JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32. AKASHA DAN SAGARA
Sadewa membuka matanya perlahan, seolah kelopak matanya terasa begitu berat. Cahaya lampu temaram di kamar kosan mewah itu menyilaukan sesaat, membuatnya refleks mengerjap beberapa kali. Tubuhnya masih bergetar, seakan ada sisa-sisa arus listrik yang mengalir dari tulang ke tulang, dari otot ke otot. Napasnya memburu, dada terasa sempit, dan tenggorokannya kering, seolah baru saja melewati padang pasir.
Namun begitu kesadarannya benar-benar pulih, ia segera merasakan sesuatu yang hangat: pelukan seorang pria tua dengan rambut perak karena ubannya. Eyang. Pelukan itu erat, penuh kasih, seolah-olah sedang menahan seseorang yang hampir pergi untuk selamanya.
"Sadewa," suara Eyang bergetar. "Syukurlah kau kembali."
Sadewa terdiam. Ia ingin menjawab, tetapi suaranya tercekat. Perlahan ia hanya mengangguk, membiarkan dirinya tenggelam dalam hangatnya pelukan yang membuatnya merasa masih nyata, masih hidup.
Arsel berdiri tak jauh, wajahnya pucat namun lega. Tama menepuk-nepuk pundaknya sendiri, seakan mencoba mengusir kecemasan yang tadi mengguncang. Andi duduk lemas di sudut, kepalanya menunduk, namun dari mata merahnya jelas terlihat betapa ia hampir kehilangan kendali.
Namun di balik semua itu, Sadewa merasakan sesuatu. Ada tatapan lain, bukan dari mereka bertiga atau Eyang. Tatapan itu begitu tenang, namun dalam, seperti mata air yang tak terukur kedalamannya.
Sadewa menoleh perlahan. Dan di sanalah ia melihat sosok pria itu, duduk bersandar santai di sofa yang menghadap ke arah mereka. Rambut hitamnya rapi, wajahnya tajam namun teduh, dan sorot matanya, sorot mata keemasan itu kini terlihat cokelat hangat. Sama persis dengan yang ia lihat ketika tombak-tombak gaib menghujam Sulastri di alam gelap tadi.
Jantung Sadewa berdegup lebih cepat. Seketika kenangan singkat tentang raungan iblis, cengkeraman hitam, dan teriakan.
"Dia?!" seru Sadewa spontan ketika melihat sosok itu.
Eyang menepuk bahu Sadewa perlahan, lalu tersenyum kecil. "Nak, kenalkan. Ini Sagara. Cucu Eyang."
Sadewa membeku sejenak. Ia tak langsung bicara, hanya menatap lelaki itu dengan mata penuh tanya. Tak menyangka pria itu adalah manusia seperti Sadewa.
Sagara tersenyum tipis, lalu bangkit dari duduknya. Gerakannya tenang, tidak tergesa, seakan setiap langkah yang ia ambil sudah dihitung dengan tepat. Ia lalu mengambil segelas air mineral dari meja kecil di samping kursi, dan menyodorkannya pada Sadewa.
"Minum dulu," katanya ringan, seolah tak terjadi apa-apa sebelumnya. "Wajah kamu pucat sekali."
Sadewa menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Air di dalamnya bergetar kecil, memantulkan cahaya lampu. Ia meneguk perlahan, merasakan tenggorokannya yang kering sedikit terbasuh.
"Kamu ...," suara Sadewa serak, nyaris tak terdengar. "Kamu orang yang tadi di sana, 'kan?"
Arsel tertawa kecil, meski tawanya terdengar agak dipaksakan. "Ya, Sadewa. Jangan kaget. Kak Saga memang ... ya, bisa dibilang nggak biasa. Cukup luar biasa malah."
Tama menimpali dengan nada akrab. "Kalau bukan karena dia, mungkin kamu udah nggak balik lagi ke sini." Ia menoleh pada Sadewa dengan ekspresi setengah lega, setengah bercanda. "Bang Saga dateng di waktu yang tepat," lanjutnya.
Sadewa menatap mereka bergantian, alisnya berkerut. "Jadi ... kalian kenal dia?"
"Kenal banget," jawab Tama sambil mengangkat bahu. "Kalau nggak, kita nggak akan bisa tinggal di kosan mewah ini. Bang Saga yang bawa kita ke sini. Dia cucu Eyang, dan ... ya, bisa dibilang, alasan kita punya tempat berlindung yang aman."
Sadewa menoleh lagi pada Sagara. Lelaki itu hanya tersenyum kecil, lalu duduk kembali dengan santai, seolah bukan pusat perhatian.
"Kita memang baru bertemu," ucap Sagara, nada suaranya datar namun hangat. "Tapi tadi kita sudah melalui sesuatu yang tak semua orang bisa bayangkan. Itu cukup jadi alasan kita saling percaya, bukan?"
Sadewa menelan ludah. Ada sesuatu dalam kata-kata Sagara yang membuatnya sulit menolak.
Suasana hening beberapa saat, hanya terdengar desahan napas yang belum sepenuhnya teratur.
