Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Sebentar lagi rapat dimulai," ucap Reyhan sambil berdiri di sisi meja Nayla. Nada suaranya datar, khas dirinya yang selalu menjaga jarak.
Nayla yang sedang merapikan jilbabnya dan memastikan file presentasi di laptop sudah siap, langsung berdiri dengan cepat.
"Baiklah."
Reyhan mengangguk singkat tanpa senyum. "Aku duluan ke ruang meeting. Jangan terlambat."
Tanpa menunggu respons, Reyhan berbalik dan berjalan pergi dengan langkah pasti. Nayla menghela napas pelan. Entah kenapa, setiap kali ditatap dingin oleh Reyhan, jantungnya seperti diperas.
Sebelum menyusul ke ruang rapat, Nayla buru-buru menuju toilet untuk membenarkan kerudung dan merapikan rok panjangnya yang sempat kusut saat duduk. Seperti biasa, ia memastikan setiap sisi jilbabnya rapi menutupi dada. Dia menyemprot sedikit parfum wangi lembut, lalu mencuci tangan dan siap kembali.
Namun saat dia mencoba membuka pintu...
Klek.
Pintu tak bergerak. Kenopnya bisa diputar, tapi pintu tetap terkunci.
“Hah?” Nayla mencoba lagi. Lebih kuat. Bahkan menahan napasnya, berpikir mungkin dia kurang tenaga.
Tetap terkunci.
Deg.
Ia menempelkan telinga ke pintu. Sepi.
“Hallo? Ada orang di luar?” teriaknya, mulai mengetuk pintu dengan keras. “Tolong! Saya terkunci di dalam!”
Tidak ada jawaban.
Nayla menelan ludah. Jantungnya mulai berdebar.
Kenapa bisa begini? Apa tadi aku putar kuncinya sendiri? Tapi aku yakin ini bukan salahku...
Dia menggedor lagi, lebih keras. "Tolong! Siapa pun! Ada orang di dalam!"
Masih tak ada suara dari luar. Kantor itu seharusnya tidak terlalu sepi. Apalagi ini jam kerja.
Waktu terus berjalan. Dan rapat akan segera dimulai.
Pikiran Nayla langsung melayang ke Reyhan.
'Bagaimana kalau dia berpikir aku sengaja tidak datang? Dia pasti tambah tidak suka...'
Nayla menggigit bibirnya. Tangannya mulai gemetar saat mencoba menghubungi ponsel, namun sinyal dalam toilet begitu lemah.
Ia mengangkat ponsel ke atas, berharap sinyal muncul.
Nada bergetar masuk. Nama Reyhan muncul di layar.
Nayla menekan tombol jawab dengan cepat.
"Rey! Aku... aku terkunci di toilet. Tolong—”
Namun panggilan itu terputus sebelum kalimatnya selesai. Sinyal hilang.
Air mata mulai menggenang di mata Nayla. Dia ketakutan.
Sementara itu di ruang rapat...
“Di mana dia?” gumam Reyhan sambil melirik arlojinya dengan kesal.
Jarum jam menunjukkan pukul 10.15. Rapat sudah dimulai lima belas menit lalu. Slidenya sudah siap. Para klien sudah duduk dan menatap ke arah layar. Tapi Nayla, masih belum muncul.
Dari awal, Reyhan tidak pernah mentolerir ketidaktepatan waktu, apalagi dalam rapat penting seperti ini. Beberapa pertanyaan dari klien ia jawab sendiri dengan kepala dingin, tapi matanya sesekali melirik ke arah pintu, berharap Nayla muncul membawa sisa dokumen yang ia siapkan pagi tadi.
Namun hingga rapat selesai, tak ada bayangan Nayla sama sekali.
Begitu para klien keluar ruangan satu per satu, Reyhan langsung berdiri dan melangkah cepat menuju ruangannya. Rahangnya mengeras. Matanya penuh tekanan.
Begitu membuka pintu ruang kerja...
Kosong.
