NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batas yang retak

Kabut masih berputar di balik kaca jendela besar ketika Rosella perlahan membuka mata. Pandangannya buram, hanya tertangkap kilau api lilin yang menari di sudut ruangan. Udara di sini hangat—terlalu hangat—dan berbau rempah maskulin yang pekat, aroma yang langsung membuatnya sadar di mana ia berada.

Bukan hutan.

Bukan tanah basah tempat ia roboh.

Tempat ini … kamar Orion.

Ranjang tempatnya berbaring terlalu lebar, terlalu empuk dibanding lantai keras penjara. Tirai hitam tebal menggantung rapat, membuat ruangan terasa seperti perangkap.

Begitu kesadarannya pulih, rasa nyeri itu menyambar perutnya—panas, menusuk, dan berdenyut setiap kali ia bernapas. Ia menunduk, dan matanya membelalak. Balutan kain kasar melingkari perutnya, sudah ternoda merah tua.

Gaun lusuhnya saat kabur telah menghilang. Sebagai gantinya, ia mengenakan kain tipis longgar yang jatuh hingga lututnya—licin di kulit dan terlalu mudah terbuka, menyisakan bagian perutnya yang pucat.

Napas Rosella tercekat.

Siapa yang mengganti pakaiannya?

“Pada akhirnya kau bangun juga.”

Suara berat itu datang dari kegelapan di sudut ruangan.

Rosella menoleh.

Orion duduk di kursi kayu dengan sandaran tinggi, satu kaki disilangkan, sikunya bersandar santai di lengan kursi. Separuh wajahnya diselimuti bayangan, tapi tatapan biru itu—dingin dan penuh perhitungan—menusuk jelas ke arahnya.

Ia tidak tersenyum. Tidak juga marah. Tapi tatapan itu membuat jantung Rosella berdegup kencang, bukan karena rasa sakit, melainkan rasa terjebak.

“Kukira kau akan tidur sedikit lebih lama,” ucapnya pelan.

Rosella mencoba mendorong tubuhnya bangun, tapi rasa nyeri di perut memaku gerakannya. “Lepaskan aku ….” Suaranya serak, hampir berbisik.

Orion hanya mengangkat satu alis, lalu berdiri. Langkahnya pelan, nyaris tak bersuara, tapi setiap pijakan seakan menambah berat udara di ruangan itu.

Orion berhenti di sisi ranjang, menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan Rosella. Sorot matanya seperti pemangsa yang sedang menilai apakah mangsanya masih layak dimainkan sebelum dimakan.

Tanpa peringatan, jemarinya yang dingin menyentuh balutan di perut Rosella. Sentuhan itu membuatnya meringis, tubuhnya menegang refleks.

“Aku ingin tahu,” suaranya rendah, nyaris berbisik, “Apa yang ada di kepalamu saat memutuskan untuk lari … dalam keadaan seperti ini.”

Rosella menggertakkan gigi, mencoba menahan suara yang ingin lolos dari bibirnya. “Aku … lebih memilih mati di luar … daripada terkunci di sini.”

Sudut bibir Orion terangkat tipis—bukan senyum ramah, tapi garis sinis yang dingin. Tekanan jarinya di perban bertambah, membuat darah segar merembes ke kain.

“Sayangnya, kau gagal di keduanya.”

Napas Rosella memburu. Ia ingin menepis tangannya, tapi genggaman Orion di perutnya terlalu kuat. Dia tidak memegangnya untuk merawat—dia memegangnya untuk mengingatkan bahwa hidup Rosella sepenuhnya berada di tangannya.

“Aku bisa saja membiarkanmu mati di sana, Putri,” lanjutnya, matanya menatap lurus ke netra milik Rosella. “Tapi … kematianmu terlalu cepat akan jadi hadiah untukmu. Dan aku ....” Ia mencondongkan tubuh, suaranya turun menjadi bisikan yang tajam. “Tidak pernah memberi hadiah pada orang yang mencoba mempermainkanku.”

Rosella membalas tatapan itu, matanya bergetar namun tidak berpaling. “Kau akan menyesal .…”

Orion terkekeh pendek, lalu melepas tekanannya dan berdiri tegak. “Kita lihat nanti … malam ini.”

Orion berbalik, melangkah perlahan menuju meja di dekat jendela. Tangannya meraih segelas anggur merah, memutarnya perlahan seolah sedang memikirkan sesuatu. Punggungnya menghadap Rosella, tapi suaranya terdengar jelas.

“Aku selalu menghargai keberanian … meskipun bodoh,” ujarnya datar. “Dan kau, Rosella, telah menunjukkan keduanya.”

Ia meneguk anggurnya, lalu menoleh setengah, tatapan birunya kembali menancap padanya.

“Ada dua cara kau bisa mengakhiri malam ini,” lanjutnya, suaranya tenang namun mengandung ancaman. “Pertama … kau ikut duduk manis di meja jamuan bersama para jenderalku. Kedua … kau tetap di sini, bersamaku.”

Rosella menelan ludah, perutnya terasa semakin nyeri. “Kedua-duanya … tidak ada bedanya.”

