnya terangkat.
“…kalau aku punya teman lama… terus aku kangen banget sama dia, kira-kira gimana cara nemuin dia lagi?”
Miko hanya menatap Alan lama, lalu menjawab datar.
“Kalau teman itu penting, biasanya dia akan kembali sendiri ke dalam hidupmu.”
Jawaban itu membuat hati Alan semakin resah. Ia tahu ayahnya menyembunyikan sesuatu, tapi ia tidak punya keberanian untuk memaksa.
“Jelas saja papa tidak tahu Chesna adalah putrinya. Mungkin mama sengaja tidak terus terang tentang Chesna.” Terselip rasa syukur dalam hatinya tentang ketidaktahuan Miko soal Chesna. Karna jika ayahnya itu mengetahui tentang putrinya yang lain, Chesna-pun akan dibawa pergi dan jelas saja mama mereka akan kehilangan kedua anaknya.
__
Di kota lain, malam itu Chesna duduk di meja belajarnya yang sederhana. Cahaya lampu temaram menemani tangannya yang lincah menulis. Di hadapannya, sudah ada beberapa lembar kertas penuh coretan.
“Untuk Alan, kakakku… entah kamu di mana sekarang. Aku rindu. Aku masih ingat kita suka main di bawah pohon jambu, kamu suka ngalah kalau aku marah-marah, dan kamu yang selalu bilang aku jangan takut kalau hujan deras datang. Alan… aku takut kalau suatu hari aku lupa wajahmu. Tolong jangan lupakan aku dan mama juga.”
Air mata menetes di pipi Chesna, membasahi kertas. Ia buru-buru meremas surat itu, tapi kemudian merapikannya lagi dan memasukkannya ke dalam kotak kecil. Kotak itu sudah penuh dengan surat-surat yang tak pernah terkirim, surat-surat yang hanya bisa ia titipkan pada harapan.
Ia menutup kotak itu erat-erat, lalu memeluknya sebelum tidur.
“Alan… suatu hari kita pasti ketemu lagi, kan? Aku percaya.”
Dua anak itu, meski terpisah jarak dan keadaan, sama-sama memendam kerinduan yang sama besar. Mereka tidak tahu bagaimana cara bertemu kembali, tapi ikatan darah dan cinta sebagai saudara kembar membuat doa mereka diam-diam bertemu di langit yang sama.
__
Malam itu, hujan turun deras di kota kecil tempat mereka tinggal sekarang. Rania baru saja menyelesaikan pekerjaannya, tubuhnya letih, tapi pikirannya terus menerawang pada Alan, anaknya yang sampai kini belum pernah lagi ia lihat.
Saat hendak membereskan kamar Chesna, pandangan Rania tertuju pada sebuah kotak kecil di sudut meja belajar. Kotak itu sudah sering ia lihat, tapi tak pernah berani membukanya. Malam itu, entah kenapa, hatinya terdorong untuk mengetahui apa yang disembunyikan putrinya.
Perlahan ia mengangkat tutup kotak itu.
Lembar demi lembar kertas terlipat rapi di dalamnya. Rania membuka salah satunya dengan hati-hati. Tulisan tangan Chesna yang rapi dan polos menyambutnya.
"Untuk Alan… aku kangen sekali. Aku ingin main sama kamu lagi, aku ingin cerita banyak hal, tapi aku nggak tahu harus ke mana. Aku takut aku lupa wajahmu, tapi aku janji nggak akan pernah lupa di hatiku."
Rania menutup mulutnya dengan tangan, bahunya berguncang. Air matanya jatuh deras, membasahi surat yang digenggamnya. Ia membaca surat lain, kali ini lebih panjang:
"Alan, aku tahu Mama sedih setiap kali namamu disebut. Aku nggak mau bikin Mama tambah sakit hati. Jadi aku cuma bisa nulis di sini. Alan, kamu masih inget aku, kan? Aku sayang kamu. Jangan biarkan aku sendirian di dunia ini tanpa kamu."
Rania terisak keras, tak mampu menahan perih di dadanya. Ia menekuk tubuhnya, memeluk surat-surat itu erat, seolah bisa mendekap kerinduan anaknya yang begitu tulus.
Rania berbisik lirih, penuh rasa bersalah: “Ya Tuhan… apa yang sudah aku lakukan? Kenapa harus kau pisahkan mereka? Alan, maafkan Mama… Mama gagal menjaga kalian tetap bersama.”
Tangisnya makin pecah. Rania baru sadar betapa kuatnya ikatan batin kedua anaknya, meski dunia sudah memaksa mereka terpisah. Dan ia, sebagai ibu, merasa menjadi orang paling bersalah karena tak mampu melawan takdir itu.
Tiba-tiba pintu kamar berderit. Chesna berdiri di sana, menatap ibunya dengan wajah pucat. Kotak di tangan Rania sudah cukup menjelaskan segalanya.
Dengan suara gemetar:
“Mama… jangan dibaca… itu cuma buat Alan.”
Rania segera bangkit, mendekap Chesna erat.
“Sayang… Mama justru bangga sama kamu. Kamu kuat, kamu tulus. Maafkan Mama… maafkan Mama karena Mama belum bisa bikin kamu ketemu lagi sama Alan.”
Chesna tak sanggup menahan tangis, ia membalas pelukan itu.
“Mama, aku cuma… aku cuma nggak mau Alan sendirian. Aku takut dia pikir aku udah lupa.”
Rania mengusap rambut putrinya, mencoba menenangkan.
“Tidak, Nak… Alan nggak akan pernah lupa. Mama yakin, suatu hari nanti, Tuhan akan pertemukan kalian lagi. Ikatan kalian terlalu kuat untuk bisa dipisahkan.”
Malam itu, di tengah suara hujan deras, dua hati, seorang ibu dan anak berpelukan erat. Di antara tangisan dan doa, ada janji dalam diam. Mereka akan tetap bertahan, sampai saat yang tepat tiba, ketika Alan dan Chesna bisa kembali bersatu.
___
Terima kasih...