Laptop Nayla masih menyala, namun kursi kerjanya kosong. Reyhan berbalik cepat dan melangkah keluar. Napasnya mulai memburu.
“Edo!” panggilnya tajam.
Asisten pribadi Reyhan yang sedang melintas langsung menghampiri. “Iya, Tuan?”
“Kamu lihat Nayla?” tanyanya tegas.
Edo menggeleng cepat. “Terakhir tadi pagi, Tuan. Sebelum meeting dimulai, dia sempat berkata mau ke toilet.”
Reyhan mendengus, matanya berkilat marah.
Di saat itu, seorang staf wanita yang berdandan mencolok melintas. Vita, teman dari Laras, mantan sekretaris Reyhan yang sebelumnya dipecat tanpa alasan. Vita sempat mendekat, dengan pandangan mata penuh maksud.
“Tuan Reyhan,” ucapnya manis. “Tadi saya lihat Nona Nayla, sepertinya pergi lewat lobi.”
Reyhan menghentikan langkah. Menatap Vita dengan tatapan tajam.
“Pergi?”
Vita mengangguk, tersenyum tipis. “Saya lihat dari jauh sih, tapi setahu saya dia buru-buru jalan ke arah pintu keluar. Mungkin… ada urusan pribadi?”
Reyhan mengepalkan tangan. Ia langsung berbalik menuju ruangannya, menahan amarah yang sudah membara.
Dengan rahang mengeras dan nafas berat, Reyhan duduk di kursinya, menatap layar laptop. Matanya menatap nama "Nayla" di ponselnya. Tak perlu waktu lama, dia menekan tombol panggil.
Berdering.
Tak ada jawaban.
Lalu mati.
Mata Reyhan makin tajam.
"Berani sekali dia. Lihat apa yang akan kau terima nanti, Nayla."
Nayla menyandarkan punggungnya ke dinding, mencoba tetap tenang.
Namun kepanikan mulai menyusup perlahan ke dalam tubuhnya saat jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 13.30. Sudah lebih dari dua jam dia terkunci di sana. Tidak ada tanda-tanda siapa pun akan datang. Suara di luar pun sunyi.
Tiba-tiba...
Klik.
Lampu di langit-langit padam.
Ruangan kecil itu berubah jadi gelap gulita.
“Ya Allah...”
Suara Nayla tercekat. Nafasnya mulai tidak teratur. Dada terasa sesak. Tangannya meraba tembok, mencari saklar atau apapun yang bisa dia genggam untuk menenangkan diri. Tapi tak ada yang bisa meredakan ketakutan yang mulai tumbuh seperti akar liar dalam tubuhnya.
Bayangan masa lalu langsung muncul di kepalanya.
Gudang sekolah.
Waktu kecil, dia pernah terkunci di sana. Sendirian. Gelap. Tak ada yang mendengar jeritannya.
Dia teringat bagaimana tubuh kecilnya dulu menggigil di lantai dingin, mencoba meneriakkan suara yang akhirnya habis menjadi isakan. Waktu itu, yang datang membuka pintu... adalah Reyhan. Bocah laki-laki yang dulu begitu melindunginya.
Tapi Reyhan yang sekarang… bukan lagi bocah itu.
Dia adalah pria dingin yang menikahinya demi membalas dendam.
Air mata Nayla mengalir pelan.
“Kenapa harus begini...”
Nafasnya makin berat. Tangannya mulai gemetar, ponsel yang ia pegang bergetar ringan, tapi sinyal tetap hilang. Pandangannya mulai kabur oleh air mata yang tak bisa dibendung.
“Kalau aku mati di sini... mungkin dia akan lega.”
Sebuah suara pahit muncul di kepalanya.
“Mungkin dia akan senang. Tidak perlu melihat wajah yang dia benci lagi.”
Jantung Nayla berdetak semakin kencang. Bukan karena hanya ketakutan. Tapi karena perasaan ditinggalkan. Diabaikan. Dihakimi tanpa diberi kesempatan menjelaskan.