Orion tersenyum tipis—senyum yang membuat darahnya terasa membeku. “Benar. Bedanya hanya pada siapa yang akan merobek sisanya dari harga dirimu lebih dulu.”

Keheningan merayap, hanya dipecah suara detak jam di sudut ruangan.

Lalu Orion berjalan kembali, berhenti di ujung ranjang.

“Pilihannya milikmu … tapi waktumu hanya sampai lilin itu padam.” Ia menunjuk satu lilin kecil di meja samping ranjang—nyalanya sudah goyah, sumbu mulai memendek.

Rosella tahu, apapun pilihannya, ia akan tetap jatuh ke dalam mulut serigala. Tapi di balik rasa takutnya, benih rencana lain mulai tumbuh—dan ia tidak akan membiarkan malam ini berakhir tanpa meninggalkan luka pada mereka.

Rosella memandang lilin di meja samping ranjang. Nyala api itu menari kecil, seakan sedang menghitung mundur nasibnya. Pilihannya jelas—entah bersama para jenderal, atau tetap di sini bersama sang Duke.

Tapi keluar dari kamar ini dalam keadaan setengah mati … bukan rencana yang bisa ia terima.

“Aku … tetap di sini,” suaranya lirih, tapi matanya menatap Orion dengan mantap.

Orion terdiam sejenak, lalu berjalan perlahan mendekat. Setiap langkahnya seperti gema yang memukul dinding batu ruangan, mengiringi detak jantung Rosella yang kian kencang. Ia berhenti di sisi ranjang, menatapnya dari atas.

“Keputusan yang menarik.”

Ia duduk di tepi ranjang, cukup dekat sehingga Rosella bisa merasakan panas tubuhnya. Jemarinya yang dingin bergerak menyibak helai rambut pirang yang menutupi wajahnya. “Kau tahu artinya, kan?”

Rosella menggertakkan gigi, mencoba menahan gemetar di tangannya. “Artinya … aku memilih musuh yang bisa kulihat matanya.”

Senyum tipis itu muncul di wajah Orion—senyum yang mengaburkan batas antara ancaman dan kekaguman. “Kau punya lidah yang tajam … bahkan saat nyawamu di tanganku.”

Ia mencondongkan tubuh, satu tangannya bertumpu di ranjang, membuat Rosella terkurung di antara lengannya. Aroma rempah dan anggur merah memenuhi napasnya. Jemarinya yang lain bergerak ke perban di perut Rosella, menariknya perlahan.

Rosella meringis saat udara dingin menyentuh kulitnya yang luka. Orion menatap bekas tembakan itu lama, seolah sedang menilai kerusakan pada benda berharga miliknya.

“Kau masih hidup karena aku memutuskan begitu,” ucapnya datar. “Tapi jangan berpikir itu berarti kau aman.”

Rosella menatap balik, napasnya cepat. “Aku tidak pernah mengira aman di dekatmu, Tuan Duke.”

Mata Orion menyipit sedikit, lalu tanpa peringatan ia menekan jarinya ke sisi luka itu. Rosella tercekik menahan teriakan, tubuhnya menegang di bawah genggamannya.

“Bagus. Jangan pernah lupa rasa sakit ini,” bisiknya di telinga Rosella. “Karena mulai malam ini … kau akan merasakannya dengan cara yang berbeda.”

Jari Orion masih menekan luka di perut Rosella ketika ia menarik diri perlahan, tatapannya tetap terkunci di wajahnya. “Kau gemetar,” katanya datar.

Rosella menahan napas, memaksakan nada suaranya tetap tenang. “Itu karena darahku sudah terlalu banyak yang hilang … bukan karena kau.”

Alis Orion sedikit terangkat, lalu senyum tipisnya kembali muncul—samar, tapi berbahaya. “Kau tahu … aku mulai mengerti kenapa membiarkanmu hidup jauh lebih menarik daripada membunuhmu.”

‘Tetapi, cepat atau lambat … pada akhirnya kau akan membunuhku juga,’ batin Rosella, dan jika saat itu tiba, ia akan memastikan sang Duke ikut jatuh bersamanya.

Ia berdiri, lalu melepas mantel hitamnya, menyampirkannya di kursi. Gerakannya lambat, nyaris santai, tapi di mata Rosella, setiap gerakan itu terasa seperti tarikan rantai yang semakin mempersempit ruangnya.

Orion kembali mendekat, kali ini duduk di tepi ranjang, jarak mereka hanya sejengkal. “Kau memilih tinggal di sini bersamaku, jadi aku akan memastikan kau mengerti arti pilihan itu.”

Tangannya terulur, menyentuh dagu Rosella, memaksa wajahnya menoleh ke arahnya. “Lihat aku.”

Mata gazel itu bertemu mata biru Orion—saling menahan pandang seperti duel yang sunyi.

Rosella tahu, membuang tatapan berarti kalah.

“Aku bisa membuatmu berlutut tanpa mengangkat pedang,” kata Orion, suaranya rendah namun menusuk. “Dan saat kau akhirnya melakukannya … itu akan terjadi karena kau menginginkannya.”