"Tapi, siapa sebenarnya dia, Eyang?” Sadewa menatap Eyang, matanya masih penuh keraguan. "Aku lihat sendiri apa yang dia lakukan. Itu bukan hal yang bisa dilakukan manusia biasa."
Eyang menarik napas panjang, lalu tersenyum samar. "Sagara Chandrawijaya. Nama itu mungkin banyak dikenal di dunia ini sebagau seorang pengusaha muda. Tapi di masa lalu ... dia punya jejak yang sangat panjang."
Sadewa menoleh pada Sagara, merasa seakan sedang melihat sosok dengan dua wajah: seorang pria muda yang santai, dan di saat bersamaan, sesuatu yang jauh lebih tua, lebih berbahaya, lebih berwibawa.
Sagara menatap ke arah Sadewa, lalu berkata pelan, "Aku bukan siapa-siapa, sebenarnya. Hanya cucu seorang kakek tua yang keras kepala-" ia melirik Eyang sambil tersenyum nakal, membuat Eyang pura-pura mencibir, "-dan pewaris sesuatu yang sudah lama sekali ingin dikubur dari sejarah."
Arsel bersandar di dinding, menyilangkan tangan. "Sadewa, kalau kamu ingin tahu ... Sagara ini bukan cuma cucunya Eyang. Dia juga semacam penjaga."
"Penjaga?" ulang Sadewa pelan.
"Ya," jawab Sagara sendiri. "Penjaga garis yang sejak lama menanggung beban melawan kegelapan. Namanya Akasha."
Mendengar nama itu, Sadewa langsung merinding. Itu nama yang Sulastri teriakkan dengan raungan penuh kebencian.
"Kamu ...," Sadewa menelan ludah. "Dan kamu bagian dari Akasha?"
Sagara menatapnya lama, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Akasha adalah sebutan bagi kelompok yang dulu, berabad-abad lalu, mengikat perjanjian untuk menjadi pemburu iblis. Bukan organisasi besar, bukan pasukan kerajaan, tidak dibayar, hanya sekelompok orang yang memikul kutukan dan anugerah sekaligus. Aku salah satu pewaris di zaman, begitu juga dengan kalian bertiga."
Ruangan mendadak terasa dingin. Bahkan Arsel dan Tama yang sudah mengenalnya pun tampak kembali teringat betapa besar arti kata-kata itu. Mereka teringat ketika bagaimana Sagara menunjukkan kilasan masa lalu tentang mereka semua yang menjadi bagian dari Akasha, kelompok penjagal iblis.
Sadewa menggenggam lututnya, berusaha mencerna. "Jadi, yang tadi kau lakukan pada Sulastri ..."
"Bukan hal baru," potong Sagara, tenang. "Sejak dulu Akasha harus selalu berhadapan dengan makhluk semacam itu. Dan Sulastri, seperti mereka selalu ada, bukan pertama yang mencoba menelan sukma manusia, mereka juga menebarkan kegelapan di hati manusia sehingga manusia terjerumus dalam kesesatan dan menyekutukan Tuhan. Akasha awalnya hanya manusia biasa yang terlahir dengan kemampuan tak biasa, melihat yang tidak manusia lihat, ada yang dapat menyembuhkan, bertarung, bertahan, melacak, bahkan memurnikan."
"Bagaimana Akasha bisa terbentuk dan kapan?" tanya Sadewa.
"Awal Akasha terbentuk adalah saat di mana masa itu kegelapan mengambil alih dunia. Karena ulah satu manusia serakah, dia membuka gerbang dimensi astral dan nyata, membuat iblis dari palung kegelapan keluar dan menyesatkan manusia untuk menyekutukan Tuhan, saling membunuh, dan kesesatan lainnya. Saat itulah para Akasha mendapatkan wahyu untuk membantai para iblis dan setan di dunia, memberikan cahaya untuk yang gelap dan membantu manusia kembali ke cahaya Tuhan. Tapi iblis selalu punya cara untuk kembali ke dunia dan menebarkan kesesatan mereka, tapi ternyata Akasha pun tidak putus di zaman itu. Setiap zaman ketika para iblis menggelapkan dunia, saat itu juga Akasha akan kembali. Dan di zaman ini Aku, Tama, Arsel, dan kamu Sadewa adalah salah satunya. Ada beberapa lagi di luar sana yang akan berkumpul dengan kita, tidak perlu dicari karena Akasha akan selalu menemukan jalan untuk berkumpul. Seperti kamu Sadewa, tidak pernah berpikir untuk ada di sini bersama kami sebelumnya, 'kan?" jawab Sagara.
"Tapi bagaimana kita akan tahu kalau orang yang datang itu adlaah bagian dari Akasha?" tanya Sadewa lagi.
"Fokus dan lihatlah di sini," ucap Sagara yang mengangkat tangan ke dadanya.
Sadewa memerhatikan cukup fokus, saat itu dia melihat seperti ada benang emas yang melayang di dada Sagara. Benang itu menyambung ke arah Sadewa, Arsel, dan Tama.
"Tali emas?" ucap Sadewa.