Lututnya melemas. Ia perlahan terduduk di lantai, memeluk lututnya sendiri.
“Tolong...” isaknya pelan. “Siapa pun... tolong...”
Tapi tetap sunyi.
Satu-satunya yang menemani adalah gelap. Dan dentuman nyeri di dalam dadanya.
---
Reyhan menekan tombol di ponselnya dengan kasar, menahan emosi yang mendidih dalam dada. Telepon tersambung ke rumahnya.
“Hallo? Bik Santi?” tanyanya tajam.
Suara pelayan perempuan terdengar dari seberang. “Iya, Tuan.”
“Nayla sudah pulang?” tanyanya to the point.
“Belum, Tuan. Nyonya belum pulang sejak pagi,” jawab Bu Santi dengan suara hati-hati.
Rahangnya mengeras. “Belum pulang?”
“Iya, Tuan. Tadi saya sempat mengirim pesan menanyakan makan siang, tapi tidak dibalas.”
Tanpa menjawab, Reyhan langsung menutup panggilan. Ia menoleh ke Edo yang berdiri kaku di sisi pintu.
“Cari di mana Nayla sekarang. Lacak dari ponselnya.”
Edo yang sudah paham karakter atasannya itu langsung mengangguk dan mengetik sesuatu di tabletnya dengan cekatan. Tak butuh waktu lama, layar menunjukkan titik lokasi.
“Dia... masih di kantor, Tuan,” ujar Edo pelan, keningnya berkerut heran.
Reyhan mencabut ponsel dari telinganya. “Apa?”
Edo mengangguk sambil memperbesar peta. “Tepatnya di area toilet lantai dua.”
Alis Reyhan bertaut rapat. Tanpa berkata apa pun, dia langsung berbalik dan melangkah cepat menyusuri koridor menuju toilet yang dimaksud. Tatapannya tajam, langkahnya penuh tekanan. Edo harus berlari kecil agar bisa mengikuti di belakang.
Sampai di depan toilet wanita, Reyhan terhenti.
Matanya menatap sebuah kertas yang ditempel di pintu:
“TOILET RUSAK – TIDAK BOLEH DIGUNAKAN”
Reyhan mengerutkan kening. “Kamu yakin sinyal ponselnya dari sini?”
Edo mengangguk mantap. “Lokasinya tidak bergeser. Masih di titik ini.”
Reyhan menatap pintu itu dalam diam selama beberapa detik, lalu menghampiri dan mencoba membukanya. Dikunci dari dalam.
“Ini toilet wanita. Kamu tidak punya akses cadangan?” tanya Reyhan pada Edo.
Edo menggeleng. “Saya panggil OB saja, Tuan.”
Edo langsung menekan interkom. Tak lama, seorang petugas kebersihan pria datang terburu-buru.
“Ada apa, Tuan?” tanyanya bingung.
Reyhan menunjuk pintu. “Buka ini.”
Petugas itu melangkah maju, lalu mengernyit saat melihat kertas tanda “rusak”.
“Eh? Siapa yang tempel ini? Ini bukan saya yang pasang. Tadi pagi saya baru bersihkan, toilet ini normal, Tuan. Tidak ada kerusakan.”
Reyhan makin menajamkan tatapannya. “Buka pintunya sekarang.”
OB itu langsung mengeluarkan kunci utama dan mencoba membukanya.
Klik.
Pintu berhasil terbuka perlahan.
Dan...
Tubuh Nayla tampak terduduk di pojok ruangan, wajahnya pucat, napasnya tersengal dan tangannya gemetar hebat.
“Astaga...!” seru OB kaget.
Reyhan membeku di ambang pintu. Matanya menatap Nayla yang terpekur di lantai, tubuhnya menggigil dalam diam, dan jilbabnya sedikit kusut karena ia berulang kali mencoba mengelap air matanya yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan.
“Nayla...” suara Reyhan nyaris tak terdengar. Ada sesuatu dalam dadanya yang berguncang hebat melihat sosok perempuan itu dalam keadaan seperti itu.