Rosella menelan ludah, menahan amarah yang nyaris tumpah. “Kalau hari itu datang, berarti aku sudah mati di dalam. Dan aku tidak akan memberimu kepuasan itu.”

Orion terkekeh pelan, nadanya seperti seseorang yang baru saja menemukan mainan baru. “Kita lihat … siapa yang kalah duluan.”

Ia kemudian meraih botol kecil dari meja samping ranjang, menuang cairan bening ke kain bersih. “Obat,” katanya singkat. Tapi saat kain itu menyentuh luka Rosella, perihnya justru membuatnya tercekik.

“Aku bisa menghentikan rasa sakitnya,” bisik Orion, menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Cukup … berhenti melawan.”

Rosella menutup mata sejenak, menahan rasa perih, sambil dalam hati memutar rencana. Jika ia harus tetap di sini, maka ia akan membuat setiap detik menjadi medan perang—bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk membalas.

Orion menatapnya lama, seolah mencoba membaca apa yang ada di balik mata hazel itu. “Aku tidak tahu … apakah kau bodoh atau berani,” ujarnya, suaranya tenang tapi berat.

Rosella membuka mata, menatapnya lurus. “Mungkin … keduanya.”

Senyum tipis itu kembali, tapi kali ini lebih gelap. Orion lalu meletakkan kain itu di meja, berdiri, dan berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Ia membuka pintu lemari dengan pelan, mengeluarkan sesuatu yang tidak bisa dilihat jelas dari tempat Rosella berbaring.

Suara logam beradu terdengar samar.

“Kau bilang kau tidak takut padaku .…” Orion menutup pintu lemari, lalu berbalik.

Di tangannya—sebilah belati tipis berukir, ujungnya berkilat dalam cahaya lilin.

Rosella menegakkan tubuhnya sedikit meski rasa sakit menyambar perutnya. “Untuk apa itu?”

Orion berjalan kembali, langkahnya perlahan tapi pasti, sampai akhirnya ia berdiri tepat di sisi ranjang. “Untuk memastikan kau mengingat malam ini … selama sisa hidupmu.”

Ia memutar belati itu di tangannya, bilahnya memantulkan cahaya yang menusuk mata.

Rosella berusaha mengatur napas, menatapnya tanpa berkedip. Ia tidak tahu apakah pria itu akan melukainya lagi … atau melakukan sesuatu yang lebih buruk.

Orion menunduk, bisikannya terasa seperti bayangan yang merayap di kulit. “Kita mulai … sekarang.”

Ujung belati itu menyentuh kulit Rosella di bawah tulang rusuk—dingin, nyaris seperti es, membuatnya menahan napas. Orion tidak menusuk, hanya menelusuri perlahan garis perutnya, seperti seorang seniman yang menimbang di mana goresan pertama yang akan dibuat.

“Setiap kali kau melawan, aku akan menambah satu tanda lagi,” katanya datar. “Sampai kau bisa membacakan kisah hidupmu hanya dari bekas yang kutinggalkan.”

Rosella menatapnya tanpa gentar. “Kalau begitu, pastikan kau punya cukup waktu … karena aku tidak akan berhenti melawan.”

Senyum tipis itu kembali—dingin, tapi ada kilasan lain di baliknya. Orion menekan punggung belati di atas luka tembak Rosella. Rasa nyerinya merayap, tapi Rosella tidak memalingkan muka.

Ia menarik belatinya, namun bukannya langsung beranjak, matanya justru tertahan pada wajah Rosella. Garis tirus itu, bibirnya yang mengatup rapat, mata hazel yang membara di bawah cahaya lilin—semuanya menangkap perhatiannya lebih lama dari yang ia mau akui.

Ada yang salah … pikirnya.

Bukan rasa curiga. Bukan ancaman. Tapi kesadaran yang membuatnya muak pada dirinya sendiri—Rosella, tawanan yang seharusnya hanya menjadi alat, justru terlihat … menarik.

Dengan gerakan cepat seolah memutus pikirannya sendiri, Orion menancapkan belati itu di meja. Bilahnya bergetar pelan.

“Ingat ini, Rosella … malam ini hanyalah permulaan. Dan aku tidak pernah lupa permainan yang aku mulai.”

Orion berbalik dan berjalan menuju pintu, tapi sebelum keluar, ia berhenti. “Tidurlah,” ucapnya singkat, nada suaranya datar. “Kau akan membutuhkannya.”

Pintu menutup, meninggalkan Rosella sendirian dalam kamar yang kini terasa semakin sempit—dan dalam benaknya, ia tahu, entah kenapa malam ini telah mengubah sesuatu pada cara Orion memandangnya.

.

.

.

Bersambung ....

Pesona Duke Orion Von Draevenhart😍

Btw, kalo suka ceritaku jangan lupa like and komen, tapi nggak maksa😘

1
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Xuě Lì: Do'akan agar saya tidak malas wkwkw:v
total 1 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Xuě Lì: Otw🥰
udah selesai nulis hehe🤭
total 1 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!