"Ya, Akasha punya ikatan yang tidak bisa diputus oleh apa pun kecuali seizin Tuhan. Tali emas ini hanya dapat dilihat oleh para Akasha. Ini seperti janji, dan bukti kita adalah pekerja cahaya," kata Sagara.
"Tapi kalau dilihat-lihat kenapa talinya ada tujuh helai?" tanya Sadewa semakin tertarik dengan pembahasan ini.
Sagara sedikit muram ketika Sadewa menanyakan hal itu. "Itu adalah banyaknya kelahiran kita di masa lalu. Artinya sudah tujuh kelahiran sebelum kehidupan sekarang. Ini adalah kelahiran kita yang kedelapan," jawabnya.
"Maksudmu ... reinkarnasi?" Sadewa terkejut dengan hal itu.
"Ya. Tujuh kehidupan dengan tujuh kematian, kita bertemu dan berpisah sebanyak tujuh kehidupan. Jujur saja itu menyakitkan. Karena itu kubilang Akasha adalah kutukan tapi juga anugerah," jawab Sagara lirih.
"Kamu ... ingat kehidupan sebelumnya?" tanya Sadewa asal ketika melihat ekspresi Sagara.
"Ya, ingat dengan jelas seperti kejadian kemarin rasanya. Setiap kebahagiaan dan rasa sakit, pertemuan, dan juga perpisahan. Itu salah satu kemampuanku, menembus dimensi waktu atau bisa disebut Retrocognition," jawab Sagara. "Aku akan tunjukkan nanti pada kalian setiap kehidupan sebelumnya, perlahan dan tidak bisa sekaligus. Tapi kemungkinan kalian akan bisa melihatnya sendiri melalui mimpi," lanjutnya.
Sadewa terdiam. Ia merasa kecil sekali, seolah baru melihat permukaan dari samudra luas yang selama ini ia kira hanyalah genangan.
Malam itu menjadi panjang. Mereka duduk bersama di ruang tengah kosan, ditemani secangkir teh panas dan cahaya lampu redup. Perlahan, percakapan yang tadinya tegang berubah menjadi lebih natural. Arsel dan Tama sesekali bercanda, mencoba mencairkan suasana.
"Jadi, Bang Saga benar-benar tinggal di sini sendirian sebelum bertemu kami?" tanya Sadewa pada Sagara.
"Tidak sendirian," jawab Sagara sambil meneguk tehnya. "Kamu bisa bilang aku punya banyak teman. Hanya saja mereka tidak semua bisa kau lihat."
Arsel mendengus. "Maksudnya roh penjaga, atau pasukan tombak gaib itu."
Sagara hanya terkekeh, tidak mengiyakan atau menyangkal.
Tama mencondongkan badan. "Sadewa, kamu harus tahu. Sejak awal, alasan kami bawamu ke sini bukan cuma supaya kita punya tempat aman untuk kamu belajar kemampuan baru kamu. Tapi juga karena Bang Saga dan juga Akasha. Bang Saga bilang, kalau tidak lama lagi akan ada anggota Akasha yang bergabung."
Sadewa menoleh pada Sagara. "Benarkah itu?"
Sagara mengangguk, matanya lembut namun penuh arti. "Sadewa, perjalanan kamu baru dimulai. Dan aku tahu, suatu saat kamu akan menerima hal ini. Karena dunia gaib yang kau hadapi bukan hanya soal Sulastri. Masih ada yang jauh lebih besar ... lebih berbahaya. Dan kamu mau nggak mau akan memilih jalan sebagai Akasha."
Sadewa tercekat. Ia menunduk, merasakan hatinya berdebar tak karuan.
Sagara menepuk bahunya pelan. "Tenang saja. Kamu nggak sendirian."
Malam itu berlanjut dengan percakapan panjang. Sagara menceritakan sedikit demi sedikit tentang garis keturunan Chandrawijaya, tentang perjanjian kuno yang mengikat keluarganya pada Akasha. Ia tidak menyebut semua detail, terlalu berat, katanya, namun cukup bagi Sadewa untuk mengerti bahwa apa yang ia alami hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.
Dan ketika jam dinding berdentang menandai tengah malam, Sadewa sadar satu hal: hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Karena di hadapannya kini duduk seorang pria bernama Sagara Chandrawijaya, cucu Eyang, pewaris Akasha, penjagal iblis dari garis keturunan yang terlupakan, dan entah bagaimana, nasib mereka kini telah saling terkait.
the end ternyata
hai othor,kabarin aku kalo ada cerita baru lagi y,awas kalo gak,pulang nanti lewat mana,aku cegat sambil bawa seblak 😂😂
tak d sangka tak d nyana,kisahnya jadi semakin rumit keluarga Sadewa ini
bingung akh
who is that?
😃😃
Meskipun ada debaran Hati juga akal manusia...SIAPA...MENGAPA...KARNA APA ...SALAH APA...TUJUANNYA APA ??
2 dunia yang berbeda , percaya atau tidaknya semua kembali pada kepercayaan masing².
Cerita yang sangat apik juga alur yang tertata dengan rapi.
Semangat THOOOOORRR .. semoga masuk 10 cerita terbaik.Aamiin🤲🤲
semua kembali pada ptibadi masing²